Sikap dan Perubahan Sikap

Aku menyadari betul bahwa sikap penting bagi seseorang. Sikap itulah yang akan menentukan identitas. Seperti homofictus, kemoderatan pada dasarnya tidak bisa ditoleransi. Kemoderatan bisa berarti abu-abu, ketidakteguhan dalam mengambil sikap. Homofictus yang moderat tidak akan menghasilkan konflik cerita yang kuat. Manusia yang moderat pada akhirnya akan menjadi politikus banci.

Manusia adalah makhluk politik. Setiap langkahnya bisa jadi merupakan langkah politik.

Terkait dengan berita hari ini, Presiden Jokowi baru saja menaikkan harga BBM, beberapa sikap pun lahir. Ada yang dengan tegas menolak, konsisten menolak kenaikan harga BBM, dan ada yang tegas menerima keputusan tersebut. Ada pula yang pernah menolak kenaikan BBM, sekarang justru menerima keputusan itu. Juga ada yang pernah menerima kenaikan BBM, sekarang malah menolaknya. Sikap dan perubahan sikap adalah sisi natural dalam diri manusia. Namun, perlu ditelaah lebih jauh mengenai motif dari perubahan terbesar itu.

Aku sendiri juga mengalami perubahan sikap atas isu besar itu.

Baru ketika kuliah di STAN, aku mulai peduli pada topik ini. Demo kenaikan harga BBM pada saat itu aku ledek karena kondisi minyak dunia yang sedang mengalami kenaikan, bulb effect minyak hitam, terang saja membebani APBN. Kenaikan harga adalah keniscayaan.

Tetapi sikapku justru berubah beberapa tahun kemudian karena pengetahuan baru. Aku menolak kenaikan harga BBM. Bahkan aku sempat bersitegang dengan kepala kantorku karena aku mengejek pemasangan spanduk KPPN mendukung kenaikan harga BBM sebagai upaya penjilatan dan pencitraan. Aku tak sudi KPPN dijadikan alat oleh pemerintah untuk hal-hal seperti itu. Apalagi dasarnya adalah surat edaran. Surat edaran tentu tidak punya kekuatan hukum. Surat edaran hanya berisi imbauan. Aku menampik itu.

Pada saat itu aku mulai mengikuti topik-topik mengenai migas lebih dalam. Ucapan-ucapan Kwik Kian Gie, Kurtubi di televisi menjadi bahan yang baik untuk dipelajari. Jangan sebut Ichsanuddin Noor. Bagiku dia omong kosong. Pengetahuannya buruk dan out of date.

Pertanyaannya saat itu adalah apa sebenarnya subsidi itu? Apa yang sebenarnya disubsidi itu?

Ya, pengelolaan migas tak pernah jujur, termasuk dalam penentuan harga. Produksi minyak dalam negeri sebesar A dengan harga produksi X kemudian harus melalui mekanisme trading di Petral untuk kemudian dibeli dengan harga Y oleh Pertamina. Pemerintah kemudian memberi subsidi atas Y menjadi harga Z. Bukan hanya itu saja masalahnya, bensin yang masuk ke Indonesia adalah ron 88, kualitas paling rendah yang tidak beredar di Eropa. Ron 88 ini dibeli dengan harga Y (harga untuk ron 93 yang kualitasnya baik). Terlihat sekali, ada permainan besar migas di republik ini.

Mekanisme trading ini ditengarai sebagai momoknya. Kita sebenarnya bisa membeli langsung minyak dengan harga X. Pertamina boleh menetapkan harga X lebih dari harga produksi murni (dengan memasukkan biaya pengembangan, dll). Atau pernah ketika Ahmadinejad datang ke Indonesia dan menawarkan minyak dengan harga lebih murah, tetapi tak ditanggapi. Dan itu sekarang diinisiasi oleh Jokowi dengan melakukan kerja sama dengan Angola. Peran Petral memang mau tidak mau harus dilenyapkan segera!

Masuk kembali ke dunia kuliah, aku melihat negara dari sisi manajemen keuangan publik. Keadaan di 2014 ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tapi pertanyaannya bukan lagi kenapa kita harus menaikkan harga BBM, tetapi kenapa kita harus mencabut subsidi BBM?

Pada saat ini, negara tidak punya uang. Target penerimaan pajak jauh panggang dari api. Bahkan sempat tagihan ke negara tidak bisa dibayar pada beberapa minggu yang lalu, menunggu ketersediaan dana.

Dengan sisa waktu yang ada, dengan bakal melonjaknya transaksi di November dan Desember, APBN kita akan sangat terbebani bila belanja subsidi masih ada. Bahkan bila seluruh belanja subsidi BBM dicabut pun, kita tetap mesti berutang lagi (menambah utang dari sebelumnya 54 T) untuk mendanai belanja negara yang belum terealisasi itu. Karena sudah diprediksi, penerimaan negara tak akan sanggup mengkover itu.

Pemerintah harus membuat pilihan, bukan? Itulah arti kebijakan.

Namun, bila bicara 2015 dan tahun-tahun selanjutnya. Kenaikan harga BBM ini perlu dengan syarat kita akan mengubah arah fiskal kita. Aku akan bahas ini lain kali. Karena A. Prasetyantoko sudah membahasnya dengan sangat baik di koran beberapa hari lalu, aku butuh sudut pandang yang lebih segar.

Ya, apa pun itu, kepada kalian yang merasa mampu membeli mobil, mampu membeli motor untuk penggunaan pribadi, harap malulah dan segera beli Pertamax. Subsidi BBM tidak tepat sasaran selama ini gara-gara kita lho ya.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *