Puisi-puisi Afrizal Malna berikut ini adalah puisi pilihan dari kumpulan puisi Afrizal Malna yang berjudul Kalung dari Teman, terbitan Grasindo (1999)

Baca Juga: Puisi WS Rendra dalam Blues untuk Bonnie
Tanaman Tahun
Satu dua orang datang satu dua orang pergi
Pohon tumbuh sendiri, sapi berjalan sendiri
Kemarin aku berjanji menjengukmu
Nonton bersama
Satu dua orang datang satu dua orang pergi
Tak ada halaman lain pada tubuhmu
Waktu telah jadi bentangan kain
Potongan-potongan baju, ke Selatan ke Utara
Jam 10 malam, toko-toko telah tutup
Satu dua orang datang satu dua orang pergi
Siapa yang mau menunggu di sini
Orang-orang berlalu
Halaman rumah belum disapu
Semua orang datang semua orang pergi
Besok aku berjanji menjengukmu
Tanpa dirimu lagi
Di situ
1983
Karikatur 15 Menit
Karikatur 15 menit membawaku berpose, seperti raja-raja telanjang dalam baskom. Lalu gadis-gadis 15 menit berlengketan dalam kaleng-kaleng minum. Aku bunting dalam percintaan ini, seperti kuda beranak dalam lemaries. Lalu aku potret diriku jadi karikatur 15 menit. Studio foto meledak, studio foto meledak, wanita-wanita cantik lahir setiap 15 menit. Tak ada lagi kecantikan untuk dipotret, karena setiap 15 menit layar diganti. Tak ada lagi peristiwa untuk dipotret, karena setiap 15 menit orang jadi karikatur.
Karikatur 15 menit mengubah diriku jadi menu makanan, merek sabun mandi. Lalu dunia datang padaku seperti kerbau goyang. Sebelum berangkat menguap jadi gas atau busa sabun: 15 menit aku merdeka sampai mati.
1987
Arsitektur Hotel
Hotel sepi. Hotel mati. Seekor burung dari kamar ke kamar, menyileti cermin. Dan batu-batu membuat bangku, dan batu-batu membuat pintu, dan batu-batu membuat tamu. Dada. Telur-telur mati mengisi hotel. Beri aku orang.
Hotel mengubah orang-orang datang jadi orang-orang pergi, menyetir mobil sendiri, menyetel radio sendiri, memanggil burung-burung terbang, menghias sunyi di setiap telur. Maka, dada, kupu-kupu bersarang jadi pohon mati, burung-burung terbang jadi bukit mati. Ia bangun manusia pecah.
Ini jam hotel. Dada. Waktu sedang membuat sarang, membuat telur. Setelah semua janji dianggap tidak suci, angin itu jadi hotel, semangka itu jadi hotel, sapi itu jadi hotel. Maka jendela-jendela hotel, Dada, menunggu semua yang pergi, menunggu semua yang lari, menunggu semua yang tak setuju.
Biarkan tamu-tamu datang. Dada. Memecahkan telur dari kamar ke kamar. Memecahkan telur dari kamar ke kamar.
1984
Dada
Sehari. Waktu sama sekali tak ada, Dada. Bumi terbaring dalam tangan yang tidur. Ingin jadi manusia terbakar dalam mimpi sendiri. Sehari. Semua terbaring dalam waktu tak ada. Membaca, Dada. Membaca kenapa harus membaca, bagaimana harus dibaca. Orang-orang terbaring dalam tubuhnya sendiri, orang-orang terbaring dalam pikirannya sendiri. Mengaji, Dada. Mengaji. Keinginan jadi manusia, menulis dan membaca di tangan sendiri.
Sehari. Waktu tidak menanam apa-apa, Dada. Hanya hidup, hanya hidup membaca dirinya sendiri; seperti anak-anak membaca, seperti anak-anak bertanya. Menulis, Dada. Menulis kenapa harus menulis, bagaimana harus ditulis. Orang-orang menjauh dari setiap yang bergerak, Dada; seperti menakuti setiap yang dibaca dan ditulisnya sendiri. Membaca jadi mengapa membaca, menulis jadi mengapa menulis.
Sehari. Aku bermimpi aku jadi manusia, Dada. Sehari.
Dada. Sehari.
1983
Baca Juga: Puisi Rivai Apin
Orang-orang Jam 7 Pagi
Lemari makan dan atap rumah, ribut sekali semalam. Sisa-sisa mie goreng seperti serakan orang bunuh diri. Tikus mengundang teman-temannya di situ, membuka lemari es, membayangi selokan got pada irisan mentega. Tak pernah kutahu kebahagiaan dan kesedihan mereka: Aduh! Ribut sekali kalimat seperti ini. Lalu sikat gigi, suara air kamar mandi, mulai membuka pintu dan jendela-jendela pagi.
Selimut masih membayangi sebuah kota, bersama bubur ayam, mentega dalam roti, dan air mendidih di atas kompor. Sepatu mereka mulai berbunyi, menjauh dari teras rumah, bau sabun dan shampo pada rambut basah. Suara ribut di meja makan mulai berubah jadi asap knalpot. Aku adalah 3 km yang lalu dalam bis penuh sesak, menelusuri koridor-koridor yang menyimpan betismu. Lalu menghilang di balik lift. Aih! Tak ada lagi masyarakat, pada telepon yang kau angkat.
Jam 7 pagi aku antar tubuhku dalam kristal-kristal vitamin C, lembar-lembar fotocopi: tolong cumi kering setengah kilo; minyak goreng satu botol; bawang putih: siapa yang telah menyusun pagi jadi seperti ini?Suaranya, seperti siaran berita yang menggebrak meja.
1995
Usaha Menjadi Ibu Rumah Tangga
Aku pulang malam sekali. Istriku terbangun, membukakan pintu. Ia tersenyum. “Tak apa, kalau tak ada siang di sini,” katanya. Aku segera meletakkan tas. Aku lihat matanya, sebuah pemandangan baru saja mendapatkan sinar. “Bisakah besok kamu jadi ibu rumahtangga,” katanya.
Pagi sekali aku bangun. Membereskan seprai. Memasak air. Memandikan anak. Menyapu. Menyusun pot-pot tanaman. Dan banyak urusan lagi untuk menjadi seorang ibu. “Telepon aku jam 12 siang.” Masakan apa? Semuanya aku kerjakan, seperti berjalan dari satu kota ke kota lainnya. Nonton film. Memetik jambu. Ada ikan dan kelinci di dapur, pemandangan putih ketika membuat susu. Hingga aku hamil, melahirkan diriku sendiri, membesarkannya. Dan mengerti, kenapa ia memanggil“ibu” kepadaku.
Aku pulang malam sekali. Istriku terbangun, membukakan pintu. Ia tersenyum. “Kenapa kamu menjadi seorang ibu seperti itu,” katanya. Aku peluk bahunya, seperti sebuah kamar, dengan jendela menghadap ke bukit.
1997
Pelajaran Bahasa Inggris tentang Berat Badan
Maaf, berapa berat badanmu? Sebentar saja, kepalaku satu kubik pasir. Tanganku 60 cm. Permisi, berapa jam berat badanmu? Bibirku tebal. Tentu, kakiku coklat, seperti bangunan pemerintah. Berat badanmu bagaimana, please. Namaku Ahmad, tolol! No, kepalaku satu kubik pasir. Ada saluran got. Irisan daging di wastafel. Tunggu. Kenapa tanganmu keras? Seperti kekuasaan. Kamu punya kebudayaan, ya? Wajahmu merah. Anda suka juice tomat? Maaf. Berat badanmu siapa? Kakiku ada di situ, tolol! Please … please. Temani badanku. Jangan begitu. Satu karung pasir untuk apa? Sorry … di mana berat badanmu? Maaf, jangan pegang hidungku. Kekasihmu mana? Wortel dan buncis sudah direbus. Permisi, sudah mendidihkan air itu? Bulu kucing di matamu lucu, ya. Beautiful. Pakai saja baju batik itu. Nanti pacarku curiga. Jangan lupa, namaku Ahmad! Idiiiih, masa tidak pakai sabun? Aaaaaaa, kok kupingnya seperti itu? Maaf, pernah melihat berat badanku? Mau membuat esei, ya? Tentang kebudayaan? Analisa politik dan ekonomi, ya. Sakit, dong, tanganmu.
1995
Fotokopi Orang Ramai
Tak ada lagi yang merasa perlu meniru jadi hujan, kalau tak siapa pun perlu berbeda. Semua yang dilihat telah mengenakan mantel, payung, dan sepatu berlumpur. Segala yang besar telah tumbuh, meniadakan arti pada hujan yang turun.
Selalu seperti itu peristiwa berlalu melampaui saya, seperti menanam batu di depan pintu. Saya antar diri sendiri ke situ, di antara orang-orang ramai bergerak, mengisi dekor-dekor kota yang bukan miliknya. Melihat hari seperti etalase menyimpan lenganmu.
Setiap saat saya harus meyakini kembali di situ, setiap benda yang bergerak di sekitar saya: Meraba dinding, memukuli tiang listrik, dan mendengar dentang jam hanya untuk tahu: Di situ orang datang menuju dirinya sendiri, seperti menuju ke sebuah daerah yang telah lampau.
Saya orang ramai yang ditulis oleh peristiwa di situ, telah jadi bahasa yang menafsirkan dirinya kembali, ketika jalan raya menjemputnya pergi.
1987
Baca Juga: Puisi Kriapur
Jam Kerja Telepon
Ini bicara dengan Merlin. Saya Merlin. Tetapi Merlin tak ada di mana-mana. Merlin sedang jadi bintang. Merlin sedang jadi bintang. Saya ciptakan orang-orang dari obat tidur. Tetapi suaramu parau, Merlin. Saya menelanjangi diri sendiri, seperti menelanjangi dunia yang minta saya jadi Merlin.
Tetapi Merlin tak ada di mana-mana, seperti dunia tak ada di mana-mana, seperti orang tak ada di mana-mana. Merlin telah jadi pamflet dari keinginan jadi manusia. Tolong sambungkan saya dengan dunia mana pun, Merlin. Saya Merlin. Tetapi Merlin tak ada di mana-mana. Merlin sedang jadi bintang, mengubah dunia jadi obat tidur. Kau menangis, Merlin. Saya menyaksikan orang-orang lahir dari telepon. Mereka memaksa saya jadi Merlin. Mereka memaksa saya jadi Merlin. Dan saya meneguknya dalam putaran: Pil!
Saya mencium bau busuk dari telepon. Saya kehilangan kontak. Saya tercekik. Saya bukan Merlin. Merlin telah jadi ibu, Merlin telah jadi ibu, dalam TV-TV merah kuning hijau biru dan sepi.
1986
Dalam Gereja Munster
Pintu tebal gereja Munster, melepaskan tubuhnya di tepi Sungai Rhein, di Basel. Tiang-tiang meninggi, membuat malamnya sendiri. Kursi-kursi dingin, membuat ruangnya sendiri juga. Bukankah telah aku tinggalkan rasa dingin itu, di Schilthorn, bentangan salju di puncak-puncak air terjun, menurunkan sebuah kota dari gumpalan-gumpalan es. Langit putih kelabu telah disalibkan dalam gereja tua itu, lenganku terguncang. Aku tersedu, bertamu padamu.
Masih ada donat di tangannya, jari letih ungu, dan peta lipat menjatuhkan batu-batu. Temanku hilang dalam kesedihan: Selamatkanlah mereka yang bercinta, katanya. Lalu aku sentuh, bahunya jadi tembok sunyi bertuliskan: “Amis raus! – Pergi orang-orang Amerika!” dengan huruf-huruf gemetar, di gereja St Marien. Aku tunggu lagi dia, di stasiun bawah tanah. Tubuhnya hotel yang sepi, poster, dan orang-orang bergegas …
Kereta telah disalibkan dalam gereja tua itu, berderak lagi. Membawa remaja-remaja bercumbu, dan hari esok putih menggumpal. Aku tersedu. Lonceng-lonceng gereja berdentangan lagi memanggilmu.
Sejak paskah itu, aku tahu, kita tak perlu bertemu lagi … Kursi telah malam. Piring telah malam juga.
1993
Makan Malam Bersama Ama dan Ami
Ama dan Ami memesan rendang. Saya memesan gulai tunjang, satu gelas teh manis. Di luar, gerimis memotret kota Padang. Seperti kereta batubara berjalan sendiri, membuat lembah dari rel-rel besi dan gerobak sapi. Tak ada partai sosialis dan Masyumi di sini, juga seorang kemenakan yang hilang di kaki lima. Edy sedang mencukur bulu hidung waktu itu. Noni memasak telur dadar. Tiba-tiba dua gadis kembar berusia 5 tahun, mengucapkan dialog-dialog peri dari negeri Hamlet. Ada es krim warna-warni pada tawa lucu Ama dan Ami, seperti tanah air yang lain. Mereka memang pernah jadi peri dalam pertunjukan itu, meramal tragedi Hamlet, dari kekuasaan paman dan ibu. Lalu mereka berlari-lari kembali ke masa kanak-kanakku, yang menunggu di depan pintu.
Waktu itu saya berusia 5 tahun, Ama dan Ami sedang minum susu di pasar Bukittinggi, mengumpulkan bangkai-bangkai rumah dari Kota Gadang: “Para perantau itu,” kata ibuku, “seperti rumah-rumah Minang yang menusuk telapak kakimu.” Lalu seekor anjing berlari dari ujung jalan, seperti negeri berada dalam bahaya perang PRRI. Tahu, politik tidak ikut campur mengatur kamar mandi saya.
Tetapi tutup pintu itu!
Angin dingin di Padangpanjang, kabut dalam sorotan lampu senter, membuat Ama dan Ami gaduh dalam masa kanak-kanakku. Mereka memakai sepatu ayah, memakai topi ayah, memerankan Hamlet yang terusir. Kamar hotel, yang berdiri di depan kantormu, Edy, gemetar, memotret negeri ibu sendiri lewat siaran radio.
1994
Jamal Menari
Jamal menari. Tangannya gemulai, seperti bunga dirangkai seorang gadis. Tetapi matanya penuh pecahan telur: “Inlander dilarang masoek,” katanya. Ada yang bergerombol di luar sana. Konservatif. Tubuhnya cairan otak dalam botol, dan semacam minyak tanah bercampur air. Kemudian orang-orang asing datang, mengajar menari. Memasang pengeras suara di gedung-gedung pemerintah. Tetapi ketika aku mulai menari, menabrak-nabrakkan tubuh pada tembok, aku lihat pengeras suara pecah di atas kepalamu: Aku putus asa untuk jadi orang asing, juga putus asa untuk jadi inlander.
Jamal, temanku dari Madura itu, kemudian berdoa dengan baju tebal yang gemetar, seperti Abu Nawas menghadap raja: “Yang mulia, aku terlalu lemah untuk jadi orang asing, tetapi juga terlalu lemah untuk jadi inlander.”
Di tengah pesta, dari orang-orang yang merasa dirinya pemberontak, aku kena diare. Tarianku jadi kacau, seperti pengeras suara yang pecah di atas kepalamu itu:
“Inlander dilarang masoek”. Aku bersumpah: Dunia konservatif sedang memakan jantungmu.
1995
Saya Menyetrika Pakaian
Dia adalah deru kereta …. Seorang wanita Indonesia di Bern, membuat bahasa aneh, dari jaket kulit dan pembebasan visa: “Suami saya seorang Itali. Tetapi saya dari Gunung Kidul.” Di Sungai Melezza, batu-batu berkaca menghanyutkan kembali lukisan-lukisan Bacon, jadi bangkai-bangkai rumah Abad 20. Rasialisme telah tertanam dalam warna kulitku. Dia adalah sapi dan sepeda, di antara gereja, kafe, dan batang-batang rel kereta.
Perkenalkan, namaku Muhamad Amin, dari Irak. Tapi sebuah negeri telah membuatku hidup hanya dari wortel, body lotion, dan paspor yang menyimpan keresahan parai migran. Dia adalah seorang Jerman, yang belajar tersenyum dari tomat-tomat yang tumbuh di balkon. Danke. Revolusi Iran telah mengusirku hanya karena teater. Lalu para seniman menolak setrikaan di Monte Verito. Dia adalah … tiba-tiba ingin jadi makhluk danau di Ascona. Mengirim bukit-bukit berhimpitan, tanpa Hitler, Madonna, atau si jenggot dari Trier: Ini tembok untukmu, Berlin, jangan sedih.
Tetapi bank-bank telah menanam Suisse, di antara kantor-kantor pemerintah, seperti bunga di kamar mandi: Siapa yang mau bunuh diri dengan keindahan. Wi, wi …mari. Dia telah membuat sebuah negeri dari perahu penyeberangan, di sepanjang Sungai Rhein. Tetapi di sebuah pesta ulang tahun, dia adalah sejumlah pelukan bernyanyi … oh, my papa … “Namaku Lili dari Madagaskar,” dalam bahasa Perancis yang tercekik.
1993
Baca Juga: Puisi Agam Wispi
Kalung dari Teman
Hari ini saya sedang bahagia. Saya duduk di sebuah restoran dengan seorang teman lama. Kami berusaha saling membagi cerita. Tapi kemudian saling tahu, kami tetap berada dalam kereta berbeda. Dari jendela kami hanya saling melongok. Kenapa tidak bisa saling berbagi halaman? Ada nomor teleponnya dalam kantong baju saya, sebuah sungai di bawah bantal. Tiba-tiba waktu seperti binatang buas. Taring-taring bahasa mengintai kami dari balik jendela.
Makanan yang kami pesan telah datang. Ada kuburan waktu di sana, jam 12 malam dalam tubuh saya. Siapa yang telah mati dengan cara begini? Pelayan restoran meletakkan lembaran nota di meja makan kami, tak peduli dengan kuburan itu. Di luar saya lihat sebuah bangunan baru telah berdiri lagi. Saya menggapai-gapai dirimu, seperti bahasa yang mengubahmu terus-menerus.
Saya genggam tangannya, teman saya seperti gerimis di luar jendela. Membasahi daun-daun di halaman, membuat pot untuk waktu. Di luar, kereta telah berlalu, meninggalkan kami di peron yang sama. Tetapi matanya seperti ingin memanggil seluruh orang, ingin membenarkan dirinya tumbuh bersama waktu. Ingin melihat air mata kata-kata. Ingin membuat puisi dari genggaman lengan bayi. Melihat taring-taring bahasa membuat untaian kalung permata di leher kami.
Lalu saya lihat asap putih keluar dari mulut saya. Menjadi api. Membakar apa saja di sekitar saya. Api itu ikut membakar kami berdua. Saya dan teman saya menjadi kalung api. Lalu pergi meninggalkan restoran itu. Restoran yang telah kami bakar. Api bahasa terus berkobar-kobar, seperti tanaman api, yang sepanjang masa ingin kau padamkan.
1997
Kucing Berwarna Biru
Sudah tiga malam ini seekor kucing sakit, selalu tidur di depan pintu rumah saya. Ia mengeluh dan mengerang. Suaranya seperti keluar dari rumpun gelap di halaman rumah. Kadang seperti makhlus halus yang sedang membuat perjanjian dengan pohon nangka di halaman rumah saya. Orang bilang kucing itu kena teluh. Saya mencoba mengusirnya. Tetapi kucing itu menatap saya seperti mata ibu saya. Katanya, dirinya adalah roh saya sendiri yang sedang sakit. Ia mohon agar bisa tidur dalam kamar saya. Saya tak tega mengusir kucing itu. Bulu-bulunya seperti kenangan saya pada kasih sayang.
Malam berikutnya saya mulai terganggu. Keluhnya berbau darah. Ia mulai menginap dalam pikiran saya. Setiap malam, seperti ada rumpun gelap dalam diri saya, menyerupai kucing yang sakit itu. Suara gaib di depan pintu. Setiap malam, seperti ada pohon nangka yang berjalan-jalan dalam tubuh saya, menyerupai kucing yang mengaku sebagai roh saya yang sedang sakit itu. Akhirnya saya membunuh kucing itu. Menjerat lehernya dengan tali plastik. Matanya seperti kematian yang mengetuk kaca jendela.
Besok pagi saya temukan mulut, telinga dan lubang hidung kucing itu telah mengeluarkan tanah, berwarna merah. Rumput-rumput tumbuh di atasnya. Saya lihat ikan-ikan juga telah berenang dalam perut dan tengkorak kepalanya. Dan seperti seluruh surat kabar, matahari tidak terbit pagi itu.
1997
2 X 2 Meter
Di sini ada pohon keramat, memancarkan air. Satu-satunya sumber air bersih di kampung ini. Anak-anak menangkap ikan . . . dalam lumpur.
Besok, jam 8 malam, kami akan membuat pertunjukan. Tentang kota dan kampung yang padat. Inem, Yana dan Kunah, bekerja sebagai buruh jahit. Cacuk menjual bakmi. Jangan lupa selametan nanti malam. Edy baru lulus sarjana. Dedy tidak tinggal lagi bersama orang tua. Kuro tidak lagi mencari perempuan dari desa. Besok, jam 8 malam, kami akan membuat pertunjukan. Tentang puskesmas di antara kubangan lumpur. Sumbangan mesjid dan setoran keamanan toko-toko. Ke manakah Wardah mereka bawa? Mulut kami seperti massa di loteng-loteng berhimpit. Langit dari seng dan plastik bekas. Iwan dan Firman sakit perut. Ada golok tumpul di bawah bantal.
Besok, jam 8 malam, kami akan membuat pertunjukan. Tentang hati kami yang tak bisa dibakar. Ketakutan telah berhimpitan di setiap tikungan gang. Orang-orang dari desa terus datang ke rumah kami. Tangga kecil dari kayu, tempat memasuki kota. Besok, jam 8 malam, kami akan membuat pertunjukan. Tentang keputusan lurah. Di kamar mandi masih ada sisa banjir, dan iuran sampah. Sepatu dan sandal berserak di pintu. Bersama ibu-ibu menggendong anak, sambil mencuci baju-baju kotor, sambil memasak sayur, sambil memikirkan nasib suami, sambil ke pasar membeli ikan asin.
Besok, jam 8 malam, kami akan membuat pertunjukan. Tentang hati kami yang tak bisa digusur. Bau telur digoreng dan bunyi kipas angin. Kota terus melangkah, ingin merebut kamar kami dan sisa udara pengap. Nama-nama kampung telah berubah dari Tanah Sereal, Roxi, Jelambar, dengan taksi ke Bintaro, Pondok Indah dan kondominium. Kisah kami tinggal 2 X 2 meter.
Jangan lupa, Sumi, Cacuk. Besok kami akan membuat pertunjukan, jam 8 malam. Tentang Tini yang hatinya terbuat dari 2 X 2 meter. Menunggu pohon keramat. Menunggu sumber air bersih. Kota telah berjalan. Jauh.Tak pernah puas. Tak pernah memberi pemandangan lagi untuk hatinya. Besok, jam 8 malam, kami akan membuat pertunjukan. Jangan lupa.
1997
Tentang Penulis
Afrizal Malna lahir di Jakarta, 7 Juni 1957. Pendidikan terakhir: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (tidak selesai). Sejak 1983 hingga 1993, ia banyak menulis teks pertunjukan Teater Sae. Tahun 1995 membuat pertunjukan seni instalasi (Hormat dan Sampah) bersama Beeri Berhard Batschelet dan Joseph Praba di Solo. Tahun 1996 koloborasi pertunjukan seni instalasi Kesibukan Mengamati Batu-batu, dengan berbagai seniman dari berbagai disiplin di TIM Jakarta. Ia pernah mengunjungi beberapa kota di Swiss dan Hamburg, memberikan diskusi teater dan sastra di beberapa universitas dalam rangka pertunjukan Teater Sae (Mei-Juni 1993) yang mementaskan naskahnya. Baca dan workshop puisi di Den Haag dalam forum penyair Indonesia-Belanda (1995), memberikan diskusi dan baca puisi di beberapa universitas di K⍤ln, Bonn dan Hamburg (1995), dan mengikuti Poetry International Rotterdam (1996). Karyanya: Abad Yang Berlari (1984; mendapat penghargaan Hadiah Buku Sastra Dewan Kesenian Jakarta, 1984), Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990), Arsitektur Hujan (1995; mendapat penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996), dan Biography of Reading (1995). Karyanya yang lain dimuat dalam antologi Perdebatan Sastra Kontekstual (editor Ariel Heryanto, 1986), Tonggak: Antologi Puisi Indonesia Modern 4 (editor Linus Suryadi, 1987), Cerpen-Cerpen Nusantara Mutakhir (editor Suratman Markasan, Kuala Lumpur, 1991), Dinamika Budaya dan Politik (Fauzie Ridjal, 1991), Traum der Freiheit Indonesien 50 Jahre nach der Unabhangigkeit (Hendra Pasuhuk & Edith Koesoemawiria, K⍤ln, 1995), Ketika Warna Ketika Kata (Taufiq Ismail, ed.all, 1995), Pistol Perdamaian: Cerpen Pilihan Kompas 1996 (1996), Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan: Cerpen Pilihan Kompas 1997 (1997), Frontiers of World Literature (Iwanami Shoten, Publishers, Tokyo, 1997; dalam bahasa Jepang), Poets, Friends Around the World (Mitoh-Sha, Tokyo, 1997), dan Menagerie 3 (John H. McGlynn, 1997). Penghargaan lain yang pernah diperolehnya: Kincir Perunggu untuk naskah monolog dari radio Nederland Wereldomroep (1981), Republika Award untuk esei dalam Senimania Republika harian Republika (1994), dan esei untuk 30 tahun majalah sastra Horison (1997).
One Comment