Puisi Mahmoud Darwish (Terjemahan Saut Situmorang)

Berikut ini adalah puisi Mahmoud Darwish, diterjemahkan oleh Saut Situmorang. Keenam puisi di bawah ini diterjemahkan dari berbagai sumber terjemahan bahasa Inggris.

Kartu Identitas

Catat!
Aku orang Arab
Dan nomor kartu identitasku limapuluh ribu
Aku punya delapan anak
Dan yang kesembilan akan lahir setelah musim panas
Apa kau akan marah?

Catat!
Aku orang Arab
Bekerja dengan sesamaku di sebuah tambang batu
Aku punya delapan anak
Aku beri mereka roti
Pakaian dan buku
dari batu…
Aku tidak mengemis bantuan dengan mengetuk pintu rumahmu
Atau merendahkan diriku di tangga kamarmu
Jadi apa kau akan marah?
Catat!
Aku orang Arab
Namaku tanpa gelar
Bersabar di negeri
Yang penuh orang-orang marah
Akarku
Tertanam di sini sebelum lahirnya waktu
Dan sebelum dimulainya zaman
Sebelum pohon-pohon pinus dan pohon-pohon zaitun
Dan sebelum rumput-rumput tumbuh.
Bapakku… keturunan keluarga pembajak tanah
Bukan dari kelas priyayi
Dan kakekku… seorang petani
Bukan orang kaya ataupun orang sekolahan!
Diajarkannya aku tentang harga diri matahari
Sebelum mengajariku membaca
Dan rumahku seperti gubuk penjaga malam
Terbuat dari ranting pohon dan tebu
Apa kau sudah puas dengan statusku sekarang?
Aku punya nama tanpa gelar!

Catat!
Aku orang Arab
Telah kau curi kebun-kebun buah nenek moyangku
Dan tanah yang kugarap
Bersama anak-anakku
Dan tak ada lagi sisa bagi kami
Kecuali batu-batu ini…
Apa Negara pun akan mengambilnya juga
Seperti kata orang?!

Jadi
Catat di bagian atas halaman pertama:
Aku tidak benci
Atau akan menyerang orang
Tapi kalau aku kelaparan
Daging penindasku akan jadi makananku
Hati-hatilah…
Hati-hatilah…
Dengan lapar
Dan marahku!

1964

Baca Juga: Puisi-puisi Palestina karya Kurnia Effendi

Aku Milik Tempat Itu

Aku milik tempat itu. Aku memiliki banyak kenangan. Aku dilahirkan seperti setiap orang dilahirkan.

Aku memiliki seorang ibu, sebuah rumah dengan banyak jendela, saudara-saudara laki-laki, kawan-kawan, dan sebuah sel penjara

dengan sebuah jendela yang dingin menggigilkan! Aku memiliki ombak yang direbut oleh burung-burung camar dan panorama milikku sendiri.

Aku memiliki padang rumput yang basah embun. Di horison kataku, aku memiliki sebuah bulan,

makanan untuk burung, dan sebuah pohon zaitun yang tak mati-mati.

Aku sudah tinggal di negeri itu lama sebelum pedang membuat manusia jadi mangsa.

Aku milik tempat itu. Waktu sorga meratapi ibunya, kukembalikan sorga

ke ibunya.

Dan aku menangis biar awan yang pulang ke sana akan membawa airmataku.

Untuk melanggar aturan, aku pelajari semua kata yang dibutuhkan bagi pengadilan darah.

Telah kupelajari dan bongkar semua kata agar bisa kudapatkan

satu kata tunggal: Rumah.

Di Jerusalem

Di Jerusalem, dan maksudku di antara tembok-tembok tuanya,
aku berjalan dari zaman ke zaman tanpa ada ingatan
memanduku. Para nabi di sana memiliki
sejarah yang sama tentang yang suci . . . naik ke surga
dan kembali dengan lebih berani dan melankoli, karena cinta
dan damai adalah suci dan kembali ke kota.
Aku berjalan menuruni lereng bukit dan berpikir: Bagaimanakah
para tukang cerita bisa saling tidak akur tentang apa yang dikatakan cahaya kepada batu?
Apakah dari sebuah batu yang bersinar suram terpercik perang?
Aku berjalan dalam tidur. Aku memandang dalam tidur. Tak
ada orang di belakangku. Tak ada orang di depanku.
Semua cahaya ini untukku. Aku jalan. Aku menjadi ringan. Aku terbang
lalu menjadi orang lain. Berubah. Kata-kata
muncul seperti rumputan dari mulut
nabi Yesaya: “Kalau kau tidak percaya maka kau tidak akan percaya.”
Aku berjalan seolah aku ini orang lain. Dan lukaku
seperti bunga mawar biblikal. Dan kedua tanganku seperti dua ekor merpati
di salib melayang-layang dan membawa bumi.
Aku tidak berjalan, aku terbang, aku menjadi orang lain,
berubah. Tanpa tempat dan waktu. Jadi siapakah aku ini?
Aku bukan aku dalam peristiwa kenaikan ke surga. Tapi aku
berpikir: Sendiri, nabi Muhammad
bicara dalam bahasa Arab klasik. “Lalu apa?”
Lalu apa? Seorang serdadu perempuan berteriak:
Kau lagi? Bukankah aku telah membunuhmu?
Kataku: Kau membunuhku . . . dan seperti kau, aku lupa mati.

