Seberapa Pancasila Kami?

Jangan kau tanya lagi, seberapa Pancasila kami
Ketika kami menjadi yang terakhir bertahan
saat Timor Timur hendak melepaskan diri
Dan kami pula yang pertama memulai
Saat Aceh terkena bencana tsunami

Kami berdiri menjadi perwakilan negara
yang hadir untuk menyuntik tenaga pembangunan
Memulihkan bagian tubuh bangsa yang terluka

Persatuan Indonesia sudah mendarah di tubuh kami
Orang Aceh ditempatkan di Jakarta
Orang Batak ditempatkan di Biak
Orang Palembang terbuang di Sumbawa
Orang Jawa ada di mana-mana
Orang Sulawesi hingga Papua pun mengenal Sumatra
Kami selalu siap mengabdi di mana saja
Bahkan kadang harus rela meninggalkan keluarga
Akibat pilihan hidup yang sudah fitrah

Jarang yang tahu, seberapa cinta kami pada Indonesia
berinteraksi dengan segenap suku dan budaya yang beraneka
Berusaha selalu muwujudkan keadilan sosial
dalam penyaluran belanja pemerintah
Tak peduli di mana saja, kami akan memamerkan senyuman
seakan jawaban kenapa Tuhan ciptakan kebahagiaan
Pelayanan prima, kecepatan dan ketepatan
adalah janji bagi setiap insan Perbendaharaan

Jangan kau tanya lagi, seberapa Pancasila kami
meski kami bukanlah sayap-sayap Garuda
yang bisa membuatmu mengepak tinggi
Tapi kami adalah cakar sang burung negeri
Yang mencengkeram erat kesatuan bumi pertiwi

Puisi Insan Perbendaharaan di atas ditulis pada hari lahirnya Pancasila, 1 Juni lalu dilatarbelakangi oleh pertanyaan seberapa Pancasilakah saya.

Sebagai pegawai Kementerian Keuangan, sudah menjadi pilihan dan jalan hidup, penempatan bisa di mana saja di seluruh Indonesia. Penempatan pertama saya di Sumbawa, jauh dari kampung halaman saya di Palembang. Selama bertugas, saya pun beberapa kali mengunjungi kota-kota di Indonesia seperti Makassar, Bali, Lombok, Kupang, hingga ke Alor. Keberagaman dapat kita lihat dan pertanyaan-pertanyaan tentang pemerataan pembangunan kerap kita temukan ketika hidup di tengah atau timur Indonesia.

Pancasila, dalam sila kelima, menyebutkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sila ini paling bermakna dalam bagi saya pribadi karena saya kerap melihat paradoks dalam potret pembangunan kita. Paling sederhana, pergilah ke Ciwalk. Dari Ciwalk kita bisa melihat pemukiman kumuh di sebelahnya. Itukah keadilan sosial?

Bahkan hal ini pernah dijadikan materi oleh komika asal Bandung, Kamaludin, yang mengatakan betapa sulitnya mencari air bersih di kawasan itu, sehingga ia kadang-kadang pergi ke mal… untuk mandi!

Persoalan air ini pun ditemukan di daerah semakin ke timur Indonesia. Air bersih adalah soal langka. Apalagi hal-hal lain. Jadi, patutkah kita mengaku Pancasilais ketika pemerataan pembangunan dan upaya mengatasi disparitas sosial belum terlaksana?

Baru-baru ini (1 Juni), pemerintah membentuk Unit Kerja Presiden-Pembinaan Ideologi Pancasila, atau UKP-PIP. Di zaman Orde Baru, kita mengenal BP7. Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang hobinya bikin penataran-penataran.

Saya tidak begitu paham seperti apa beda dalam praktiknya. Acara Pancasila Sumber Inspirasi Maju oleh UKP PIP yang dilaksanakan di JHCC Jakarta pada Selasa tanggal 22 Agustus 2017. Karena itulah saya mencoba memahami UKP-PIP dengan mengikuti media sosial mereka di:

FB Page https://www.facebook.com/GenPancasila/

Twitter https://twitter.com/ukp_pancasila

Instagram https://www.instagram.com/ukp_pancasila

Saya membayangkan ke depannya UKP-PIP sekalian saja diiringi dengan wajib militer seperti di Korea Selatan. Mendidik setiap elemen bangsa untuk jadi Pancasilais di era digital tentu harus meniru resep rumah makan tradisional melalui metode kuno seperti wajib militer beneran. Toh, undang-undang memperbolehkannya. Setiap rakyat adalah tentara cadangan. Kalau isinya hanyalah pelajaran, sejujurnya, saya tidak begitu percaya pada sistem yang ada saat ini.

Menggali nilai-nilai Pancasila, Pancasila Sumber Inspirasi Maju, tentu harus juga dengan merumuskan kembali teks pelajaran di sekolah kita, terutama yang berkaitan dengan sejarah bangsa. Bangsa yang basar adalah bangsa yang paham identitas dirinya. Karena itu, dengan jujur, pemerintah harus menggunakan strategi kebudayaan untuk mencari dan membangun identitas bangsa. Biar nggak kebarat-baratan, kekorea-koreaan, juga kearab-araban. Indonesia itu apa sih? Semua rakyat harus bisa menjawabnya.

Kira-kira begitu.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *