Sociosastra, Sebuah Fenomena

Sudah berapa banyak orang bertanya bagaimana caranya menulis yang baik, tapi ia tak kunjung menulis?

Banyak. Bahkan terlalu banyak. Sampai kini, menjamur grup-grup kepenulisan yang mengumpulkan banyak orang dengan label-label yang punya tanggung jawab besar.

Beberapa kali saya diundang untuk berbagi pengalaman menulis di grup-grup Line atau Whatsapp semacam itu. Dan mereka punya karakteristik serupa. Sebagian besar anggotanya tidak pernah benar-benar membaca, tidak pula benar-benar menulis, Mereka hanya lebih suka berkumpul, lalu jika menulis pun, akan mudah puas dengan komentar puja-puji dari sesamanya.

Suara yang berbeda akan dianggap sebagai subversif, Perlu diberangus. Kebenaran menjadi sedemikian tunggal. Kenikmatan muncul dari ketunggalan itu. Seperti asik beronani.

Sebutlah, kelompok semacam ini: SOCIOSASTRA. Seharusnya ketika kata dilekatkan pada kata socio akan melahirkan makna yang bagus. Sosiolinguistik. Socio-enginering. Namun, SOCIOSASTRA adalah sebuah konotasi yang buruk tentang bagaimana sekelompok orang melabeli dirinya mencintai sastra, namun sama sekali tak mengerti (dan tak mau mendalami utuh) sastra itu sendiri.

Baru-baru ini, aku diundang ke WAG dengan label Sastra Indonesia. Deg. Sebuah tantangan tersendiri karena mulanya aku mengira WAG dengan label seperti itu berarti isinya punya jam baca dan jam tulis yang tinggi.

Aku pun kemudian menanyakan bagaimana karakteristik grup, apa yang akan dilakukan, dan bagaimana mekanismenya. Jadilah, agenda yang akan dilakukan adalah bedah buku Novel PHI dipandu oleh moderator.

Yang kupahami dari moderator adalah keberadaannya menjembatani antara pembicara dan audiens. Kastanya setara dengan pembicara. Karena itu, ia harus memahami pembicara dan yang akan dibicarakan. Setidaknya tahulah dikit-dikit.

Yang kubayangkan adalah, setelah ia membuka acara, mengantarkan pembicara dan yang dibicarakan sekilas, pembicara memberi penjelasan dalam beberapa waktu, ia akan memandu jalannya pembicaraan dengan bertanya-tanya terlebih dahulu kepada pembicara agar konteks dan tujuan acara tercapai, barulah dibuka sesi tanya jawab. Atau kalau langsung ke sesi tanya jawab, ia akan mampu menyimplifikasi pertanyaan dan jawaban yang diberikan pembicara.

Namun, itu tidak terjadi. Yang bikin aku terkejut adalah, ia sama sekali tidak tahu apa itu NOVEL PHI. Tidak ada usaha sama sekali untuk googling atau setidaknya bertanya lebih dulu kepadaku. Bahkan jangan-jangan, selain profil yang kuberikan kepadanya, dia sama sekali tidak tahu rekam jejakku. Lalu apa urgensinya aku diundang ke sana?

Sepanjang materi, aku lebih terkejut. Atas nama Sastra Indonesia, ia juga tidak tahu Budi Darma, Subagio Sastrowardoyo, dan banyak nama lain yang kusebut. Lalu sebenarnya buku apa sih yang dibaca sehingga nama WAG tersebut layak disebut Sastra Indonesia?

Belajar Sastra Butuh Kesiapan dan Kesepian

Menengok kembali perjalanan menulisku, aku berpikiran bahwa belajar sastra butuh kesiapan. Sastra telah menjadi sebuah maqam. Ya, meski makna sastra sendiri seharusnya lebih luas, seperti semesta.

Sebuah buku dikatakan buku sastra (atau nyastra) ketika buku tersebut dianggap indah, ditulis dengan serius, bahasanya tertata, memerangkap zaman di dalamnya. Singkat cerita, sastra menjadi eksklusif karena dalam paradigma pasar, sastra berlawanan dengan pop.

Seharusnya, komunitas yang bahkan mulai dari 0, bisa tumbuh bersama. Aku juga tentu bemula dari 0. Saat masih SMA, buku-buku yang kubaca adalah fiksi-fiksi karya penulis FLP yang saat itu menjamur dan menguasai toko buku. Nama-nama seperti Asma Nadia, Helvy Tiana Rosa, Afifah Afra karib di mejaku.

Sampai kemudian aku bertemu nama-nama yang menyajikan karya secara berbeda (meski masih dalam naungan FLP). Sebut saja Sofie Dewayani, Ria Fariana, dan Eliza V. Handayani. Puitis. Imajinatif.

Ayat-ayat Cinta kemudian merevolusi pasar buku. Penulis makin banyak. Karya-karya terjemahan masuk ke industri buku. Disusul meledaknya Andrea Hirata dengan Laskar Pelangi yang membikin dunia buku makin semarak.

Komunitas pertama yang kuikuti kemudian mengenalkan aku pada “sastra”. Namanya Kemudian.com. Di sana aku baru tahu ada banyak nama seperti Hamsad Rangkuti, Seno Gumira Ajidarma, hingga ke TS Pinang. Pun di kampus, aku ikut klub menulis Aksara, tempat aku berproses, bersama Norman Erikson Pasaribu (yang kemarin-kemarin baru mengaku depresi, sambil mengambil tangkapan layar tulisanku tahun 2016), dan beberapa teman lain, yang tumbuh bersama dengan saling membaca dan membahas karya-karya sastra.

Pertanggungjawaban nama AKSARA (Aktualisasi Seni Sastra) STAN itu membuat kami getol belajar sastra. Berdebat, karena tak jarang berbeda pendapat untuk melakukan tafsir dan kritik atas karya. Sambil sesekali ke luar, untuk menjernihkan yang keruh, karena berdebat di lingkungan sendiri terkadang tak memberikan pencerahan.

Bisa dibilang, titik tumbuhku saat itu, salah satunya adalah karena ada ruang untuk bersaing dan berdiskusi. Seberbeda dan sebangsat apa pun pendapat itu. Dan iklim seperti itu diperlukan, selain membaca dan menulis.

Ketika Sastra Malah Dibatas-batasi

Aku masih bertahan di grup itu. Nggak dikeluarkan setelah berbagi pengalaman soalnya.

Nah, kemarin ada kejadian lucu. Buat informasi, tantangan rutinnya adalah bikin Quote/kutipan. Tantangan pada saat itu adalah tema HATI, tapi no bucin. Buat yang belum tahu, bucin itu istilah kekinian, singkatan dari budak cinta.

Aku terpantik, ketika membaca sebuah pernyataan, meski ngebucinnya sebatas karya, sama saja. Dosa.

Menulis itu usahakan yang banyak manfaatnya. Jangan bucin-bucinan. Kalau karyamu bucin-bucinan dan dibaca banyak orang kamu bakal ngumpulin dosa jariyah. Kalau karyanya banyak manfaatnya bakal panen pahala.

Makanya aku larang quotenya bucin-bucinan itu juga aku gak mau nanggung dosa kalian dan dosaku yang membiarkan karya kalian yang gak bermanfaat dan malah dosa.

Begitulah redaksi lengkapnya.

Menulis buatku selalu bebas nilai. Bebas moral pula.

Bebas nilai, dalam artian, silakan masukkan nilai apa pun yang kamu yakini ke dalam tulisanmu. Bebas. Begitu pula, pembaca berhak bebas menilai ada nilai apa di dalam karya tersebut.

Bebas moral, dalam artian, tidak ada benar dan salah mutlak dalam karya sastra. Moralitas dalam karya sastra adalah apakah penulisan karya tersebut sudah ditulis dengan bangunan logika yang baik atau tidak.

Implikasinya adalah ketaatan penulis terhadap unsur-unsur tulisan itu sendiri. Jika fiksi, ia harus betul-betul memperhatikan bagaimana karakter, plot, setting, dll. Nilai/amanat/pesan harus berkelindan bersama cerita, disajikan dengan ciamik, tidak gamblang. Sebab, jika demikian, silakan saja menulis ceramah. Cerita yang ditulis dengan mengedapankan nilai/amanat akan menjadi tendens. Karya yang tendens selalu medioker.

Contoh yang tepat sekali untuk menggambarkan bagaimana nilai, moral, dalam penceritaan ini bisa terlihat dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya Buya Hamka.

Coba katakan, kurang bucin apa Zainuddin? Sampai gila ia jadinya ketika Hayati menikah dengan pria lain. Namun, kekuatan cinta itu pula yang membuat ia ingin tegak dengan kepala menengadah.

Moralitas dalam karakter Zainuddin pun begitu kompleks. Apakah Zainuddin benar atau salah ketika mengatakan pantang jantung pisang berbuah dua kali? Pantang lelaki mendapat sisa? Setelah ketahuan di ruang rahasianya terpampang gambar Hayati?

Maka, kalau paham betul, apa sih yang dimaksud protagonis? Kalau ukurannya moral, protagonis adalah tokoh utama yang baik dalam cerita. Tidak, Kawan! Protagonis adalah tokoh utama dalam cerita, tidak peduli baik atau tidak ia. Definisi antagonis juga bukanlah tokoh yang jahat, melainkan tokoh yang menghalangi protagonis mencapai tujuannya.

Sastra mengusung “kompleksitas” tersebut ke dalam karakter-karakternya. Sehingga yang membedakan sastra dari pop adalah “kekayaan” yang timbul dari adanya kompleksitas tersebut, sehingga muncul tafsir-tafsir dari pendekatan yang berbeda terhadap karya sastra.

Penulis sastra bukanlah orang-orang bodoh yang memberi simpulan nilai terhadap karyanya. Kita tengok Asma Nadia (penulis pentolan FLP), yang lepas dari stigma setelah menulis Istana Kedua yang kemudian diubah judulnya menjadi Surga yang Tak Dirindukan. Asma Nadia membebaskan nilai di dalam karya tersebut. Ia tidak otoriter terhadap nilai dengan memberi pandangan poligami itu baik atau buruk. Namun, ia bersetia dengan elemen fiksi yang utama, karakter, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Aku tidak tahu, apakah para Sociosastra juga sudah benar-benar membaca karya-karya di atas, atau ya memang, sastra hanyalah sebatas bikin kutipan.

Namun, ketika aku baru memulai diskusi (atau debat) aku sudah disuguhi dalil. “Barangsiapa yang meninggalkan perdebatan sementara ia berada di atas kebatilan, maka Allah akan bangunkan sebuah rumah baginya di pinggiran surga. Dan barangsiapa yang meninggalkan perdebatan padahal dia berada di atas kebenaran, maka Allah akan membangun sebuah rumah baginya di atas surga.”

Padahal perdebatan dalam sastra itu bukanlah kebatilan. Sastra juga berkembang karena perdebatan. Karena perdebatan di antara orang-orang berilmu akan membuat ilmu itu keluar semua, dan orang-orang yang pandai, akan mampu mendapat pencerahan.

Dalam pada itu, ketika kukatakan, jika pembahasannya menjadi tentang agama, kenapa nama WAG-nya tidak diubah saja? Jangan ada sastra-sastranya gitu. Malu-maluin.

Pun, kalau mau menengok lebih jauh, perjalanan sastra islami sendiri abu-abu karena penuh perdebatan. Pendapat ulama terbelah dua. Sebagian mengharamkan. Sebagian membolehkan.

Pandanganku, tentu saja sah membawa nilai Islam ke dalam karya sastra. Namun, melarang nilai lain, membatasi apa yang bermanfaat dan apa yang tidak dalam karya sastra itu adalah sebuah kesalahan.

Ketika asik memikirkan ingin menulis uraian di atas, sebuah pesan masuk, tanpa salam, tanpa perkenalan, isinya, “Kayaknya mas Pring kurang mendalami hakekat beragama?”

Ternyata hakikat beragama saat ini sudah kehilangan etika.

Pengen kukatakan, “Ya masih banyak hal yang perlu kudalami dari hakekat beragama, meski aku lahir dan dibesarkan dalam nuansa keluarga agamis. Punya Ayah pemimpin Ponpes. Ikut Rohis. Jadi anak Gamais. Menikah muda pula karena itu sunnah.” Tapi itu kan sombong. Memang sombong sih.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *