Sajak Pi
aku ingin belajar mencintaimu, tetapi tidak di
kehidupan ini
karena Waktu datang begitu terlambat
untuk mengenali betapa Cinta adalah dirimu;
sebuah Trans-Jakarta lewat, aku berharap Kau
menempuh jalan yang sama denganku, hanya
Kau diam, aku diam, mencoba menatapmu lebih dalam
aku tidak mencoba ke mana-mana, tetapi Kau pun
tidak mencoba ke dadaku, “Cinta mungkinlah
sebuah lelucon,” begitu pikiranku berkata sementara
aku telah kehabisan kata-kata meski sekadar
mengatakan aku telah jatuh cinta kepadamu.
***
dua hal yang aku sadari semenjak saat itu:
Perasaan adalah gerimis terakhir yang turun
sore hari, dan orang-orang menggerutu, membicarakan
api tanpa tungku, bulan biru, dirimu.
dan aku pelan-pelan berharap, di kehidupan yang lain
bus yang sama akan lewat, dan aku sempat
menggenggam tanganmu–dengan sangat erat.
Hujan dalam Sebuah Ingatan, 11
Hujan begitu deras dan telah mencapai mata kaki.
Aku menantang diriMu yang luluh oleh kesepian. Sementara
orang-orang telah lebih dulu membenci keramaian.
Ia yang berdiri di halte, membawa masa lalu di ranselnya.
Aku tak pernah membawa apa pun, Kau lah yang berpura-pura
memberikan aku sebuah dada yang tidak mampu memiliki
apa-apa. Kecuali air mata yang mengalir tanpa alasan.
Hujan dalam Sebuah Ingatan, 8
Aku memanggilmu, Kawan, ketika pada akhirnya gerimis itu
patah, mayat-mayat bergelimpangan di badan
jalan dan seorang lelaki menari telanjang, memamerkan dadanya
yang berlubang. “Inilah peluru akibat diriku yang terlalu setia
padaMu.”
Dan dia terbaring, tetapi bukan tidur, Kawan;*
Aku menantikan seseorang berteriak, memaki, memukul-mukul
kepalanya sendiri, tetapi begitu lengang hari itu,
dan pintu-pintu tak ada yang mengenali, jendela bertirai
Mereka yang terkulai seperti sampah yang dilempar
dari kaca mobil, melaju dengan kecepatan sedang di jalan tol itu;
Aspal merah. Pasti gerimis yang berdarah.
*Toto Sudarto Bachtiar, Pahlawan Tak Dikenal
Bom, Tuan Malna
: ulil
Tuhan belum mau kamu mati hari ini
karena Tuan Malna tidak mencintai kebebasan;
Hari itu, Tuan Malna sedang belajar merakit bom, “Ini
bom untuk orang munafik.” Ia menyobek kalender
dan menggunting lanskap langit yang cengeng.
Orang-orang cengeng sesungguhnya akan berlindung
di ketiak kekuasaan. Orang-orang munafik sesungguhnya
akan menggunakan kebebasan sebagai alasan.
Jam berdentang dua kali dan pintu diketuk,
Tuan Malna masih duduk memikirkan cara yang tepat
untuk meledakkan kepala Ulil.
“Mana yang lebih Tuan benci: polisi atau politisi?”
Sang Tamu bertanya limbung, Tuan Malna juga bingung.
Mary Tinggal di Luar Rumah Saban Malam
: moon geun young
Sebuah rumah tanpa ibu membuat ia harus menghitung
sampai sepuluh. Ia terbiasa berpura-pura tidak punya air mata
dan memamerkan kelerengnya yang tinggal dua butir. Setiap
malam, ia menunggu ketukan pintu dan seorang pemusik
akan meniupkan seruling tanpa berbasa-basi.
Hidup seperti drama. Hidup seperti televisi 14 inchi. Hidup
tidak mungkin sebuah kenyataan. Ia meyakini itu dan terus
berpura-pura memiliki suami, memiliki cinta, dan mampu
membohongi siapa saja. Termasuk Tuhan yang bersembunyi
di dalam cermin.
:
Sebuah rumah tanpa ibu membuatnya memilih tinggal di
luar setiap malam dan menyembunyikan kunci rumahnya
di bawah pot bunga yang tak pernah lagi disirami.