Puisi | Lanang Penyungkan (dari Cerita Rakyat Banyuasin, Rumah Lame)

Mereka membuat rakit, dan mengikatnya dengan
rasa sakit. Ingatan tentang Yusuf yang rupawan
dibuang di sebuah sumur, lalu diselamatkan sebagai
budak, membuat keenam kakak lupa umur.
Namun bukan iri, bukan dengki. Hanya tak rela
bapaknya didurhakai.

Mereka membuat rakit, lalu mengabaikan dendang
tentang kesek dan labu parang. Berharap dan tidak
berharap tuah. Bila tuah, kembalilah. Bila tanpa, hilanglah.
Biar arah tercabut dari akarnya.

Sampai mereka menutup mata, dan mengingat dulu
pernah ada hamba, duduk di bawah sebuah pohon
lalu menjadi Buddha

Seperti itu pula kemudian, rakit itu tersangkut
di sebuah Kayu Bayur. Tak ada sumur, sebab Musi berkelana
hingga jauh. Segala bisa terhanyut, namun tidak ia.
Yang terbangun dan papah, memandang diri tak berdaya
Sirna sudah segala keengganan, namun matahari bersinar
Diraba dadanya, masih cukup jumlah debar.

Ia pun mulai membangun rumah, dari segala yang terlewat
Sambil mengingat mereka yang membuat rakit, saat ia tertidur
menolak pergi ke sawah, merambah kasih Tuhan
lewat bibit dan lumpur.

Lalu ia letakkan segala yang berharga dan tidak berharga
dan menerapkan mantra, siapa saja boleh memilih gila
kehilangan akalnya, bila mencuri di Rumah Lama.

 

Puisi ini terinspirasi dari cerita rakyat Banyuasin berjudul Asal Mula Rumah Lama Rantau Bayur.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *