Penyihir dari Mollo

Rambutnya dikuncir. Kain tenun disarungkan di pinggangnya. Ukuran yang lebih kecil, sesekali diikat di kepalanya. Tak bisa kulupakan kesan pertemuan dengan Christian Dicky Senda, lelaki asal Mollo, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur itu di ASEAN Literary Festival 2016 lalu.

Baca Juga:

Lebih dikenal sebagai cerpenis, Dicky selalu membuatku terkejut dengan cerita dan gagasan yang ia miliki. Pertemuan pertama kami yang lebih banyak membahas soal sastra bukan menjadi pertemuan yang terakhir. Kami kembali bersua. Aku menyambangi Dicky ke Soe. Setelah menemaniku makan nasi padang dan puas bermain di air terjun Oehala, aku menginap di rumahnya di Desa Taiftob, Mollo. Dengan mata kepala sendiri, aku melihat Dicky begitu dicintai di kampung halamannya.

Ya, di sana, Dicky membangun sebuah komunitas bernama Lakoat Kujawas. Lakoat Kujawas diambil dari dua nama buah. Buah Loquat dan buah jambu biji (kujawas). Komunitas ini adalah komunitas kewirausahaan sosial anak muda yang bergerak di bidang seni dan budaya. Klise? Nanti dulu.

Tidak seperti kebanyakan perantau lain, yang lebih memilih bekerja di “pusat peradaban”, Dicky justru kembali ke kampung halamannya di kaki gunung Mutis setelah menyelesaikan kuliah di Yogyakarta. Dia merasa terpanggil untuk menggali apa yang ada di kampung halamannya.

Mulanya Dicky bekerja di Kupang. Ia menjadi konselor pendidikan. Dalam risetnya, ia melihat kampung-kampung semakin tertinggal karena anak-anak mudanya tidak pernah kembali ke kampung setelah menempuh pendidikan. Ada pula yang putus sekolah, mencari pekerjaan di luar daerah, bahkan menjadi buruh migran di Negeri Jiran. Tak sedikit yang statusnya buruh illegal.

Di situlah, hati Dicky terketuk. Ia kembali ke Taiftob guna mendefinisikan ulang makna “Menebar Kebaikan”.

Ada alasan khusus kenapa ia memilih nama Lakoat Kujawas. Baginya, kedua buah itu memanggil kembali kenangan masa kecilnya yang penuh keceriaan, potensi, dan harapan yang tumbuh di kampung-kampung. Bukan hanya dirinya, semua anak di Mollo menjadikan hal itu sebagai “tradisi”.

“Tradisi” adalah kekuatan ekonomi. Hal pertama yang ia bangun adalah tradisi membaca. Ia dirikan sebuah perpustakaan. Lewat jaringan kepenulisan, ia mempersilakan siapa saja mengirimkan buku untuk dibaca anak-anak Lakoat Kujawas yang melingkupi 6 wilayah adat Mollo. Saat ke sana pun, sengaja aku membawakan beberapa buku.

Hari-hari itu sedang marak justifikasi terhadap Indonesia sebagai negara dengan tingkat literasi yang buruk. Justifikasi yang sebenarnya tidak saya setujui. Taiftob membuktikan itu. Anak-anak silih berganti datang untuk membaca atau meminjam buku.

Dalam perkembangannya, Dicky menggunakan kekuatan komunitas untuk menggali, meriset kembali, cerita-cerita yang berkembang di masyarakat Mollo dalam bentuk mitos, dongeng, dan sejarah. Label Dicky Senda sebagai “sastrawan” memiliki pondasi tersendiri sehingga ia mampu mentransfer ilmu dan pengalaman menulisnya kepada anak-anak muda Mollo. Hasilnya, seiring dengan perkembangan pesat dunia sastra di NTT, Mollo menjadi salah satu kiblat sehingga mampu menggelar festival budaya (dengan berbagai program menulis, film, teater, hingga residensi budayawan dari daerah lain) dan melahirkan buku-buku sastra lokal yang gemanya hingga ke dunia internasional.

pangan khas Mollo

Dicky Senda sangat percaya dengan frasa “Kedaulatan Budaya”. Riset-riset yang ia bersama teman-temannya lakukan juga mencakup resep-resep nenek moyang. Dicky sangat rajin membagikan eksperimen-eksperimen resep itu di media sosialnya. Mulai dari sambal hingga selai. Mulai dari percobaan minuman dari buah-buahan asli Mollo, kopi, hingga jagung bose-nya yang ia buat dari jagung berbiji ungu. Produk makanan yang sudah layak dipasarkan ia siapkan bersama mama-mama Mollo.

Usaha dan konsistensinya tersebut bahkan mendapatkan perhatian dari British Council sehingga Lakoat Kujawas diberi tempat untuk residensi di Bali dan Inggris.

Pula dengan tenun, yang selalu ia bawa kemana-mana, adalah ciri khas Mollo. Ia beri saya satu di pertemuan kami dan ia mengajak mama-mama Mollo membagikan keterampilannya lewat program lokakarya. Ia tidak ingin warisan pengetahuan nenek moyang itu hilang, menguap begitu saja.

rumah bulat Mollo

Saat saya menginap di rumahnya, Dicky sedang membuat rumah bulat khas masyarakat adat Mollo. Rumah bulat ini terbuat dari atap ilalang yang telah dikeringkan dengan tiang kaya. Mirip Honai, rumah adat Papua. Rumah ini akan menjadi bagian wisata heritage yang sedang ia gagas. Wisata jejak pusaka tersebut akan menjadi sebuah paket untuk mengeksplorasi seni, budaya, dan relijiusitas masyarakat Mollo. Sejarah batu-batu, penyihir dari Mollo, hingga kayu cendana yang ternyata dulu pernah menarik minat orang-orang Tiongkok untuk datang ke Mollo ia angkat di sana.

Buat saya, Dicky Senda sendiri sudah layak dijuluki penyihir dari Mollo. Tak perlu jauh-jauh ke Fatumnasi (sebenarnya rencana saya waktu ke sana adalah bisa sampai ke Fatumnasi), penyihir itu membuktikan kekuatannya yang mulanya seorang diri mengaplikasikan kebaikan berbagi lalu kemudian mampu merangkul orang-orang untuk membantunya mengubah Mollo menjadi jauh lebih dikenal dan dihargai adalah sebuah sihir yang bahkan jauh lebih kuat dari expecto patronum milik Harry Potter.

Tentu saja Dicky-Dicky yang lain banyak seperti pemuda yang mengubah Sungai Pusur yang kotor menjadi wahana tubing yang digemari, atau para pemuda di Jorong Tabek yang tadinya hanya dikenal sebagai kampung penghasil gula aren menjadi kampung wisata terbaik di Sumatra Barat. Inspirasi-inspirasi itu selalu ada—namun jauh dari kata cukup.

Saya jadi teringat sebuah hadits. Apabila anak Adam meninggal dunia, akan terputuslah amalannya, kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim). Menyebarkan ilmu kebaikan adalah zakat ilmu. Tidak perlu menunggu kaya. Bagikan saja ilmu yang bermanfaat ke masyarakat dengan konsisten.

“Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Menebar Kebaikan yang diselenggarakan oleh Dompet Dhuafa

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

32 Comments

  1. Cerita yang menginspirasi, Mas. Terima kasih sudah berbagi ?

    1. Sama-sama. Salam.

  2. Keren, Brother! U rock!

    1. Terima kasih, pemuda Lubuk Linggau yang inspiratif juga!

  3. Salut ey. Semoga makin banyak pemuda Indonesia berkarya di kampungnya.

  4. Selalu deh kalau baca tulisan Mas Pring, berasa masuk banyak ilmu. Ensiklopedia berjalan banget. Keren banget Mas Pring tulisannya, membawaku jauh ke Mollo. Ikut merasakan betapa serunya di sana.

  5. Si Dicky Senda ini bener2 bukti bahwa ‘Sebaik-baiknya manusia, adalah merrka yang bermanfaat bagi orang lain’.

    Long live the wizard!

  6. Tulisan ini sangat menginspirasi. Teruslah menebar kebaikan. Tak harus menunggu kaya baru berbagi karena banyak cara yang bisa kita lakukan.

  7. Awalnya saya tidak tahu pas baca tulisan ini, kalau ternyata diperuntukkan untuk mengikuti lomba. Tapi begitu sampai akhir saya baca baru tahu kalau untuk diikutkan lomba. Bagus mas, sehingga pembaca dibuat terbawa oleh alur ceritanya.

  8. cita cita ke fatumnasi nih, masukin wish list dulu
    btw, produk tasnya keren-keren itu, aku suka dengan paduan khas campuran tenun dijadiin produk seperti ini
    kebaikan dicky untuk mengembangkan daerahnya luar biasa, pahlawan nih

  9. Kamu beruntung sekali bisa mengenal Dicky 🙂
    Saya penasaran dengan jagung yang dipegang oleh Dicky. Rasanya seperti jagung biasa atau berbeda?

    Tasnya bagus-bagus kak…

  10. Lucu banget Mas Pring ini. Udah jauh datang ke Soe, tapi makannya tetap yaa nasi padang. Wkwkwk. BTW iniSi Mas Dicky Senda ini inspiratif banget ya. Saya jadi pengen ikutan nimbrung ngobrol sama dia.

  11. Btw aku salfok sama botol2 minuman yang isinya macem macem itu. Jadi keinget adegan film Secret Garden. Gimana yah rasanyaaa. Mirip infused water gitu ngga sih

  12. Bagus banget mas produk-produk tenun Mollonya. Selalu kagum dengan orang-orang yang mau bergerak untuk membuat desanya menjadi jauh lebih baik seperti yang dilakukan oleh mas Dicky Senda ini.

  13. Seharusnya seperti ini hakikat menebar kebaikan ya kak..berbuat sesuatu memberdayakan penduduk setempat supaya mampu berdikari menghasilkan sesuatu yg produktif..bukan sekedar menunggu berharap menerima bantuan dan hanta sekedar digunakan untuk habis tak bersisa..semoga banyak Dicky Senda2 lainnya di negeri ini Amin YRA

  14. Tabeek. Ini lelaki idaman bro.

  15. Aku tadi mikir dulu. Timor Tengah Selatan itu di mana. Desa Taiftob, Mollo itu di mana. Musti buka peta dulu. Pengen tahu nih, dalemnya rumah bulat kayak apa. Btw…aku naksir sarung-sarung tradisional yang dipake tuh. Hehe…
    Semoga semakin banyak nih Dicky Senda yang lain…

  16. Gak banyak pemuda yang Memutuskan pulang dan membangun kembali asalnya…
    Kebanyakan betah di perantauan dan merasa tidak betah ketik kembali,
    Salut dengan Dicky dari Mollo ini yang mau menebar kebaikan,
    Inspiring!!
    Penasaran rasa jagung ungu ?

  17. Masyaallah, kisah yang sangat menginspirasi. Iya, menebar kebaikan tidak melulu berupa uang, bahkan dengan ilmu itu bisa bermanfaat sepanjang masa.

  18. Mas pring oot dong itu jagung hibrida bukan ya? Produk GMO atau mmg asli nature begitu warnanya?

  19. Kombinasi yang benar-benar menyihir pikiran saya. Tulisan Mas Pringadi dan kisah Dicky, si penyihir dari Mollo. Banyak memang orang yang ingin melepaskan diri dari kungkungan kemiskinan dengan cara memperoleh kesempatan belajar atau bekerja di luar daerah aslinya, lalu terus berada di luar untuk memperoleh kehidupan yang lebih layak.

    Tapi Dicky sungguh patut diacungi jempol. Dia tidak egois. Kembali untuk membangun.

  20. Betul-betul penyihir mas Dicky ini. Bisa mengubah daerahnya menjadi lebih baik dan berkembang.

  21. Selalu akan ada dicky2 di seluruh pelosok Indonesia. Eh, aku kok selalu penasaran ama rumah bulat itu ya? Hihi.. Dalemnya gimana? Kamar2nya gimana? Ajakin ke Mollo dooong

  22. Sangat inspiratif. Kisah tentang Dicky benar-benar menyihir saya. Membuat merinding dengan sepak terjangnya. Sungguh tak terbayangkan jika semakin banyak anak muda seperti Dicky ini. Yang mau pulang untuk berbagi pada tanah leluhurnya. Maka Indonesia tak sekedar Jawa saja, namun merata hingga pelosok negerinya. Salut! dan Good luck buat Mas Pringadi.

  23. keren deh orang-orang kayak Mas Dicky Senda ini, pulang kembali ke kampung halaman setelah menamatkan pendidikan, dan julukan penyihir dari Mollo nya coco, soalnya menyihir masyarakat di kampungnya untuk sama-sama melestarikan budaya dan memajukan kampungnya. Itu jagung khas sana warnanya ungu ya, gemes 🙂

  24. Salfok sama jagung ungunya unik, belum pernah lihat. Kreativitas pembuatan tasnya juga keren-keren nih. Cerita tentang Mas Dicky ini keren!

  25. Jagung ungu, dulu jaman saya kecil, sering nemu jagung ungu ini. Sekarang nggak pernah lagi.

    Semoga makin banyak Dicky lain ya, yang mau pulang ke kampung setelah selesai menimba ilmu di kota

  26. Banyak sekali pengalaman kebaikan yang bisa menginspirasi ya k. Termasuk Dompet Dhuafa ini memberikan pelayanan untuk menyalurkan kebaikan dengan berbagai cara agar sampai kepada yang membutuhkan.

  27. Keren. Sangat sedikit orang seperti Dicky yang berjuang di daerahnya. Semoga beliau diberikan kekuatan agar terus menebar kebaikan.

  28. Terima kasih Kaka Pring untuk tulisannya, turut menebar kebaikan untuk kami semua. Rasanya ingin kembali ke Desa Taiftob, merasakan dinginnya lembah Mollo, sembari ditemani segelas jahe hangat buatan Mama Meti. Salam juga buat adik Fung dan Romo JImmy. Lakoat Kujawas.

  29. Tertarik sama tasnya uy cantik pisan?? tertarik semua sih hahha ke gagasan Dicky dan yang ia lakukan. Semoga ditakdirkan bisa main² kesana dan bisa ketemu sama mas Prin pun mas Dicky.

  30. waaww itu tas kreasi mollo nya cntik2 bgt kka, dijual kemana atau kita bisa intip dimana ya?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *