Penulis, Profesi dan Pajak

Ketika hendak menandatangani Surat Perjanjian Penerbitan, pastilah seorang penulis akan ditanya, “Punya NPWP nggak?” Ini terkait dengan pajak royalti yang akan dikenakan. Seorang penulis yang memiliki NPWP akan dikenakan pajak royalti 15%, sementara yang tidak memiliki NPWP akan dikenakan pajak sebesar 30%.

Dari hal tersebut, sebenarnya bisa dikatakan bahwa penulis sudah diakui sebagai profesi. Tetapi pada kenyataannya, ketika penulis ingin membuat NPWP, ada kebingungan di bagian pajaknya. Misalnya pada pengalaman Alby. Ketika Alby hendak membuat NPWP, dikatakan bahwa penulis masuk ke kategori usaha sendiri dan perlu membuat SIUP.

Apakah “PENULIS” sudah dianggap sebagai profesi di negara ini? Itu pertanyaannya.

Penulis yang menulis buku memperoleh penghasilan berupa royalti. Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas salah satunya penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya. Royalti ini dikenakan PPh pasal 23.

PPh pasal 23 dikenakan kepada Wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menerima atau memperoleh penghasilan yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.

Apa yang aku ingin gugat di sini?

Jika penulis sudah dianggap profesi, seharusnya penghasilan yang diterima penulis masuk ke PPh pasal 21. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan/ jabatan, jasa, dan kegiatan.

Penghasilan yang diterima penulis penuh waktu diterima rutin dan terukur dalam surat perjanjian penerbitan.  Bila kemudahan pemotongan oleh penerbit dijadikan alasan menjadikan “royalti” sebagai objek Pasal 23, itu akan melanggar asas keadilan bagi penulisnya. Penulis tentu bukan badan usaha dan tidak memerlukan SIUP.

Pengenaan PPh pasal 23 atas royalti terjadi karena royalti adalah passive income. Sementara PPh pasal 21 adalah active income. Passive income berarti tanpa bekerja, seorang penulis kemudian tinggal menerima hasilnya.

Tapi filosofi muncul sebelum peraturan. Kita juga harus memperhatikan asas-asas pemungutan pajak:

1)      Asas Equality

Pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan pada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima.

2)      Asas Certainty

Penetapan pajak hendaknya tidak sewenang-wenang, jadi wajib pajak harus mengetahui kapan membayar dan batas waktu pembayaran

3)      Asas Convenience of Payment

Kapan Wajib Pajak itu harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak, misalnya pada saat memperoleh penghasilan.

4)      Asas Economy

Secara ekonomi, biaya pemungutan dan pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul.

Apa perbedaan yang dapat dihasilkan?

Tidak banyak penulis yang beruntung mendapatkan royalti melebih penghasilan tidak kena pajak per tahunnya. Barangkali Ditjen Pajak pun belum tahu bagaimana proporsi pembagian penghasilan buku di Indonesia. Distributor dan toko mendapatkan 50-60%, penerbit mendapat 25-42%, sementara penulis hanya mendapat 8-15% dari harga buku kotor. Rata-rata saat ini, penerbit besar memberikan 10% bagi penulis. Dengan oplah cetakan pertama rata-rata 3000 buku, dan diasumsikan harga buku Rp50.000,-. Maka maksimal royalti pada cetakan pertama hanya sebesar Rp15.000.000,- dan tentu ini di bawah PTKP (Tidak Kawin 24.300.000).

Katakanlah, si penulis ini dapat menghasilkan 3 buku dalam 1 tahun dan masing-masing buku terjual habis 3000 eksemplar (kondisi yang langka), ia akan mendapatkan maksimal penghasilan 45 juta dalam tahun tersebut.

Jika menggunakan pasal 23, maka pajak yang dibayarkan untuk 1 buku adalah sebesar Rp2.250.000,- dan untuk 3 buku adalah Rp6.750.000,-

Jika menggunakan pasal 21, untuk penghasilan 1 buku pertama, tidak akan dikenakan pajak karena di bawah PTKP. Sementara jika sang penulis bisa menghasilkan 3 buku dan terjual 3000 dalam 1 tahun, ia harus membayar pajak sebesar 5% X (45.000.000-24.300.000) = Rp1.285.000,-

Memang benar, selisih itu dapat dikreditkan/lebih bayar. Tetapi, apakah seorang warga negara harus direpotkan mengurus haknya yang lebih bayar sementara ada cara yang lebih mudah bagi warga negara?

Pengalaman seorang penulis yang sadar ini, mengurus lebih bayarnya memerlukan waktu 3-4 bulan. Dengan penggantian time value of money sebesar 2%.

Apa yang luput dari hal ini?

Ada perbedaan arti kata “royalti” dari konsepnya dibandingkan dengan praktiknya. Bayangkan persepsi orang awam bila mendengar kata “royalti”, itu akan menjadi sesuatu yang wah. Hak cipta pada dasarnya dihargai sangat tinggi. Tetapi kenyataannya, kata “royalti” di dunia kepenulisan bukanlah sesuatu yang wah. Hanya ada kurang dari 10% penulis Indonesia yang menerima royalti di atas PTKP dalam setahunnya. Dunia kepenulisan jarang diperhatikan pemerintah. Baru hari-hari belakangan, penulis penuh waktu dapat mencantumkan profesi penulis di KTP-nya. Dulu, seorang Khrisna Pabichara bahkan pernah ditertawakan oleh petugas administrasi ketika ia menyebut “penulis” ketika hendak membuat KTP.

Pengabaian  pada profesi penulis, dan menganggapnya sebagai pekerjaan bebas, ini belum terselesaikan secara penuh. Ada banyak hal yang berhubungan dengannya. Peran pemerintah dalam memajukan dunia kepenulisannya dalam bidang perpajakan pun diperlukan. Misalnya untuk membedakan pengenaan pajak buku terjemahan dengan buku yang ditulis oleh penulis lokal. Penulis-penulis perlu dibikin percaya bahwa seseorang bisa hidup dari menulis saja seperti halnya Eka Kurniawan.

 

Kebijakan adalah kebijakan jika dianggap mampu memuaskan publik, bukan? Di luar segala peraturan, apakah kamu merasa adil atas kondisi yang terjadi?

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *