Cerpen Laila Sari | The Red Ribbon

The Red Ribbon

Apartemen pada seberang jalan terlihat gelap. Tidak ada satu pun lampu kamar yang dinyalakan oleh sang pemilik. Jalanan begitu lengang, walau agak basah akibat hujan angin tadi sore. Tidak ada lalu lalang kendaraan ataupun sekadar becak motor yang sering berderu setiap kali malam minggu. Hanya sebuah gerobak tua yang ditarik oleh lelaki paruh baya menuju perempatan jalan. Ia berjalan dengan tergesa-gesa. Kemungkinan lelaki itu begitu keberatan dengan muatan gerobaknya. Anehnya, aku melihat semacam rambut yang berjuntai pada ujung gerobak.

Aku melihat perempuan sedang berdiri di halte bis sembari sesenggukan dan menatap layar ponselnya. Sesekali ia menengadahkan kepala, berusaha menenggelamkan kembali air matanya, walau akhirnya gagal dan kemudian bertumpah ruah. Ia mengeluarkan sebuah benda dari saku celana yang dibungkus dengan sapu tangan berwarna putih telor asin. Dengen tergesa-gesa ia memasukkan benda itu ke dalam tas rotannya. 5 detik kemudian ia meninggalkan halte menuju arah kota. Ia berjalan dengan mengeret kaki kanan sehingga terdengar gesekan yang begitu kuat antara sendal dengan aspal jalanan. Aku melihat bekas warna merah dibalik betisnya yang putih, pantulan cahaya lampu jalanan semakin memperjelas dugaanku bahwa itu adalah darah segar.

Aku mengecek ponselku, memanfaatkan sisa baterai 1% untuk menghubungi mama agar ia menjemputku. Baru saja aku menekan lockscreen, 1 detik kemudian layar ponselnya sudah gelap. Betapa tidak beruntungnya aku ketika dalam keadaan genting seperti ini aku lupa membawa powerbank. Tiba-tiba dari arah belakang, aku melihat segerombolan laki-laki menguasai hampir ¾ jalan. Penampilan mereka tidak jauh berbeda dengan preman-preman jalanan yang biasa aku temui di pintu masuk pasar menjelang maghrib. Keringat dikeningku mulai bercucuran, sembari memejamkan mata aku alihkan arah badanku ke selatan jalan. dari arah timur mereka berjalan mendekat. Dari jarak 3 meter menuju bangku yang aku duduki, aku mendengar percakapan mereka.

“Bodohnya, polisi tidak segara datang ke lokasi,” pekik salah satu lelaki dari mereka.

“Aku saja baru tahu dari notif ponselku, untungnya si news.com update banget,” ujar lelaki yang lain.

“Eh, kalian semua tidur di kosan ku saja, daripada kalian gabisa tidur gara-gara kebayang berita tadi.”

Mendengar dialog yang terakhir, aku langsung membuka mata dan mengernyitkan alis. Berita apa yang mereka maksud. Dengan hanya berbekal rasa penasaran, segera aku lari menuju jala raya. Aku berhenti pada sebuah indomart kiri jalan sebelum menuju terminal. Dengan tergesa-gesa aku men charge ponselku dan menyalakan paket data. Rasa penasaranku membunuh niat awalku untuk menelpon mama. Tiba-tiba muncul notif di atas layar bertuliskan “Psikopat sedang Berkeliaran”. Aku scroll berita itu dari atas ke bawah. Dan betapa kagetnya aku, lokasi yang dimaksud tidak jauh dari halte bis tadi.

Segera aku mencabut kabel charge padahal bateraiku hanya naik 1%. Aku lari menuju jalan tempat dimana aku mengamati semua kejanggalan ini. Selama perjalanan tiba-tiba saja air mataku tumpah. Aku tidak tahu sebenarnya apa yang terjadi pada diriku. Kemungkinan firasat-firasat semacam ini mulai menghantui semenjak aku menyisakan 10 menit sebelum tidur dengan membaca urban legend walau istilah itu masih agak baru untuk dikenal dan dibaca oleh gadis disabilitas sepertiku.

Aku agak kesusahan menyeka dan memberhentikan air mataku, terutama untuk hal-hal semacam ini. Padahal aku tidak sedang sedih atau marah. Ujung rambut hingga ujung kuku kakiku gemetar serentak. Aku menjambak rambutku untuk sekedar meredakan rasa nyilu di kepalaku. Sebab tadi sore kapsul terakhir sudah aku telan. Tidak ada obat penawar lain yang bisa menghentikan semua kegilaan dan keanehan ini.

Tiba-tiba dari arah berlawanan aku melihat lelaki yang juga berlarian sembari meminta tolong. Aku segera memberhentikan lelaki itu, dan ternyata ia adalah lelaki yang menarik gerobak dihadapanku tadi.

“Pak! Ada apa pak?!” tanyaku khawatir

Lelaki itu tidak merespon pertanyaanku sama sekali. Ia hanya menunjuk ke arah tumpukan sampah di dekat lapangan. Wajah lelaki itu memerah, telapak tangannya bercampur lumpur. Tapi aku melihat ada bercak darah pada bajunya yang robek. Segera lelaki itu kembali berlari.

Aku berhenti sejenak dibawah lampu jalanan untuk sekedar meraba-raba saku barangkali ada sisa kapsul untuk sekedar aku telan walau tanpa air minum. Ah! Nyatanya malam ini aku begitu tidak beruntung. Aku kembali berlari menuju tumpukan sampah yang dimaksud lelaki tadi. Aku tidak menemukan apa-apa kecuali hanya tumpukan sampah, kodok, televisi bekas, dan barang-barang jorok lainnya. Sembari aku meredakan rasa ngos-ngosanku, mataku tertuju pada gerobak yang dibiarkan diguyur gerimis diseberang trotoar. Gerobak itu persis seperti gerobak yang aku lihat tadi. Rambut itupun tetap terjuntai.

Tanpa menghiraukan hujan yang semakin deras, aku berlari menuju gerobak itu. Betapa kagetnya, aku menemukan sosok perempuan tergeletak lemas dengan darah yang bercucuran di lehernya. Wajahnya bersinar, begitu cantik. Gaun putih yang ia kenakan semakin memperjelas warna merah darahnya. Dan alhasil, perempuan itu belum mati. Masih ada sisa-sisa kehidupan dalam denyut nadinya walau mungkin bagiku hanya tinggal 15,5%. Perempuan itu tiba-tiba mencengkram pergelangan tanganku. Dengan terbata-bata ia berusaha mengeluarkan sepatah dua patah kata.

“Tolong, lepaskan ini dari leherku..” perintah perempuan itu sembari memegang pita merah yang terikat di lehernya.

Aku tertegun. Belum sempat aku menyentuh pita merahnya, perempuan itu sudah menghembuskan nafas terakhir. Keringatku bercucuran, bahkan tidak kentara sebab diguyur derasnya hujan. Aku sentuh pita itu perlahan-lahan. Aku lepas pita merah itu. 1 detik kemudian kepala perempuan itu jatuh dan menggelinding menuju jembatan dan jatuh ke sungai.

Aku menangis. Seakan-akan aku adalah perempuan disabilitas paling keji dan paling tidak beruntung sedunia. Apapun yang aku baca ditakdirkan untuk benar-benar terjadi dalam kehidupanku. Tapi mengapa harus dialami oleh orang lain? Mengapa tidak pada diriku sendiri. Mengapa aku hanya ditakdirkan menonton kemalangan dan kematian seesorang atas kesalahanku?

Hujan mulai reda. Aku terkulai lemas pada bahu jembatan. Dengan pandangan yang kabur, aku melihat segerombolan polisi mengeret perempuan yang terakhir kali aku lihat di halte bis. Perempuan itu tertawa terbahak-bahak sembari mengangkat sebilah pisau dan selembar foto.

“Akhirnya ia tidak jadi menikah! Haha haha hahhaha!” pekik perempuan itu.

Sebelum ia dimasukkan ke dalam mobil polisi, ia melempar lembar foto tersebut di jalanan tanpa ada satupun yang mengetahui. Setelah mobil polisi melaju kencang dengan bunyi sirine yang begitu kencang memecah keheningan malam ini, aku segera berlari dan mengambil foto itu. Dan baru kusadari bahwa perempuan dalam foto itu adalah perempuan yang aku lepas pita merahnya tadi. Pada pojok kanan bawah foto tersebut ada guratan darah bertuliskan “The Red Ribbon”.

Pasuruan, 20 April 2020

Laila Sari

 

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *