Tere Liye, Royalti dan Pajak Penulis

Tere Liye membuat dunia perbukuan gempar. Baru saja ia merilis pernyataan tidak akan menjual bukunya lagi di toko buku disebabkan ketidakadilan pajak penulis yang ia rasakan. Berbondong-bondong para pelapak online segera menjaga koleksi buku Tere Liye mereka karena bisa jadi nanti hal ini menyebabkan kelangkaan buku Tere Liye dan harganya semakin mahal di pasaran.

Sebelum ke benar atau salahnya argumen Tere Liye, saya sebenarnya ingin mendiskusikan mengenai royalti itu sendiri. Apakah royalti untuk penulis itu besar atau kecil?

Royalti bagi penulis Indonesia untuk penerbit besar berkisar antara 10-15%. Cetakan pertama berjumlah 3000-5000 eksemplar rata-rata royaltinya 10% dan akan meningkat jika masuk cetakan-cetakan berikutnya hingga maksimal 15% (meski masih ada penerbit yang memberikan royalti di bawah 10% dan kasus khusus untuk penulis mega best seller di atas 15%). Angka ini ternyata cukup besar bila dibandingkan dengan pegiat seni lainnya seperti musik yang royaltinya maksimal 10%.

Bagaimana royalti penulis di negara lain?

Di Amerika dan Eropa, ternyata angka royalti bagi penulis juga berkisar antara 10-12,5% untuk hardback, dan 7,5-10% untuk paperback. Royalti 15% diberikan untuk para penulis eksepsional. Jepang juga demikian. Namun, yang membedakan adalah kebanyakan penerbit di Jepang membayar secara penuh hak penulis paling lambat sebulan setelah terbit.

Sementara di Indonesia, royalti dibayarkan rata-rata per semesteran berdasarkan hasil penjualan buku. Katakanlah di dalam laporan penjualan, sebuah buku terjual 1000 buku dalam 6 bulan, ya penulis hanya menerima haknya 10% dari omset penjualan 1000 buku tersebut.

Cara Jepang ini sesungguhnya sama persis dengan sistem syariah. Pembayaran royalti seperti di Indonesia itu bisa diperdebatkan karena mengandung spekulasi dan ketidakpastian. Nasib penghasilan penulis yang sudah berdarah-darah menulis masih harus ditentukan oleh hasil penjualan buku. Seharusnya, penerbit lebih menghargai hasil kerja penulis dengan membeli sekaligus untuk satu kali terbitan. Misal, cetakan pertama 3000 eksemplar, ya penerbit langsung membayar hak penulis sebanyak 3000 eksemplar tadi di muka. Untuk win-win solution, penerbit bisa menawarkan royalti yang lebih rendah, misalnya 8% tetapi dikalikan langsung dengan total cetakan pertama. Dengan begitu, penulis tak perlu pusing-pusing menantikan laporan penjualan dan bisa fokus menulis.

Tapi kan 10% kecil banget, padahal harga buku mahal?

Industi perbukuan memiliki proses bisnis yang panjang. Ada penerbit (kadang terpisah dengan percetakan), ada distributor, ada toko buku, ada penulis, ada pemerintah. Setiap pihak memiliki proporsinya masing-masing.

Misal, untuk buku dengan harga 100.000, proporsi pendapatan dari setelah PPN disisihkan terlebih dahulu seharusnya:

  • Penerbit 38% x 100.000 = 38.000
  • Royalti penulis 10% x 100.000 = 10.000
  • Distributor 17% x 100.000 = 17.000
  • Toko buku 35% x 100.000 = 35.000

Penerbit terlihat paling besar, padahal itu belum dipotong biaya produksi yang melibatkan proses percetakan, biaya layouting, editor, proofreader dan penggambar sampul. Saya juga pernah menyalahkan toko buku, tapi toko buku ditekan oleh biaya sewa tempat yang sangat mahal, sementara distributor tak bisa disalahkan juga karena geografi kita.

Bagaimana caranya biar bisa mengalihkan proporsi lebih banyak ke penulis? Jawabannya, intervensi pemerintah.

  1. Penerbit yang tergabung dalam IKAPI dapat meneken kontrak dengan PT Pos Indonesia untuk mendistribusikan buku ke toko buku dengan biaya yang lebih rendah. Hal ini seperti perlakuan kepada pengiriman buku ke komunitas-komunitas baca yang berjalan saat ini.
  2. Selama ini, toko buku berada di Mall. Sewanya tentu saja mahal. Pemerintah melakukan manajemen aset gedung untuk menjadi toko buku seperti di Balai Bahasa di tiap daerah atau bahkan di pos itu sendiri.

Lalu bagaimana dengan pajak yang dipermasalahkan Tere Liye?

Persoalan pajak memang menjadi polemik bukan cuma buat penulis, tetapi juga buat penerbit. Ada PPN, ada PPh royalti, ada PPh penerbit. Siapa yang masih ingat janji kampanye Presiden sekarang untuk menghapuskan pajak buku (dalam hal ini PPN). PPN untuk buku-buku pelajaran memang sudah dihapus sejak dulu. Namun, PPN selain buku pelajaran masih ada dan nilainya 10%. PPN ini sejatinya tidak ditanggung penerbit, melainkan ditanggung oleh pembeli. Maka, mau tak mau, tuntutan penghapusan PPN buku ini harus terus digalakkan.

(Lebih lengkap menghitung pajak buku, klik di sini).

Pajak Royalti termasuk PPh pasal 23, besarannya 15% untuk yang memiliki NPWP dan 30% jika tidak memiliki NPWP. Pajak royalti ini tidak final. Artinya apa, ketika kita hendak melaporkan SPT Tahunan dan menyetahunkan semua penghasilan kita, maka dapat dilakukan perhitungan ulang atas pajak kita.

Misal, tadi cetakan pertama berjumlah 3000 eksemplar, Harga buku 100.000 (tanpa PPN). Maka royalti bagi penulis adalah Rp30.000.000,-. Pajak royaltinya 15% dari 30 juta sebesar Rp4,5 juta dipotong dan disetor oleh penerbit.

Nah, pemerintah memberi keringanan dengan adanya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar Rp54 juta setahun. Maksudnya, jika penghasilanmu di bawah 54 juta setahun, kamu ndak perlu bayar pajak.

Fakta di lapangan mengatakan, 90% penulis kesulitan bisa menjual konstan 300 buku/ bulan. Hanya ada 10% buku mengalami cetak ulang, atau bisa habis 3000 eksemplar dalam setahun. Jika menulis adalah satu-satunya penghasilan, yang harus anda lakukan adalah melapor ke pajak dan meminta kembali pajak anda yang sudah disetor tadi. Hal itu bisa dilakukan lho.

Selain keringanan itu, bahkan bila penghasilan royaltinya masih di bawah sekian milyar, dasar pengenaan pajaknya  juga bisa jadi hanya 50%-nya saja dengan mekanisme tertentu

Lalu bagaimana dengan Tere Liye?

Anda harus tahu, dan mungkin sudah tahu, bahwa Tere Liye adalah penulis yang bukunya selalu masuk dalam 10 buku terlaris di Indonesia. Bisa dibilang, bahwa secara penghasilan, Tere Liye masuk 3 besar penulis fiksi dengan penghasilan terbesar dari buku. Belum lagi dari seminar-workshop yang ia isi. Berapa nominalnya? Bermilyar-milyar!

Jadi, Tere Liye bukan rakyat kecil. Tere Liye adalah orang kaya, dan asas perpajakan kita bilang semakin kaya Anda, maka Anda harus membayar pajak semakin besar. Dari situlah terjadi distribusi keadilan, distribusi kekayaan dari kaya ke miskin. Uang pajak itulah yang digunakan untuk subsidi non-energi, belanja bantuan sosial, infrastruktur, dll.

Kesalahan Tere Liye berikutnya adalah membandingkan penghasilannya dengan profesi lain, seperti UMKM. Pajak untuk UMKM dengan omset di bawah 4,8 M adalah 1% (jika tidak ingin repot bikin laporan keuangan). Kesalahan Tere adalah dia tidak bisa menerjemahkan angka 1% dari omset, atau dari total arus kas masuk secara keseluruhan. Kalau omsetnya 1 miliar, maka pajaknya 10 juta. Tapi, Tere tidak memperhitungkan berapa keuntungannya. Saya berlatar belakang keluarga kelompok tani dan UMKM yang tahu persis pengambilan margin untuk UMKM itu bahkan ada yang hanya 5% bersih. Jika omset 1 milyar, untungnya bisa hanya 50 juta. Sementara, jika Anda penulis dapat 50 juta, Anda nggak perlu bayar pajak, bukan? Atau katakanlah margin umum 10%, atau 100 juta. Kalau Anda penulis, setelah disetahunkan, Anda hanya akan membayar 5% x 46 juta atau 8,3 juta rupiah. Masih lebih rendah, bukan?

Kesalahan ketiga, jika tidak menjual di toko, Tere mau ngapain? Menulis secara gratis? Atau bikin buku sendiri dan jualan online? Oh, hal itu tentu tidak menghapus kewajiban perpajakan. Bedanya hanya jadi self-assessment, kita yang menghitung dan menyetor pajak kita sendiri. Kalau tidak menyetor tidak apa-apa, sampai pemeriksa turun dan kita bisa kena denda 2-4 kali lipat dari pajak terutang lho. Tahun depan Pajak bisa melihat dan menganalisis transaksi di rekening pribadi kita lho.

Satu-satunya Hal Benar dari Tere Liye

Meski dibangun dengan argumentasi yang keliru, ada satu hal baik dari tindakan Tere Liye. Penulis melawan. Tindakan politis Tere Liye sebenarnya lebih bagus ditujukan untuk memangkas porsi distribusi dan toko buku. Dengan statusnya sebagai penulis bermassa besar, Tere Liye bisa menjadi benchmark bahwa pada saatnya penulis tak butuh toko buku. Dia bisa cukup berjualan online dan menambah penghasilannya 52% dari pengalihan distribusi dan toko tadi.

Langkah itu bisa jadi lebih baik hati bila ia tidak rakus sehingga ketimbang memakan 52% untuk dirinya sendiri, ia bisa memotong setengahnya 26% untuk diskon. Hal ini akan menyebabkan buku menjadi lebih murah.

 

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *