Puisi Acep Zamzam Noor

KAU PUN TAHU

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi kerinduan
Bintang-bintang yang kuburu
Semua meninggalkanku
Lampu-lampu sepanjang jalan
Padam, semua rambu seakan
Menunjuk ke arah jurang

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi nyanyian
Suara yang masih terdengar
Berasal dari kegelapan
Kata-kata yang kusemburkan
Menjadi asing dan mengancam
Seperti bunyi senapan

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi keindahan
Kota telah dipenuhi papan-papan iklan
Maklumat-maklumat ditulis orang
Dengan kasar dan tergesa-gesa
Mereka yang berteriak lantang
Tak jelas maunya apa

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi persembahan
Aku sembahyang di atas comberan
Menjalani sisa hidup tanpa keyakinan
Perempuan-perempuan yang pernah kupuja
Seperti juga para pemimpin brengsek itu –
Semuanya tak bisa dipercaya

Kau pun tahu, tak ada lagi cinta
Juga tak ada lagi yang perlu dinyatakan
Pidato dan kentut sulit dibedakan
Begitu juga memuji dan mengutuk
Mereka yang lelap tidur
Bangunnya selalu kesiangan
Padahal ingin disebut pahlawan

SEPOTONG SENJA

Sepotong senja kemerahan yang kauberikan padaku
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukan itu
Masih belum bisa kuterjemahkan sebagai puisi
Senyummu terlalu jenaka untuk seorang Rabi’ah
Dan punggungmu belum cukup bungkuk untuk tertatih
Menyusuri lorong-lorong Basrah dengan tongkat tua
Bagiku, kesepian belum cukup untuk lahirnya sebuah puisi
Sebab kita belum cukup terbakar dalam api

Berkali-kali kausebut aku Hamlet yang gila
Hanya karena keraguanku menafsirkan sorot matamu
Karena begitu lama kubutuhkan waktu untuk terus berlari
Sebelum kulumuri kanvas-kanvasku dengan airmata
Mungkin aku lebih mirip Sisifus yang terkutuk
Atau Narsisus yang mabuk? Sepotong senja yang kauberikan
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukan itu
Masih belum bisa kuungkapkan sebagai lukisan

Di terowongan-terowongan kota Mekkah
Aku tidak menulis apa-apa, juga tidak melukis siapa-siapa
Di gurun-gurun pasir yang garang, di bukit-bukit batu
Aku tidak meratap atau menyanyi, hanya sekedar membaca sunyi
Aku bukanlah Bilal yang nyaring mengumandangkan azan
Juga bukan Hamzah yang lantang di garis paling depan
Bukan siapa-siapa. Kepenyairan hanya berlangsung dalam hatiku
Dan aku terus berlari dengan sepotong senja yang kauberikan

Di kanal-kanal Venezia, di relung-relung jembatan yang renta
Di antara para pelancong dan penziarah, juga para pelacur dan pastor
Aku tidak pernah lupa memanggil namamu, juga tidak pernah lupa
Menyumpahimu. Kubuka sebuah peta kuno di meja restoran
Sambil membayangkan pasukan kuda berderap dari arah selatan
Lalu kanvas-kanvas kosong kugelar sepanjang trotoar, kertas-kertas
Kutempel sepanjang terowongan. Ternyata aku tidak pernah lupa
Pada rambut ikalmu, pada hijau pupus kerudungmu

Sekali waktu kau mengejekku pengecut yang saleh
Ketika aku tersentak mendengar keinginanmu pergi ke Aceh
Mengikuti jejak Tjut Njak Dien dengan sebuah lentera kecil
Apakah kau mencari sesuatu yang paling ujung, paling tepi
Paling sunyi? Tapi alis matamu terlalu indah untuk rimba-rimba
Untuk perburuan makna di tengah dahsyatnya belantara
Ah, mungkin Lhok Nga akan menyambutmu dengan rebana
Atau malah menimbunmu dengan karangan bunga

Tiba-tiba aku tersungkur di lembah Mina
Jasadku yang telanjang hanya dibalut selembar kain putih
Seperti matahari, seperti udara, seperti tenda-tenda semuanya
Memutih. Apakah domba-domba mendengar jerit suaraku yang perih
Dan memberikan darahnya untuk mengentalkan lukaku? Apakah
Unta-unta mencium bau anyir kesakitanku? Apakah bukit-bukit batu
Membaca kerinduanku dan menggelindingkan satu bongkahannya
Untuk menindihku? Apakah gurun-gurun pasir memahami serapahku?

Sepotong senja kemerahan yang kauberikan padaku
Segulung mega serta segenggam kabut yang memabukan itu
Masih belum bisa kuterjemahkan sebagai puisi
Payudaramu terlalu lunak untuk seorang Madonna
Dan bibirmu belum cukup tebal untuk selalu tersenyum
Sambil melambai-lambaikan tangan dengan sebatang cerutu
Bagiku, keindahan belum cukup untuk lahirnya sebuah puisi
Sebab kita belum cukup tenggelam dalam sepi

***

Baca Juga: Puisi Soe Hok Gie

KETAPANG-GILIMANUK

Bermula dari ombak pasang
Yang menyediakan ruang
Bagi tubuhku
Ulakan air melahirkan kata-kata
Yang berloncatan seperti lidah api

Di paha-paha batu karang
Kata-kata bergerak dan meluap
Aku pun terdesak
Ke sudut sempit selangkanganmu
Yang gelap. Sebuah persetubuhan sunyi
Waktu yang terus menari dan menyanyi
Menciptakan ruang-ruang murni
Di balik ceruk ombak

Tubuh bugilku
Terapung
Di atas tubuhmu yang asin
Burung-burung dan deru angin selat
Menggoreskan jejak lain. Sebuah isyarat
Garis yang ditarik lurus
Dari kaki langit
Tempat cahaya menenggelamkan dirinya di air

Seperti seorang perenang
Aku pun menyelam dan mengembara
Dengan kata-kata liar tangkapanku
Sebuah kelahiran kembali
Yang perih
Kesunyian tiada tara
Perjalanan dari biru menuju jingga
Sebelum kata-kata saktiku akan tercipta
Dari derita

DI MALIOBORO

Di antara kereta yang beranjak ke timur
Serta jerit peluit yang masih tersisa di telinga
Udara seperti bergetar meski hujan telah lama reda
Kita berjalan ke luar meninggalkan deretan bangku itu
Dan segera nampak aspal yang mengkilat, trotoar yang bersih
Juga bentangan rel yang ujungnya menghilang ditelan gelap
Kau sedikit sempoyongan menghirup candu kata-kataku
Sedang wajahku membiru oleh kalimat-kalimat tanggung
Dari cerita pendek yang tak kunjung kauselesaikan

Di sebuah warung segalanya menjadi lebih terbuka
Seperti majalah lama. Aku mengingat kembali namamu
Mencatat alamatmu, menghitung tahi lalatmu dan membaca
Isyaratmu. Gambar kupu-kupu hijau di atas payudaramu
Membuatku paham bahwa kau memang keturunan peri
Bahwa parasmu cantik sekali. Mungkin pelipismu tak serata
Jembatan yang menyatukan patahan garis di lengkung alis mata
Namun rambutmu yang segimbal musim hujan, serimbun ucapan
Telah membuat napasku menjadi begitu tidak keruan

Kau menciumku seperti gempa bumi yang pelan dan sopan
Lalu aku membalas ciumanmu layaknya tanah kerontang
Yang diberkati hujan. Rasa tembaga kucecap dari bibirmu
Seperti asin darah yang bercampur dengan buih-buih ludah
Aku menelan semuanya bagaikan menelan setiap peristiwa
Dalam kehidupan. Tapi di sebuah warung yang terbuka
Di majalah lama yang mulai sobek halaman-halamannya
Ceritamu menjadi terlampau pendek untuk sebuah kisah cinta
Yang panjang. Untuk sebuah kota yang selalu digenangi kesedihan

Baca Juga: Puisi Afrizal Malna

KEPADA SEORANG PENYANYI DANGDUT

Di tengah melambungnya harga-harga
Suaramu semakin merdu saja

Di tengah membengkaknya hutang negara
Wajahmu semakin cantik saja

Di tengah ruwetnya masalah sosial, politik dan agama
Tubuhmu semakin sintal saja

Di tengah merebaknya teror dan berbagai bencana
Goyanganmu semakin heboh saja

Di tengah langkanya pemimpin yang bisa dipercaya
Kehadiranmu semakin berarti saja

Di tengah terpuruknya kehormatan bangsa
Hargamu semakin melambung saja

Bagian dari Kegembiraan

1
Jalan di belakang stadion itu sudah lama tidak kulewati
Mungkin madrasah yang dibangun persis depan kamarmu
Sekarang sudah rampung. Aku teringat pohon beringin
Yang berdiri anggun dekat taman kanak-kanak dan pos ronda
Setiap pulang mengantarmu aku sering kencing di sulur-sulurnya
Yang rimbun. Sepi terasa menyayat jika kebetulan lewat:
Ingin sekali minum jamu kuat, tapi kios yang biasa kita kunjungi
Sudah tidak nampak di sana

2
Volkswagen yang bentuknya mirip roti tawar itu masih kusimpan
Di garasi. Aku belum berniat menjualnya meski dengan harga tinggi
Di badannya yang mulai karatan masih tersimpan ratusan senja
Yang pernah kita lewati bersama. Di joknya yang mulai rombeng
Masih melekat ribuan pelukan dan ciuman. Catnya belum kuganti
Aku masih ingat bagaimana dulu kau ngotot memilih hijau lumut
“Biar mirip seragam tentara,” ujarmu. Tapi mobil yang usianya
Delapan tahun lebih tua darimu atau tiga belas tahun di bawahku itu
Akhirnya kulabur dengan hitam. Kini mesinnya harus sering dipanaskan
Dan sesekali mesti dibawa jalan-jalan. Aku sangat menyayanginya
Sekalipun kerap membuatku jengkel dan putus asa. Pada kaca spionnya
Masih tersimpan gambar yang menjelaskan betapa berliku jalan
Yang kita susuri. Pada rodanya masih tercatat angka yang menunjukkan
Betapa panjang kilometer yang kita tempuh

3
Apa makna alun-alun bagimu? Kenapa selalu mengajakku duduk-duduk
Di salah satu sudutnya? Apakah kau suka mendengar bunyi air mancur
Atau senang melihat pasangan-pasangan yang berpelukan dalam remang
Lampu taman? Atau ingin menjadi bagian dari Tasik Volkswagen Club
Yang sering nongkrong malam-malam? Lalu apakah makna kegembiraan
Bagimu? Kau hanya tersenyum setiap kutunjukkan di mana letak bintang
Yang suka menyendiri di gelap malam, setiap kukatakan bahwa ricik air
Adalah suara hatiku yang paling dalam

4
Tiba-tiba kausentuh lagi ingatanku pada bunyi tek-tek
Pedagang mie keliling. Kautarik lagi kenanganku
Pada nama jalan, tembok penuh coretan dan tiga kelokan
Yang selalu menyaksikan kita sempoyongan malam-malam
Menuju kamar kontrakanmu di ujung gang. Kaugetarkan lagi
Kesepianku pada harum rambut, sisa bedak serta kecupan singkat
Yang sesekali hinggap di antara rintik gerimis yang rapat:
Jangan menelpon. Aku tidak akan tahan mendengar suaramu

5
Waktu melingkar seperti jalan yang mengelilingi stadion
Berawal dari titik sepi dan akan selalu berujung pada titik
Yang sama. Bermula dari kekosongan dan kembali lagi
Pada kekosongan. Sejak perutku membuncit dan punggungku
Mulai terserang rematik, setiap sore aku selalu ikut berlari
Bersama mereka yang rajin memelihara badan dan kesehatan
Aku tidak muda lagi, namun seperti yang pernah kaukatakan dulu
Cinta tidak ada hubungannya dengan usia. Aku berlari pelan-pelan
Melewati lapak-lapak kaki lima, melewati warung-warung kopi
Yang jika malam akan berubah menjadi tempat transaksi, melewati
Anak-anak sekolah yang main basket, melewati deretan sepeda motor
Melewati ibu-ibu muda yang bajunya ketat serta rambutnya cokelat
Dan sepi terus melingkar seperti mereka yang rutin berolahraga, seperti
Mereka yang takut akan kematian, seperti poster-poster yang bertaburan
Seperti wajah-wajah calon walikota yang senyumnya seragam, seperti
Baris-baris puisi yang tidak sempat kutuliskan. Di depan sebuah gang
Kadang aku berhenti dan tanpa terasa meleleh airmata di pipi

Tugu

1
Di stasiun peninggalan kolonial, di bangku hijau
Yang berjejer menghadap rel, seorang perempuan putih
Menyampaikan sesuatu: mungkin isyarat, mungkin juga wasiat
Atau semacam maklumat yang santai
Tentang cinta yang langka. “Tahun depan aku kembali,” bisiknya
Dan perempuan putih itu (sebut saja demikian karena kulitnya terang
Karena kontras dengan kebaya luriknya yang kelam) berdiri dan berjalan
Ke pinggir rel, menyongsong datangnya kereta
Dari timur kereta datang. Rel bergetar, dinding ratusan tahun bergetar
Tiang besi, atap seng, gantungan lampu, jam besar
Semua bergetar. Dari timur kereta kusam yang bersaput debu
Datang dengan tulisan di badannya: Biru Malam
Seorang lelaki berkacamata hitam melambai, tapi lunglai
Seperti adegan film India. Lelaki itu
Tak bisa menahan bergulirnya airmata
(Padahal rambutnya gimbal, memakai gelang dan anting
Serta sebuah tato binatang di lengan kirinya)
Jarum pada jam seakan terdiam, seperti tiang besi yang dingin

