Puisi Daviatul Umam

Tak Ada yang Bisa Kau Perbuat Selain Menunggu

Menunggu pemilu yang tidak menghasilkan apa-apa kecuali sekeping semboyan “bersatu kita jemu, bercerai kita seru!”; Menunggu keputusan-keputusan dari sekumpulan kursi yang berdiri bimbang di ruang sidang; Menunggu aksi dari selingkar tukang ngopi yang berasap-asap membicarakan nasib tanah-air di kafe yang menggagahi sawah; Menunggu tol beranak-pinak demi keharmonisan hubungan dusun dan gigi monster; Menunggu tiang-tiang langit tumbuh subur di tanah bekas rumah adat; Menunggu kawanan monyet memburu bonus kuota hidup ke ceruk kampung; Menunggu paus dibanting isi lambungnya sendiri ke tepian; Menunggu kerangka komodo dimuseumkan dan menjadi latar swafoto penelitian; Menunggu semua lahan ludes terjual ke tangan-tangan gurita asing; Menunggu pabrik-pabrik berlomba mengentas penduduk dari zona buruk ke zona yang lebih buruk; Menunggu bukit dan gunung jadi ngarai wisata yang sangat instagramable; Menunggu tambak dan tambang terus memperlebar mulut atas nama perut; Menunggu dan menunggu hingga menunggu menjadi hal yang paling kau sesali

Sumenep, 2022

Baca Dulu: Sajak Nizar Qabbani

Nonsens

Konten adalah bukti bahwa saya bukan

                                                    Arca istana

Dan demonstrasi menjadi tanda bahwa

Negara hanyalah sebuah penamaan bagi

Setambun batu malang yang tidak pernah

                                             Istirahat dipahat

*

Terlalu gencar ingatan kami dicekoki rupa-

Rupa, rupa-rupa yang saling tumpang-tindih

Laiknya judul-judul berita yang bersaing ingin

Jadi topik utama, sampai ingatan kami yang

Sedikit genit sering mengusili huruf-hurufnya:

                                                         Rupa-rupa

                                            Pura-pura

                               Rupa-rupa

                   Rupiah-

         Rupiah

*

Sialnya kami terlampau terpukau pada

Yang kalem sehingga langkah kami dituntun

                                                             Kelam

Sialnya kebenaran selalu terbungkus

                                                    Pembenaran

Sialnya kami diakrabkan dengan istilah

‘Kebijakan’ atas tindak-tanduk kekejaman

Sialnya kamus kesayangan kami

Mengartikan kata ‘gusur’ dengan ‘geser’

Sialnya poster aspirasi dipandang seram

Ketimbang poster gigi-gigi yang berancang-

Ancang menerkam masa depan

Sialnya undang-undang lebih suka memata-

Matai gerak kami daripada merengkuh

Keringkihan kami

Sialnya kami masih harus bertahan

                                             Bertahun-tahun

Sialnya…

Yogyakarta, 2021

Baca Juga: Sajak Sapardi Djoko Damono

Interval

Sejenak Kemiskinan meninabobokan lesu

Berbagi kertap tualang kepada trotoar

Mengelap peluh dengan keluh dan pisuh

Kemiskinan melompat ke ceruk diri

Menambang jawaban untuk apa ia dicipta

Sedang orang-orang yang dicintainya

Menyandang cita-cita yang sama:

Menginginkannya musnah, punah!

Pernah Kemiskinan berupaya meletuskan

Raga dan nama, ingin tahu siapakah paling

Sayu sesudah ia dimamah udara dan debu

Ingin tahu seberapa lama manusia dapat

Bertumpu pada kehampaannya yang baru

Di lain waktu Kemiskinan mengangankan

Bu Risma atau Puan Maharani, Baim Wong

Atau Atta Halilintar tiba-tiba merangkulnya

Dari belakang, menyalurkan energi positif

Bahwa ia harus panjang umur, melintasi

Jembatan rahasia yang tak terukur

Yogyakarta, 2021

Daviatul Umam, penulis kelahiran Sumenep, Madura. Menempuh pendidikan terakhirnya di MTs. 1 Annuqayah, Guluk-guluk, Sumenep. Buku puisinya, Kampung Kekasih (2019), tidak mendapatkan penghargaan apa pun.

IG: @daviatul.umam

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *