Pada tahun 1972, terbitlah Limits to Growth. Risalah ini disusun oleh Club of Rome, yang tesis dasarnya mengingatkan, bila borosnya pola konsumsi dunia dan cepatnya pertambahan penduduk sama seperti semula, dalam waktu seabad bumi tak akan sanggup lagi memenuhi kebutuhan manusia.
Dalam konteks bahan bakar minyak, sejak tahun 1993, produksi minyak bumi Indonesia merosot. Di sisi lain, pertumbuhan kendaraan terus meningkat. Ada sekitar 1500 motor dan 300 mobil baru yang hadir di jalan setiap harinya. Dari jumlah kendaraan yang ada di jalan raya, perbandingan antara kendaraan angkutan penumpang dengan angkutan barang berkisar 70 : 30. Clean Air Asia juga memperkirakan pada tahun 2015, akan ada 540 kendaraan per 1000 penduduk, atau tiap 2 orang penduduk memiliki 1 kendaraan.
Hal di atas tidak bisa ditampik mengingat pertumbuhan ekonomi yang terus positif, kurangnya layanan angkutan umum dan harga BBM yang disubsidi. Ketiga faktor tersebutlah yang menyebabkan rasio pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor di Indonesia terus meningkat.
Maka, tidak salah pula bila dikatakan bahwa pemberian subsidi bahan bakar tidak tepat sasaran. Penggunaan BBM bersubsidi nyata-nyata lebih banyak dibakar di jalan raya. Laporan CAA menyebutkan rasio pemakaian BBM di jalan raya adalah lebih dari 60%. Ini juga sejalan dengan kajian Kementerian ESDM. Bahkan World Energy Outlook memperkirakan bahwa laju konsumsi BBM di sektor transportasi negara kita naik dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,1% per tahun.
Dengan sejumlah fakta itu, sebenarnya sudah cukup alasan bagi negara untuk mencabut atau mengurangi subsidi bahan bakar minyak.
Namun, yang menjadi motif kenaikan BBM di pemerintahan yang baru berjalan ini bukanlah fakta itu saja, melainkan Cash Flow Shortage.
Sebagaimana kita tahu, kas adalah raja dalam proses bisnis. Negara kita yang menerapkan defisit anggaran menetapkan belanja lebih dulu sebelum menyusun rencana pendapatan. Dalam sepuluh tahun terakhir, belanja meningkat dari sekitar 412 T menjadi 1876 T. Artinya sumber-sumber pendapatan juga dapat harus mengimbangi belanja negara. Selisih/defisit di antara keduanya ditutup dengan pembiayaan.
Tren target penerimaan negara yang tidak tercapai dalam beberapa tahun terakhir kembali terulang di tahun 2014. Di saat yang sama, meningkatnya mandatory spending begitu berpengaruh pada ruang fiskal kita.
Ketidakefektifan dalam pembuatan perencanaan kas, baik di sisi pengeluaran maupun penerimaan, menjadi masalah besar. Di dalam I account APBN bulan September lalu tercatat realisasi pendapatan mencapai 66,1% dengan pendapatan pajak 64,8% sementara belanja negara baru terealisasi 65,8% dengan kontribusi belanja pegawai 71,3% dan belanja modal hanya 37,2%. Artinya juga, masih ada 642,2 T belanja pemerintah, di antaranya 101 T belanja modal yang belum terealisasi untuk sisa tahun anggaran 2014.
Kontribusi pendapatan pajak tidak bisa dilepaskan dari kontribusi pengeluaran negara. Idiom keluar dari saku kanan, masuk ke saku kiri itu memiliki nilai signifikan dalam realisasi pendapatan. Riil kas atau uang segarnya tidak ada di kas negara. Potongan gaji, pajak-pajak pekerjaan pemerintah semua langsung dipotong melalui potongan SPM.
Artinya, ada keadaan ketika kita butuh dana segar untuk mebayar transaksi belanja pemerintah, uang itu tidak ada di kas negara. Hal ini yang sempat terjadi pada beberapa waktu lalu ketiga SP2D terbit di hari Jumat pagi, tetapi uang baru dapat dibayarkan pada hari Senin karena ketiadaan kas (ceteris paribus).
Dalam kondisi yang demikian, dengan perkiraan yang mendekati pasti mengenai target penerimaan negara yang tak akan tercapai di tahun 2014, sempat muncul kekhawatiran transaksi-transaksi yang akan terjadi di bulan Desember terancam tak bisa dibayar dengan keadaan kas saat ini. Karena itu, pemerintah perlu melakukan langkah yang cepat dan tepat untuk menanggulangi hal tersebut.
Ketika cash fall shortage terjadi, usaha pertama yang perlu dilakukan tentu mendapatkan dana segar secepatnya. Tetapi dalam konteks judul ini, pemerintah perlu melihat sisi belanja itu.
Ada dua isu utama dalam APBN, yakni belanja pegawai dan belanja subsidi. Keduanya dianggap membebani APBN. Dalam waktu cepat, tidak mungkin persoalan belanja pegawai dapat diatasi. Maka pilihan kebijakan pemerintah adalah mengurangi belanja subsidi BBM.
Keliru juga bila dikatakan pengurangan subsidi BBM dilakukan untuk dialihkan ke belanja infratruktur. Dalam konteks quality of spending, pemerintah lebih tepat disebut mengedepankan pembayaran belanja modal yang sudah akan terjadi (dianggarkan), bukan menggantinya dengan belanja modal baru. Karena masalah kita adalah cash flow shortage, bukan alokasi belanja.
Yang perlu diperhatikan lebih lanjut, pengurangan subsidi BBM ini haruslah kita lihat dalam konteks kebijakan yang lebih jauh. Kita harus meletakkannya pada perubahan arah fiskal.
Sudah lama arah fiskal kita berjalan di satu sisi saja—sisi konsumsi. Data-data yang dipaparkan di awal tadi mengindikasikan betapa pertumbuhan ekonomi kita bergerak di sisi konsumsi. Hal ini juga tercermin dari neraca pembayaran kita yang sering defisit dalam beberapa tahun terakhir.
Pertambahan belanja modal dalam 10 tahun terakhir hanya bertambah 5 kali lipat disbanding belanja subsidi yang mengalami kenaikan 12 x lipat. Kenaikan harga BBM saat ini hanyalah merupakan penegah resiko pada transaksi berjalan. Namun sebenarnya, inilah saatnya mendobrak subsidi yang pro-konsumsi dan mengalihkannya ke belanja modal, atau ke subsidi-subsidi pertanian dan kegiatan produktif lainnya, bukan malah program-program seperti BLT.
Solusi dengan membagikan uang tunai kepada rakyat bukanlah satu cara yang tepat untuk mengatasi multiplier effect yang ditimbulkan dari kenaikan BBM. Ucapan Andrinof Chaniago lalu misalnya. Katanya, pertambahan pengeluaran yang dilakukan masyarakat setelah kenaikan BBM akan sebesar Rp150.000,- per bulan, karena itu pemerintah akan mengompensasinya sebesar Rp200.000,-. Ini tentu sangat salah karena akan turut membenarkan ungkapan tidak apa-apa harga naik, asal daya beli masyarakat juga naik. Hal seperti ini tentu berbahaya bagi nilai rupiah dan negara berkembang dengan koefisien genie yang besar seperti Indonesia.
Mengedepankan alokasi belanja modal, flat policy bagi belanja barang, mendesain kembali kebijakan subsidi, menghindari meningkatnya mandatory spending, dan reformasi birokrasi yang sungguh-sungguh dari sisi kinerja menjadi alat-alat penting untuk mengubah arah fiskal kita ke sisi penawaran/supply.
(Bintaro, 2014)