KRIAPUR (1959-1987)
Kriapur merupakan salah satu penyair berbakat Indonesia yang–sebagaimana Chairil Anwar–meninggal dalam usia muda. Dia masih 28 tahun ketika tewas dalam kecelakaan lalu lintas di daerah Batang, pada 17 Februari 1987.
Berikut ini, puisi-puisi Kriapur, penyair kelahiran Solo, 6 Agustus 1959, yang bernama lengkap Kristianto Agus Purnomo.
KUPAHAT MAYATKU DI AIR
Kupahat mayat di air
Namaku mengalir
Pada batu dasar kali kuberi wajahku
Pucat dan beku
Di mana-mana ada tanah
Ada darah
Mataku berjalan di tengah-tengah
Mencari mayatku sendiri
Yang mengalir
Namaku sampai di pantai
Ombak membawa namaku
Laut menyimpan namaku
Semua ada di air
Solo, 1981
NATAL BAGI MUSUH-MUSUHKU
Aku tak mampu membeli daun-daun
Ini fajar dengan bangunan dari air biru
Membebaskan ketaklukan diriku
Dan mereka yang terus mencari kematianku
Kuterima dengan doa
Dan bukan lagi musuhku
Solo, 1986
SAJAK BUAT NEGARAKU
di tubuh semesta tercinta
buku-buku negeriku tersimpan
setiap gunung-gunung dan batunya
padang-padang dan hutan
semua punya suara
semua terhampar biru di bawah langitnya
tapi hujan selalu tertahan dalam topan
hingga binatang-binatang liar
mengembara dan terjaga di setiap tikungan
kota-kota
di antara gebalau dan keramaian tak bertuan
pada hari-hari sebelum catatan akhir
musim telah merontokkan daun-daun
semua akan menangis
semua akan menangis
laut akan berteriak dengan gemuruhnya
rumput akan mencambuk dengan desaunya
siang akan meledak dengan mataharinya
dan musim-musim dari kuburan
akan bangkit
semua akan bersujud
berhenti untuk keheningan
pada yang bernama keheningan
semua akan berlabuh
bangsaku, bangsa dari segala bangsa
rakyatku siap dengan tombaknya
siap dengan kapaknya
bayi-bayi memiliki pisau di mulut
tapi aku hanya siap dengan puisi
dengan puisi bulan terguncang
menetes darah hitam dari luka lama
Solo, 1983
AKU INGIN MENJADI BATU DI DASAR KALI
Aku ingin menjadi batu di dasar kali
Bebas dari pukulan angin dan keruntuhan
Sementara biar orang-orang bersibuk diri
Dalam desau rumput dan pohonan
Jangan aku memandang keluasan langit tiada tara
seperti padang-padang tengadah
Atau gunung-gunung menjulang
Tapi aku ingin menjadi sekedar bagian
dari kediaman
Aku sudah tak tahan lagi melihat burung-burung pindahan
Yang kau bunuh dengan keangkuhanmu —yang mati terkapar
Di sangkar-sangkar putih waktu
O, aku ingin jadi batu di dasar kali
1982
KOTA KOTA KOTA
dari kerangka tanah
kerangka darah
ribuan jasad angin terdampar
di kota lapar
pengembara hanya bayang-bayang
ngambang
kerangka ombak berkejaran di dinding
lalu matahari terguling
di bawah kuburan
bulan meringkik panjang
ringkikan kerangka kota kota kota
jelaga!
anak-anak mata darah tak dapat lagi
bermain dengan langit
perempuan-perempuan berjalan
lewat suara yang tak jelas
lalu hilang
di sorga hitam
tapi kemerdekaan tanah
untuk siapa?
dan kota bagai sebuah bola
yang disepaknya sendiri
lalu orang-orang pun kelelahan
merayapi luka
dan tak pulang
solo, 1981
JALAN
dalam tidur terbentang sebuah jalan
di luar jendela yang kupandang
angin gagal mencapai puncak
lalu matahari luruh seperti gerimis
tak ada yang bisa datang
atau pergi malam ini
bangun lebih parah
dan awan yang bergantung pada daun
kemana bakal pulang?
Solo, 1983
NATAL DI GURUN PERTEMPURAN
aku tak bisa berkata-kata lagi padamu
burung punya keteduhan dari sayapnya sendiri
angin punya keteduhan dari sejuknya sendiri
namun srigala punya keteduhan
di taringnya. Kini setiap perjumpaan
aku tak mampu mengucapkan kenangan
dan menjelang kepunahan ini
tibalah penebusan kekal
Solo, 1986
KUPU-KUPU KACA
Sehabis meninggalkan jejak kemarau lama
lalu kupu-kupu menjadi kaca
Aku makin mengerti keluh bumi ini
Malam menjadi jalan dan mencari pemilik diri
Juga terasa jiwa, memuat pedih lalu lenyap
Udara telah menutup semua peristiwa
dan suara ombak melimbur
Menggelepar di pinggir pagar yang meraj terbakar
Setiap menyusup dalam bumi kelam
Tangan-tangan mayat menjulur ke bulan
Kota yang bangkit karena hujan
Mengubur luas jaman
2 Comments