Aku Tidak Minta Maaf Kepada Sumur Itu

Aku tidak minta maaf kepada sumur itu waktu aku melewatinya,
Aku pinjam dari pohon cemara tua itu sebuah awan
dan meremasnya seperti jeruk, lalu menunggu seekor gazel
putih dan legendaris. Dan kuperintahkan hatiku untuk bersabar:
Bersikap netrallah seolah kau bukan bagian diriku! Di sini
para penggembala baik itu berdiri dan mengeluarkan
suling mereka, lalu membujuk burung puyuh gunung masuk
ke dalam jerat. Dan di sini aku pasang pelana ke kuda untuk terbang menuju
planet-planetku, lalu terbang. Dan di sini para pendeta perempuan
mengingatkanku: Hati-hatilah dengan jalan aspal dan mobil
dan melangkahlah dalam hembusan nafasmu. Di sini
kusantaikan bayanganku dan menunggu, kuambil batu terkecil
dan berjaga sampai larut. Kupecahkan mitos dan kupecahkan.
Dan kukelilingi sumur itu sampai aku terbang dari diriku
ke sesuatu yang bukan bagian diriku. Sebuah suara rendah berteriak kepadaku:
Kuburan ini bukan kuburanmu. Jadi aku minta maaf.
Kubaca ayat-ayat dari kita suci yang bijaksana, dan kukatakan
kepada yang tak dikenal di dalam sumur itu: Salam bagimu di hari
kau terbunuh di negeri damai, dan di hari kau bangkit hidup
dari kegelapan sumur!

Baca Juga: Menjadi Penyair Lagi dan Puisi Acep Zamzam Noor Lainnya

Sebuah Kalimat Kata Benda

Sebuah kalimat kata benda, tanpa kata kerja:
bagi laut bau tempat tidur
setelah bercinta … parfum asin
atau masam. Sebuah kalimat kata benda: rasa riangku yang terluka
seperti matahari tenggelam di jendelamu yang aneh.
Bungaku hijau seperti burung phoenix. Hatiku melebihi
kebutuhanku, ragu-ragu antara dua pintu:
masuk lelucon, dan keluar
labirin. Di mana bayanganku–pemanduku di tengah
kerumunan di jalan menuju hari kiamat? Dan aku
seperti sebuah batu kuno dengan dua warna hitam di tembok kota,
coklat kemerahan dan hitam, sebuah tonjolan ketakpekaan
terhadap para pengunjungku dan tafsir bayang-bayang. Menginginkan
untuk kala sekarang sebuah pijakan kaki untuk berjalan di belakang
atau di depanku, telanjang kaki. Di mana
jalan keduaku menuju tangga luas itu? Di mana
kesia-siaan? Di mana jalan menuju jalan?
Dan di manakah kita, berjalan di jalan setapak kala
sekarang, di manakah kita? Percakapan kita adalah predikat
dan subjek di hadapan laut, dan buih
ujaran yang licin adalah titik-titik di huruf,
menginginkan sebuah pijakan kaki bagi kala sekarang
di trotoar …

Soneta V

Aku menyentuhmu seperti sebuah biola yang kesepian menyentuh daerah suburbia kota tempat yang jauh itu
dengan sabar sungai meminta bagian gerimisnya
dan, sedikit demi sedikit, sebuah esok yang berlalu di puisi-puisiku mendekati
maka kubawa negeri yang jauh dan aku dibawanya di jalan perjalanan

Di atas kuda betina kebajikanmu, jiwaku menenun
langit alami dari bayang-bayangmu, satu kepompong demi satu kepompong.
Aku adalah anak laki-laki dari apa yang kau lakukan di bumi, anak laki-laki luka-lukaku
yang menerangi mekar delima di tamanmu yang tertutup

Dari melati darah malam mengalir putih. Parfummu,
kelemahanku dan rahasiamu, mengikutiku seperti sebuah gigitan ular. Dan rambutmu
adalah tenda angin musim gugur berwarna. Aku berjalan bersama ujaran
sampai ke kata terakhir yang diceritakan seorang beduin ke sepasang merpati

Aku membelaimu seperti sebuah biola membelai sutra dari waktu yang jauh itu
dan di sekitarku dan kau tumbuh rumput dari sebuah tempat kuno–baru

Tentang Mahmoud Darwish

Mahmoud Darwish (1941–2008) adalah penyair terbesar Palestina. Darwish memakai Palestina sebagai metafor hilangnya Taman Firdaus, kelahiran dan kelahiran-kembali, dan derita kehilangan dan eksil. Dia digambarkan sebagai inkarnasi dan refleksi dari “tradisi penyair politik dalam Islam, manusia aksi yang memakai puisi sebagai aksinya”. Dia juga pernah jadi editor beberapa majalah sastra di Palestina.

Darwish menerbitkan kumpulan puisi pertamanya Daun-daun Zaitun pada 1964, waktu berusia 22 tahun. Sejak itu, dia telah menerbitkan tigapuluh buku puisi dan prosa yang telah diterjemahkan ke lebih daripada duapuluh dua bahasa. Buku-buku puisinya antara lain Beban Kupu-kupu (2006), Sayangnya, Sorga: Seleksi Puisi (2003), Pengepungan (2002), Adam dari Dua Firdaus (2001), Mural (2000), Tempat Tidur Orang Asing (1999), Kenapa Kau Biarkan Kuda Itu Sendiri? (1994), dan Musik Daging Manusia (1980).

Mahmoud Darwish juga penerima berbagai penghargaan internasional, antara lain Lannan Cultural Freedom Prize dari Lannan Foundation, Lenin Peace Prize, and the Knight of Arts and Belles Lettres Medal dari Prancis.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *