Meniti garis takdir ini, aku selalu merasa sendiri. Sejak dulu, sejak aku kecil, tidak ada yang benar-benar mendengarkan suara hatiku di dalam keluarga, meski aku tahu mereka mencintaiku dan aku pun mencintai mereka.
Semakin bertambah usiaku, semakin soliter hidupku. Aku kebanyakan mengurung diri di dalam kamar. Tidur atau membaca buku. Aku tidak peduli dengan urusan-urusan yang terjadi di rumah. Aku hanya keluar untuk makan, menerima telepon atau menonton tivi. Kamarku adalah istanaku.
Ketika aku harus merantau untuk melanjutkan studi, aku pun jarang menelepon keluarga. Dan memang, aku tidak bisa berlama-lama menelepon. Aku begitu kaku dalam melakukan pembicaraan.
Hingga kini ketika aku telah berkeluarga, aku selalu berharap kekasihku adalah orang yang bersama-sama meniti garis takdir itu. Ia akan menjadi seorang sahabat yang akan mendengarkan segala isi hatiku, obat maupun racun.