2
“Sepi tak ada kaitannya dengan gelang, anting atau tato,” lelaki itu
Bergumam pada dirinya sendiri. Dulu ia mengenal kekasihnya
Di sebuah jalan paling terkenal, di depan gang paling banal
Tak jauh dari stasiun. “Rindu tak ada hubungannya dengan kacamata
Apalagi rambut gimbal,” gumamnya lagi. Lalu menenggak minuman
Nampaknya ia menangis. Yogyakarta diguyur gerimis

3
Seorang lelaki berlari patah-patah, menembus gerimis yang beranjak
Menjadi hujan. Seorang lelaki berlari patah-patah ke utara, terus ke utara
Seperti adegan film India. Dengan segumpal perasaan kehilangan
Lelaki itu memanjat tugu, merayap hingga ke puncaknya
Kemudian berdiri dan melambai-lambaikan tangan ke langit:
Mungkin memanggil seseorang, mungkin juga mengutuk seseorang
Seseorang yang belum lama dilepasnya pergi. ”Maryaaam…” pekiknya
Langit hanya diam. Airmata lelaki itu berlelehan.

Baca Juga: Puisi WS Rendra

Aku Ingin Menemanimu

Aku ingin menemanimu pulang malam ini
Menaiki bis kota dan berhimpitan di dalamnya
Aku ingin menemanimu sampai halte berikutnya
Sampai kilometer selanjutnya, turun depan kantor polisi
Menunggu metro mini. Aku ingin menemanimu bersidekap
Dalam angkutan yang pengap, melewati sejumlah lampu merah
Melewati sekian perlintasan kereta api, melewati jalan-jalan layang
Melewati terowongan-terowongan hingga terjebak kemacetan
Dekat terminal. Aku ingin menemanimu menarik napas panjang
Mengeluarkan tisu dan mengelap keringat di kening serta lehermu
Aku ingin menemanimu turun dari kendaraan rombeng itu
Berjalan menuju pangkalan ojek. Aku ingin menemanimu
Melintasi tanah-tanah berlubang, menerobos liku-liku gang
Hingga pekarangan rumah kontrakanmu yang penuh jemuran
Aku ingin menemanimu membuka pintu, memasuki kamarmu
Mencopot sepatu, melepas semua pakaian dan melemparkannya
Ke bawah dipan. Aku ingin menemanimu menghidupkan kipas angin
Lalu meneguk air mineral yang dingin. Aku ingin menemanimu
Menyalakan televisi, menonton film biru dan mengisap candu
Aku ingin menemanimu bermain-main dengan sepi di kamarmu

Sepanjang Jalan

Sepanjang jalan kupungut patahan ranting
Kukumpulkan luruhan daun dan kutandai jejak kaki
Sepanjang musim yang basah kuaduk tong sampah
Kubongkar cuaca. Hanya hujan, hanya banjir
Dan aku kehilangan seluruh matahari
Kususuri selokan dan gang, kureguk minuman paling keras
Kulepaskan pakaian dan kuburu sunyi yang berloncatan
Seperti bunyi senapan. Kukejar hingga ke tengah pasar:
Aku pun menjelma pedagang kaki lima, menjajakan cinta
Pada setiap orang. Mengobral janji dan harapan
Sepanjang jalan kutulis sajak-sajak penuh kutukan
Kucari ungkapan-ungkapan paling gelap serta kurekam raung
Ambulan dan pemadam kebakaran. Sepanjang jalan raya
Sepanjang siang dan malam. Kumasuki penjara
Kujelajahi semua masjid, gereja dan vihara
Selalu saja aku tak tahu mesti menuju ke mana
Sepanjang keterdamparan, sepanjang keterasingan
Tak ada yang bisa kumengerti, tak ada yang perlu kupahami
Ingin berlayar, ingin terus mengembara
Mengayuh perahu usia, menggali kubur di lautan kata-kata

Tentang Acep Zamzam Noor

Acep Zamzam Noor adalah penyair dan pelukis kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat. Kumpulan puisinya yang terbaru, Menjadi Penyair Lagi, meraih Khatulistiwa Literary Award 2006-2007. Sehari-hari ia bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *