Puisi Pringadi Abdi Surya di Lombok Post, 30 Juli 2017

Sajak Pi

 

aku ingin belajar mencintaimu, tetapi tidak di

kehidupan ini

karena Waktu datang begitu terlambat

untuk mengenali betapa Cinta adalah dirimu;

 

sebuah Trans-Jakarta lewat, aku berharap Kau

menempuh jalan yang sama denganku, hanya

Kau diam, aku diam, mencoba menatapmu lebih dalam

 

aku tidak mencoba ke mana-mana, tetapi Kau pun

tidak mencoba ke dadaku, “Cinta mungkinlah

sebuah lelucon,” begitu pikiranku berkata sementara

 

aku telah kehabisan kata-kata meski sekadar

mengatakan aku telah jatuh cinta kepadamu.

 

 

***

 

dua hal yang aku sadari semenjak saat itu:

 

Perasaan adalah gerimis terakhir yang turun

sore hari, dan orang-orang menggerutu, membicarakan

api tanpa tungku, bulan biru, dirimu.

 

dan aku pelan-pelan berharap, di kehidupan yang lain

bus yang sama akan lewat, dan aku sempat

menggenggam tanganmu–dengan sangat erat.

 

 

 

 

 

Hujan dalam Sebuah Ingatan, 11

 

Hujan begitu deras dan telah mencapai mata kaki.

Aku menantang diriMu yang luluh oleh kesepian. Sementara

orang-orang telah lebih dulu membenci keramaian.

 

Ia yang berdiri di halte, membawa masa lalu di ranselnya.

Aku tak pernah membawa apa pun, Kau lah yang berpura-pura

memberikan aku sebuah dada yang tidak mampu memiliki

apa-apa. Kecuali air mata yang mengalir tanpa alasan.

 

 

Hujan dalam Sebuah Ingatan, 8

 

Aku memanggilmu, Kawan, ketika pada akhirnya gerimis itu

patah, mayat-mayat bergelimpangan di badan

jalan dan seorang lelaki menari telanjang, memamerkan dadanya

yang berlubang. “Inilah peluru akibat diriku yang terlalu setia

padaMu.”

Dan dia terbaring, tetapi bukan tidur, Kawan;*

 

Aku menantikan seseorang berteriak, memaki, memukul-mukul

kepalanya sendiri, tetapi begitu lengang hari itu,

dan pintu-pintu tak ada yang mengenali, jendela bertirai

Mereka yang terkulai seperti sampah yang dilempar

dari kaca mobil, melaju dengan kecepatan sedang di jalan tol itu;

 

Aspal merah. Pasti gerimis yang berdarah.

 

*Toto Sudarto Bachtiar, Pahlawan Tak Dikenal

 

 

 

 

 

Bom, Tuan Malna

: ulil

 

Tuhan belum mau kamu mati hari ini

karena Tuan Malna tidak mencintai kebebasan;

 

Hari itu, Tuan Malna sedang belajar merakit bom, “Ini

bom untuk orang munafik.” Ia menyobek kalender

dan menggunting lanskap langit yang cengeng.

 

Orang-orang cengeng sesungguhnya akan berlindung

di ketiak kekuasaan. Orang-orang munafik sesungguhnya

akan menggunakan kebebasan sebagai alasan.

 

Jam berdentang dua kali dan pintu diketuk,

Tuan Malna masih duduk memikirkan cara yang tepat

untuk meledakkan kepala Ulil.

 

“Mana yang lebih Tuan benci: polisi atau politisi?”

Sang Tamu bertanya limbung, Tuan Malna juga bingung.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Mary Tinggal di Luar Rumah Saban Malam

: moon geun young

 

Sebuah rumah tanpa ibu membuat ia harus menghitung

sampai sepuluh. Ia terbiasa berpura-pura tidak punya air mata

dan memamerkan kelerengnya yang tinggal dua butir. Setiap

malam, ia menunggu ketukan pintu dan seorang pemusik

akan meniupkan seruling tanpa berbasa-basi.

Hidup seperti drama. Hidup seperti televisi 14 inchi. Hidup

tidak mungkin sebuah kenyataan. Ia meyakini itu dan terus

berpura-pura memiliki suami, memiliki cinta, dan mampu

membohongi siapa saja. Termasuk Tuhan yang bersembunyi

di dalam cermin.

:

Sebuah rumah tanpa ibu membuatnya memilih tinggal di

luar setiap malam dan menyembunyikan kunci rumahnya

di bawah pot bunga yang tak pernah lagi disirami.

 

 

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *