Ketika kecil, aku sering bermain dengan teman-teman di ladang kosong yang terletak tak beberapa jauh dari rumah. Di ladang itu, sebenarnya ada empat buah pohon rambutan. Satu pohon yang terbesar buahnya kecut. Dua pohon lain masih belum banyak buahnya. Dan satu pohon lagi, yang berbuah lebat, manis, ngelotok kering, dipenuhi semut hitam besar-besar yang bila menggigit bisa menimbulkan demam. Aku tidak percaya kalau semut itu jenis marabunta. Aku sering menyebutnya semut unta. Di luar keempat pohon rambutan, ladang itu memiliki semak belukar dan ada ukuran kosong yang cukup untuk kami bermain bola meski permukaannya memiliki kemiringan sekitar 10 derajat.
Di dekat ladang milik keluargaku itu, tidak ada rumah penduduk. Yang terdekat nyaris 200 m jaraknya. Dari selayang pandang, nampak pohon-pohon karet tinggi menjulang. Aku belum berani masuk ke kebun itu meski Misman bilang di sana banyak para peci. Para peci adalah buah karet yang kecil-kecil dan potensial untuk diisi semen putih, cara curang paling baik untuk bermain gedekan. Alasannya sederhana, isunya, di hutan karet itu pernah nampak harimau. Memang di sekitar kebun karet yang tak terurus itu ada sumber mata air. Bila kemarau tiba, jangan heran bila ada bangau-bangau melintas menuju sumber air itu, rusa-rusa turun, dan juga harimau. Tetapi bukan itu yang akan aku ceritakan di sini.
Ya, di dekat sumber air itu pula terbentang ladang singkong. Aku menyebutnya ubi kayu. Ubi yang manis namanya ubi rambat. Ubi yang konon beracun namanya ubi karet. Nah, ladang ubi kayu itu luas sekali. Pohonnya segar, tampak sudah siap panen.
Hari itu kami main terlalu puas dan lupa makan siang. Hari Sabtu sekolah selalu pulang lebih cepat. Tiba-tiba seorang teman mencetuskan sebuah ide, “Laper nih, gimana kalau kita bakar ubi?”
Aku mengherankan ide itu karena tak ada dari kami yang membawa bekal. Dengan mata yang menyala, dia melanjutkan perkataannya, “Kita ambil saja dari sana,” sambil menunjuk ladang ubu, “nggak usah banyak-banyak, dua-tiga batang cukup. Kita pilih yang paling subur.”
Aku sontak menentang, “Hah? Itu kan maling namanya. Itu kebun punya orang, bukan punya kita.”
Tak kehabisan akal, ia menjawabku dengan godaan mahadahsyat, “Maling itu kalau kita ketahuan, baru diteriakin maling. Kalau tidak ketahuan kan tidak apa-apa.”
Ia begitu pandai membujuk kami. Atau sebenarnya kamilah yang lemah imannya. Rencana itu berjalan sukses. Ia sendiri yang mengeksekusi rencana itu, mulai dari memilih batang ubi (meski meminta bantuan kami untuk mencabutnya, dan hasilnya sungguh mengagumkan), sampai menyalakan api dari batu seolah-olah ini bukan pengalaman pertamanya mengambil dan membakar ubi.
Kami kumpulkan daun-daun, ranting-ranting dan api menyala di antaranya. Ubi-ubi itu kami masukkan ke dalam api hingga matang.
Aku tidak tahu apakah sepotong ubi haram itu yang kemudian membuatku jengkel ketika membaca imbauan pemerintah untuk memakan ubi di kantor. Aku tidak tahu apakah sepotong ubi haram itu yang menanamkan dendam kesumat ini. Aku tidak tahu.
(Edisi serius tentang ubi dan neraca perdagangan akan ditampilkan dalam waktu dekat)