Vihara Ksitigarbha Bodhisattva

Belajar Toleransi pada Masa Lalu

Tulisan ini kali pertama tayang di Seluang




Festival Sastra Gunung Bintan pada November 2018 lalu meninggalkan pengalaman menarik. Dalam satu kesempatan, aku memutuskan tidak ikut makan malam bersama rombongan.

Kulangkahkan kaki ke warung-warung yang ada di dekat hotel. Satu warung menarik minatku karena menyediakan menu kuetiau. Di warung itu juga, ramai sekali orang-orang berbahasa asing.

Di Bintan, memang banyak sekali turis asing. Rata-rata dari Singapura dan sebagian besar beretnis Tionghoa. Kepulauan Riau menjadi destinasi menarik bagi mereka, karena selain alamnya yang indah, perjalanan ke Kepri bisa ditempuh tanpa naik pesawat, yakni dengan kapal laut.

Orang-orang Singapura itu sedang memesan makanan ke penjual Melayu yang memakai jilbab sangat lebar. Lucunya, yang satu tak cakap berbahasa Melayu, sehingga menggunakan Bahasa Cina. Sedangkan orang Melayu juga tak cakap berbahasa Cina. Keduanya pun berbahasa isyarat. Entah karena sebab apa, saat asik berbahasa isyarat itu, mereka mendadak tertawa bersama.

Sang turis pun mengeluarkan ponselnya. Ia mengajak orang Melayu berfoto berdua. Belum puas foto berdua, ia mengajak orang Melayu tersebut berfoto lagi bersama para turis asing lain yang sepertinya adalah keluarganya.

Malam itu, dari meja sebuah warung kecil di Bintan, kusaksikan pertunjukan kemanusiaan. Tak mengenal batas negara, agama, etnis, maupun bahasa. Toleransi itu ada dan nyata.

Beberapa hari sebelumnya, baru kupelajari mengenai hubungan Melayu dan Cina yang sedemikian erat. Orang Melayu yang terkenal sebagai anak dagang menyebar luas di Kepulauan Riau yang kemudian menjadi pusat perdagangan. Berbagai bangsa berdatangan. Cina yang terbanyak, di antaranya orang Hokkian, Kwong Foe, dan Tio Tjioe.

Letak geografis kawasan Melayu yang berhadapan dengan selat Melaka menjadikan persaudaraan Melayu dengan orang Cina sangat terbuka. Hubungan Melayu dan Cina itu terekam pula pada beberapa karya sastra di antaranya Sejarah Melayu, Silsilah Kutai, dan Hikayat Merongmahawangsa. Hikayat Merongmahawangsa mengisahkan hal yang menarik.



Dalam hikayat tersebut dikisahkan seekor burung garuda terbang ke negeri Cina lalu menyambar putri di sana dan membawanya ke Pulau Langkawi. Dalam sebuah perjalanan, perahu Raha Merongmahawangsa dirusak burung garuda yang sama sehingga terdampar ke Langkawi. Di sana sang raja bertemu sang putri sehingga akhirnya membina kasih. Pertemuan kedua budaya, Melayu dan Cina, juga menjadi sebuah akulturasi.

Menurut Keotjaraningrat (1983), akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadap-hadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing.

Namun, unsur-unsur tersebut lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Akulturasi tersebut bisa kita lihat dalam karya sastra lain, yakni Syair Kawin Tan Tik Cu.

Terdapat banyak pembauran mulai dari Bahasa, pakaian, makanan, dan kebiasaan makan antara Melayu dan Cina.

Syair Kawin Tan Tik Cu merupakan salah satu karya sastra Melayu klasik berbentuk naskah kuno yang disimpan di Leiden. Karya ini dianggap penting karena menampilkan kisah menarik yang menampilkan ritual perkawinan orang Cina yang menggunakan adat Melayu.

Pada syair ini, keluarga Baba Tik Sing (orang Cina) memberi nama anak-anaknya juga dengan nama Melayu, yakni Riau, Asa, dan Kalsi. Nama-nama pakaian Melayu seperti kasud, songkok, kain tudung, pancung serong, selepa, jambak, sunting merak, dan sanggul dikenakan juga oleh orang Cina. Makanan yang juga begitu sentral perannya juga mengalami pembauran dengan penyebutan masak cara Cina cara Melayu. Nasi astakona khas Melayu yang merupakan lambang dari berbagai sajian yang dihidangkan pada suatu perayaan juga disebut dalam syair ini.

Sampai di sini, aku berpikir betapa indahnya, apabila kita memahami bahwa pada masa lalu dua budaya bisa bertemu dan mengalami akulturasi. Toleransi itu nyata, bukan hanya orang Melayu yang hormat kepada orang Cina, tetapi juga orang Cina hormat kepada orang Melayu. Sampai kini, sebenarnya toleransi itu masih terjaga meski ada upaya untuk merusaknya (seperti kasus Tanjung Balai).

Di Kepri, berbagai wihara berdiri kokoh dan bahkan menjadi kebanggaan masyarakat setempat. Sebut saja Vihara Kstigarbha Bodhisatva yang menjadi salah satu destinasi unggulan Kepri dengan patung seribu wajahnya. Dana pembangunan wihara ini sebagian besar dari komunitas Tionghoa di Singapura.

Hubungan baik yang menunjukkan toleransi itu bukan hanya terjadi dengan orang Melayu. Orang Jawa juga pernah mengalaminya. Dalam salah satu versi sejarah Majapahit, pemimpin Majapahit saat itu, Rani Suhita, membebaskan orang-orang Cina yang saat itu sebagian besar beragama Islam berdagang di pesisir Jawa, dan bahkan menduduki posisi pemerintahan.

Ketika belakangan ada demo untuk menurunkan lampion di Solo, seharusnya para pendemo tersebut membaca ulang sejarah. Bahwa lampion sudah diakulturasi oleh budaya Jawa. Lampion (tênglong/燈籠) sudah ditiru menjadi lampu Ting oleh Keraton Surakarta, dan dikirab keliling keraton Kasunanan Surakarta, untuk menyambut malam selikuran, yakni malam ke-21 Ramadhan.

Pada Melayu, pada masa lalu, seharusnya kita berkaca, bahwa kita pernah bisa begitu bertoleransi, hidup berdampingan bersama-sama. Namun kini, sedikit perbedaan saja, kenapa ada upaya untuk memecahkan rasa kebersamaan tersebut?

Mari kita renungkan.




Pringadi Abdi Surya, Penulis buku PHI dan commuter Citayam – Jakarta. Sekarang bekerja di Ditjen Perbendaharaan. Catatan pribadinya bisa disimak di catatanpringadi.com.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *