Menambal Kebocoran Pembiayaan

Tulisan ini dikirimkan ke event AIFED dan sayangnya ndak lolos. Hehe.

Defisit anggaran selalu menjadi topik yang panas dibincangkan oleh khalayak. UU Keuangan Negara memberi penjelasan dalam pasal 12 ayat 3, bahwa rasio defisit tersebut tidak boleh melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto. Pemerintah pun dengan serius menjaga batas rasio defisit anggaran tersebut, kecuali dalam masa darurat seperti pandemi Covid-19 yang memperbolehkan rasio batas defisit tersebut ‘dilanggar’.

Baca Juga: Defisit di Tengah Pandemi

Namun, ada masalah pelik di balik rasio defisit. Yakni, realisasi pembiayaan yang lebih besar daripada realisasi defisit anggaran itu. Kondisi itu menuai kritik adanya over financing yang dilakukan oleh Pemerintah—meski kritik ini menyeruak tatkala ada pembiayaan pada tahun 2020 untuk pembelian vaksin pada awal tahun 2021. Masalahnya adalah sebelum itu, kita juga bisa melihat data ada selisih yang cukup besar antara keduanya.

Hal ini pun pernah menjadi pertanyaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada Kementerian Keuangan—apakah penjelasan pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 12 ayat 3 tersebut mencakup defisit yang terjadi pada saat tahun anggaran berjalan. Sebab, BPK melihat adanya defisit yang lebih dari 3% pada titik-titik tertentu.

Jawaban yang lahir kemudian menyangkal hal itu. Bahwa defisit anggaran dalam konteks Hukum Keuangan Negara adalah saat realisasi defisit atau tahun anggaran telah selesai. Selain itu, perhitungan rasio defisit terhadap PDB pun membutuhkan penghitungan PDB yang baru terhitung di tahun berikutnya oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Namun, hal itu tidak mengenyahkan masalah adanya selisih pembiayaan dengan defisit anggaran yang cukup besar. Dalam konteks lebih khusus, utang yang lebih besar daripada kebutuhan utang sebenarnya.

Pada tahun 2019, dianggarkan defisit dan pembiayaan sebesar 296 triliun rupiah. Bagaimana realisasinya? Realisasi defisit anggaran mencapai 341,4 triliun dan realisasi pembiayaan bahkan mencapai 394,4 triliun. Ada selisih lebih dari 50 triliun antara defisit anggaran dan pembiayaan. Bahkan jika dibandingkan dengan anggaran, perbedaannya mencapai 98,4 triliun.

Pada tahun 2018, selisih antara realisasi defisit dan pembiayaan itu juga terjadi. Realisasi defisit mencapai 269,4 triliun sementara realisasi pembiayaan mencapai 305,7 triliun. Ada selisih lebih dari 30 triliun di sana.

Selisih ini tidak sedikit dan bisa dilihat dalam perspektif “kebocoran”. Pertanyaannya, mengapa ini terjadi? Apakah pembiayaan itu dilakukan semata untuk menutupi kebutuhan pada awal tahun anggaran? Atau memang ada praktik manajemen yang masih membutuhkan perbaikan?

Treasury Leadership dalam Kas

Isu ini memang menjadi salah satu perhatian dalam dunia treasury. Deviasi dalam realisasi defisit-pembiayaan diharapkan tidak terlalu besar. Beberapa isu manajemen menjadi titik tekan. Salah satunya adalah mengenai cash-mismatch protocol. Menurut Suyanto (2007), setiap bulannya posisi penerimaan dan pengeluaran negara sering mengalami ketidakcocokan, sehingga pemerintah sering mengalami deficit cyclical atau cash-mismatch. Cash-mismatch terjadi akibat adanya ketidakseimbangan penerimaan dan pengeluaran pemerintah dalam suatu periode tertentu. Pengeluaran yang melebihi penerimaan mengandung arti kebutuhan uang kas pemerintah relatif tinggi. Pada situasi tersebut, apabila ketersediaan uang lebih kecil, akan mengakibatkan terjadinya defisit kas. Kondisi sebaliknya, apabila penerimaan yang terjadi melebihi pengeluaran akan berpotensi adanya dana kas yang menganggur. Cash-mismatch berpotensi menyebabkan terjadinya tindakan anggaran yang tidak efisien dan timbulnya transaksi pembiayaan yang berbiaya tinggi.

Sayangnya, sejak isu ini disadari, tren selisih antara defisit dan pembiayaan itu justru bukannya malah berkurang, tetapi bertambah. Apa yang salah?

Dalam sudut pandang treasury, kas adalah raja. Survei Association for Financial Professionals (AFP) menyoroti sebuah frasa bernama treasury leadership. Singkat kata, treasury leadership menuntut organisasi treasury memiliki kemampuan dalam memimpin kas.

Dalam konteks Indonesia, pada dasarnya terdapat permasalahan dalam memandang kas dihadapkan dengan tata negara kita. Ada pesan yang tidak ditangkap dengan pola desentralisasi fiskal, yaitu kemampuan untuk membaca fiskal secara tepat dalam soal desentralisasi dari sudut pandang kas.

Saat ini digaung-gaungkan transformasi Kanwil DJPb sebagai regional chief economist, tetapi sejauh mana itu akan menerjemahkan frasa treasury leadership?

Bila kita melihat salah satu produk yang sudah dihasilkan yaitu Kajian Fiskal Regional, itu tidak memberikan dampak apa-apa terhadap regional. Sebab kajian dilakukan ketika tahun anggaran telah selesai sehingga tidak memberikan sumbangsih terhadap kebijakan fiskal tahun berjalan. Treasury leadership adalah soal kecepatan dalam membaca kondisi fiskal di suatu daerah pada saat itu juga. Sehingga, peran treasury akan menjadi signifikan dalam memberi masukan bagi kebijakan fiskal.

Dalam konteks kas, disayangkan, treasury kita keliru menerjemahkan treasury single account menjadi memandang kas itu sebagai satu kesatuan nasional. Keberadaan manajemen kas itu seharusnya diejawantahkan dalam pola desentralisasi. Kanwil secara aktif memantau rencana penarikan dana dan berkoordinasi dengan instansi penerimaan untuk melihat rencana penerimaan dana di dalam wilayahnya dalam satu waktu tertentu. Dengan cara ini, dapat dilihat sebenarnya daerah-daerah mana saja yang mengalami inefisiensi. Pemetaan terhadap kondisi itu pun harus dilakukan.

KPPN sebagai Kuasa Bendahara Umum Negara (BUN) di dalam wilayah tertentu memang baik mengedepankan pelayanan. Janji 1 jam membuat APBN sebagai stimulus fiskal berjalan dengan lancar. Namun, bendahara tidak hanya berfungsi sebagai kasir yang membayar, tetapi juga mampu menahan uang manakala dia melihat kasnya sangat terbatas.

Baca Juga: Penganggaran Defisit, Keynes, dan Modal Usaha dalam Bisnis

Dalam hal inilah sebenarnya peran regional chief economist itu juga bisa berjalan. Dialog demi dialog bersama para Kuasa Pengguna Anggaran di daerah perlu dilakukan untuk dapat menciptakan sinergi sehingga pada akhirnya deficit cyclical itu bisa berkurang.

Angka selisih hingga mencapai lebih dari 50 triliun itu bukan angka yang sedikit.  Bila kita harus menggali potensi penerimaan yang sifatnya tidak given (seperti PPN Impor, pajak dari transaksi APBN yang langsung dipotong, atau pajak penghasilan yang langsung dipotong dan disetor oleh pemberi kerja, dll), tentu cukup sulit mencari dana sebesar itu. Karena itu, menjadi sebuah pemikiran untuk melahirkan kebijakan yang mampu mengefisienkan sisi pembiayaan sehingga selisihnya dengan kebutuhan defisit anggaran dapat menjadi semakin kecil.

(2021)

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *