Cerpen ini dibukukan dalam rampai karya Temu Sastrawan Indonesia IV di Tarnate. Saat itu, saya termasuk 10 sastrawan muda yang mendapat undangan dengan akomodasi ditanggung. Sayangnya, saya tidak mendapatkan izin dari kantor. Cerpen ini juga masuk dalam kumpulan cerpen, Simbiosa Alina (Gramedia, 2013).
Malabar. Aku padamu bagai embun di pucuk daun teh yang lenyap dimakan cahaya. Berapa menit waktu telah melenyapkan aku dari kedua matamu ketika duduk di kafe itu, kau memesan Coupe la Braga, aku tak memesan apa pun kecuali segala rasa cemburumu yang diam-diam kupadatkan di dalam pikiran. Padahal kau (begitu pun aku) telah sama-sama jatuh cinta pada Braga yang menguapkan segala kekakuan kota. Kekakuanmu. Kekakuanku. Kekakuan segala tetek bengek rumus matematika dan fisika di kelas-kelas jam tujuh pagi. De Gauss gila. Descartes yang sia-sia. Cinta. Ah, aku padamu bagai dahan pohon cemara, ditepuk angin, dan benarlah Chairil itu, hidup hanya menunda kekalahan.
“Katakanlah…”
“Apa?”
“Yang seharusnya ingin kau katakan.”
Padahal aku tidak ingin mengatakan apapun. Aku tidak ingin membiarkan segala huruf berloncatan dan meledekku dari kejauhan, kemudian udara dingin menggigilkanku lewat sela sweater yang kukenakan (meski berlapis), menatap matamu dan api menyala-nyala di dalamnya seolah Patuha siap menyemburkan lahar yang mati, tetapi yang kurindukan tetaplah hangatnya pelukanmu.
“Jangan sentuh aku lagi…aku tidak mau tanganmu yang memiliki bekas perempuan lain.” Tambahmu marah. Tetapi wajahmu tenang-tenang saja sambil menyuap lembutnya es krim yang pertama kali kukenalkan kepadamu, ketika hujan rintik-rintik dan kita terbiar di atas kedua belah kaki, tak berpayung, dan berlari-lari kecil seolah dikejar kecemasan. “Aku takut gerimis…” begitu kau bilang kepadaku kala itu. Aku pun hanya bisa menangkupkan jaketku ke atas kepalamu dan kau tersenyum manis dengan lesung pipitmu itu.
“Aku masih mencintaimu, Lin….”
“Dan kau mencintainya juga?”
“Kau tak lagi mencintaiku?”
“Lebih baik tak mencintai daripada terbaginya cinta ‘kan?
Aku diam. Kau diam. Aku berharap langit memberikan jawaban. Tetapi hujan masih rintik-rintik, beberapa gadis muda sedang memakai kaos ketat, tonjolan-tonjolan dada sedikit memancing hasrat. Paradoks. Tidakkah mereka merasakan sedikit saja dingin merambat di kulit dan menusuk-nusuk tulang? Tetapi, aku tak pernah melihat tatapan mata kau sedingin saat itu. Aku tahu aku bersalah. Hanya saja, apakah hati bisa disalahkan sementara perasaan datang seenaknya dan begitu tiba-tiba?
“Maaf….”
“Cukup hanya maaf?”
“Lalu apa yang kau inginkan, Lin?”
Kau diam. Kita terlalu sering diam. Segala masalah yang sering kita hadapi hanya kau jawab dengan kediaman, beberapa hari, lalu aku menunggu amarah itu mereda dan senyummu kembali merekah.
“Akuilah kalau kau selingkuh….”
Dingin. Aku tidak bisa membandingkan dingin Malabar dan Alahan Panjang. Aku tidak bisa membandingkan kentang Mustofa dengan rasa buah markisa.
Malabar. Aku padamu bagai selimut yang tak pernah kumiliki. Kubiarkan angin subuh menerpa leher, mengepung telinga dan pelan-pelan menusuk belulang. Barangkali hanya orang gila yang rela berjalan-jalan di kebun teh selepas subuh. Ya, para pemetik itu juga tentu gila. Orang-orang Pangalengan juga gila. Begitu pun aku yang tak bisa memilih cinta mana yang harus kudekap lebih erat.
“Aku tidak selingkuh.”
“Lantas, siapa Indah?”
“Teman.”
“Teman yang bersama-sama ke Lembang?”
“Kami ada seminar.”
“Satu kamar?”
Aku tersedak. Kaget.
“Mungkin dirimu berpikir aku tidak tahu apa-apa, kan?”
Kau seperti sedang membaca buku dari wajahku. Sambil menyendok buah yang kukira plum—berwarna orange dan sepertinya manis keasam-asaman—kau memandang badan jalan yang didatangi muda-mudi, berpasangan atau tidak berpasangan, tetapi kau melarang tanganku menari di tanganmu.
“Aku mencintaimu, Lin…”
“Tapi kau juga mencintainya…”
Malabar. Makam Boscha tidak jauh dari pintu 1 Malabar. Semasa hidupnya ia adalah orang yang mengembangkan perkebunan teh ini. Beliau selalu inspeksi dengan naik kuda ditemani seekor anjing gembala berwarna putih. Sekitar tahun 1927, saat inspeksi, kudanya jatuh terpeleset dan menimpa Boscha, sejak saat itu ia jatuh sakit dan lumpuh. Tak lama kemudian ia meninggal dunia dan dimakamkan di sini.
“Sial ya?”
“Siapa?”
“Boscha.”
“Kau yang sial.”
“Ha?
“Jadi siapa yang kau pilih?”
Aku tidak mungkin meninggalkan Indah. Dan lebih tak mungkin lagi aku meninggalkanmu.
“Kau sudah menciumnya? Kau sudah menikmati…hmm…tubuhnya?”
“Aku tak suka plum. Aku lebih suka kesemek.”
“Jangan mengalihkan pembicaraan.”
“Kesemek lebih eksotik, lebih bergetah…”
“Jangan mengalihkan pembicaraan!”
Jadi begitulah caramu marah, menggebrak meja, pengunjung-pengunjung lain bertatap ke arah kita. Seharusnya kau mampu memarahiku dari dulu, dari sejak kali pertama aku berselingkuh. Dari sejak kali pertama aku mematikan ponsel dan berbincang berjam-jam dengan perempuan lain. Nyatanya, berkali-kali kau membiarkan bahkan memaafkanku. Dengan mudahnya aku berjanji tak akan mengulanginya lagi. Manis di mulut, tetapi pasti sakit di hati. Hanya aku tak tahu bagaimana menghadapimu kali ini. Seandainya sejak dulu kau tunjukkan emosi itu, mungkin aku akan lebih menghargaimu dan tidak menganggapmu sebagai perempuan yang selalu menerima kesalahan-kesalahanku.
“Jadi, dari mana kau mengenalnya?”
Haruskah kuceritakan kepadamu tentang Indah, perempuan yang membuat dadaku bergetar dan berlahiran sajak-sajak dari dalamnya? Kau pencemburu ulung yang seolah bertanya bukan untuk jawaban sebenarnya. Tentu, aku tidak akan bercerita bahwa Indah adalah teman sekolahku saat SMA yang dengan tiba-tiba menggodaku, mengirim pesan mesra setiap malam, menceritakan kesedihannya yang terdalam sampai berkata ia tak memiliki siapa pun selain aku—ia tak mengharapkan apapun selain kehadiranku.
“Sekali lagi, kau pilih aku atau pilih dia?”
Malabar. 2022 hektar. Aku juga tak akan mengulang kenangan tiga tahun denganmu. Membanding-bandingkan antara tubuhmu dengan tubuhnya, yang sama menggairahkan. Sepanjang mata, aku hanya melihat hijau daun teh. Di pagi itu pula tampak para pencari kayu bakar dari pohon teh yang sudah pulang dengan membawa seikat besar pohon-pohon teh di atas kepalanya—menembus embun-embun pagi yang masih membasahi rumput setelah hujan semalaman mengguyur Pangalengan.
“Aku tidak mungkin meninggalkan Indah,” tanpa sadar air mataku meleleh, “dia tidak memiliki siapa-siapa selain aku, Lin…”
“Baiklah, kalau begitu, sebaiknya kau tinggalkan aku….”
“Itu tak mungkin!”
“Kenapa?”
“Karena aku mencintaimu….”
Matamu merah. Tolong, jangan membangun bendungan di depanku. Masih kau dekap gelas es krim itu dengan kedua tanganmu walau sisanya yang sedikit itu sudah meleleh, menguap bersama bau gerimis yang khas.
“Menangislah jika ingin menangis, Lin….”
Aku membayangkan ekspresimu yang biasanya ketika menangis karena kekhilafanku. Ya, kau akan menyembunyikan wajahmu dengan menekuk kedua kakimu di sana selama beberapa menit sampai lega. Sampai matamu begitu merah dan rambutmu awut-awutan. Ketika kuucap maaf, dengan ekspresi tegar kau menjawab, “Tidak apa-apa…” Tetapi kali ini kau benar-benar tidak menangis. “Aku tidak mau menangis lagi, apalagi jika karenamu…” kau menegaskan.
Malabar. Beberapa kelelawar terlambat kembali ke sarang. Beberapa ekor burung terbang tanpa mantel. Aku memikirkan kabar bahwa kebun teh adalah sarang ular. Hewan satu itu memang sangat kutakuti. Aku benci ular, apalagi manusia yang berhati ular. Perihal yang terakhir, aku tak paham dari mana metafora itu berasal.
Ketika kau pulang hari itu, ketika kau meninggalkan gelas es krim kosong di depanku hari itu, ketika kau tidak menoleh lagi hari itu, aku berpikir kau mungkin berpikir bahwa aku telah benar-benar memilih Indah. Tetapi, sungguh, aku belum menentukan pilihan. Setelah itu pastilah kau akan melepaskan airmata itu di luar pandanganku. Air mata yang tak akan pernah habis dan mengalir deras seperti Palayangan.
Ketika teleponku tak kau angkat-angkat lagi, ketika pesan-pesanku tak kau balas-balas lagi, aku tahu kau tak akan kembali ke Alahan Panjang. Tak akan membawakan markisa. Tak akan meledekku yang tak tahan dengan jalan yang berkelak-kelok diapit banyak jurang.
Beberapa orang tua berpapasan denganku sambil membawa petikan daun teh. Mereka memperhatikan sejenak buntelan yang kupanggul dan kuharap tak bertanya apa-apa.
“Asep mau ke mana? Di sana cuma ada jurang…”
Aku hanya tersenyum, tak menjawab apapun.
Mereka berlalu tanpa berkata-kata lebih banyak.
Malabar. Begitu curam jurang ini. Pasti aku akan mati jika terjun ke sana. Kuturunkan buntelan itu—yang berisi bagian-bagian milikku (dan memang semuanya milikku) di tubuhmu, kutendang sekuatnya. Kuhela napas sejenak, rasa dingin mulai mengepung tubuhku lagi. Lebih dingin dari Braga. Lebih dingin dari hujan semalam. Lebih dingin dari tanpa cinta. Jika cinta tak dapat dimiliki, mungkin memang seharusnya kita membuangnya jauh-jauh. Membuangnya ke tempat yang terdalam. ***
(2011)