Ketakutan
Setelah hampir sampai ke rumah, kita melepaskan sarung tangan
udara dengan segera menjadi lapisan es di masing-masing tangan kita.
Kau berkata, kau percaya aku akan bertahan dari semua siksaan
demi anak-anak kita. Kau berkata, kau percaya aku punya keberanian.
Aku bersandar di pintu dan menangis sejadi-jadinya.
Air mataku membeku di pipiku dengan suara-suara rapuh.
Aku berpikir tentang perempuan yang berdiri telanjang
di sungai yang membeku, para penjaga menuangkan
berember-ember air ke tubuh mereka sampai berkilau
seperti pohon-pohon dalam badai salju.
Aku sungguh tak pernah berpikir bisa melalui semua ini, bahkan
bila demi anak-anak kita. Aku memang pernah menginginkan
berdiri di antara mereka dan luka. Tapi aku juga perempuan,
seorang perempuan yang seharusnya mementingkan diri mereka terlebih dahulu.
Aku bersandar pada pintu yang dingin, besar dan penuh kegelapan.
Wajahmu berkilat dengan tatapan sedingin es seperti jalan yang berbahaya,
dan berpikir mengenai pemantik api, dan berbagai motif
dan kulit anak-anakku, yang halus, kencang, dan tipis
membungkus tubuh mereka secara lembut dan meredup.