Ketika kubaca koran pagi ini, kutemukan tubuhmu terpanggang
di sebuah halaman. Aku tak sanggup terlalu lama memandang
jasadmu yang hangus itu.
Aku hanya bisa menunggu pemadam datang,
memadamkan api yang masih menyala-nyala, dan menghindari orang-orang
yang setia menjadi penonton.
Aku bukanlah seorang penonton yang baik.
Aku tak bisa menangis, tertawa, atau juga bertepuk tangan.
Setelah api bersedia pergi, kau telah sulit dikenali.
Bahkan tanda pengenalmu, yang hanya berupa kertas dilaminating
juga ikut terbakar. Sidik jarimu–
upaya sia-sia untuk mengetahui identitas. Tinggal nanti,
pasti ada yang datang menangis, meraung-raung
menyebut cinta dan harapan yang pernah kau titipkan itu
tidak pernah lebih khianat dari negara yang mengkhianati bangsanya.
Ketika kubaca koran pagi ini, aku belum tahu di mana
nanti kau akan dimakamkan.
Barangkali orang-orang yang mengenalmu ingin Kalibata.
Tapi, bahkan tanah pemakaman di Jakarta sulit terbeli.