Sains, Agama, dan Hal-hal yang Tak Selesai

Obrolan panjang mengenai sains dan agama ini pada mulanya berawal dari webinar atau diskusi yang menghadirkan Goenawan Mohamad. Pendapat GM di sana ditanggapi oleh A. S. Laksana.

Sains dan Hal-Hal Baiknya

  • Catatan untuk Goenawan Mohamad

A.S. Laksana

SEMUA yang hidup pasti mati; jika tidak sekarang besok, jika tidak besok lusa, pekan depan, bulan depan, tahun depan, atau sekian tahun lagi, tetapi kematian pasti tiba. Itu penemuan terbaik manusia tentang dirinya, kata Steve Jobs dalam ceramahnya di Stanford University, 12 Juni 2005. Dan itu masih penemuan terbaik, setidaknya sampai saat ini.

Cerita selanjutnya, berkenaan dengan apa yang terjadi setelah kematian, tergantung pada informasi yang anda yakini, atau, lebih tepat, yang diyakini oleh orang tua anda: Pada umumnya tiap-tiap orang meyakini apa yang diyakini oleh orang tua masing-masing. Jika orang tua anda meyakini informasi bahwa orang yang mati akan pergi ke surga atau neraka, anda akan cenderung meyakini pula kebenaran informasi itu. Dalam keyakinan ini, kematian hanyalah awal dari kehidupan yang sebenarnya di mana seseorang akan mendapatkan berkah sepanjang hidup atau siksa yang kekal.

Kita tahu itu bukan satu-satunya informasi tentang keadaan manusia setelah ajal. Adherents, sebuah lembaga independen dan non religius yang memantau jumlah dan skala agama-agama, mencatat ada sekitar 4.300 agama di muka bumi; dari mereka kita bisa mendapatkan beragam informasi tentang apa yang terjadi setelah orang meninggal. Dari pemeluk scientology kita mendapatkan informasi bahwa setelah meninggal manusia akan dijemput oleh piring terbang.

Apa pun informasi yang anda yakini, kemungkinan besar anda tidak memilih sendiri keyakinan itu. Setidaknya, itu yang terjadi dalam tradisi para pemeluk agama-agama besar, Kristen, Islam, Hindu, Budha, dan Yahudi; anak-anak tidak memilih sendiri agama mereka. Orang tua yang memilihkan agama untuk mereka sejak mereka kanak-kanak atau bahkan sejak hari pertama kelahiran. Ada kasus-kasus orang memilih sendiri setelah dewasa, berpindah dari satu agama ke agama lain, tetapi itu hanya kasus individual dan jumlahnya tidak banyak. Perpindahan massal hanya terjadi karena penaklukan—sebuah tindakan suci di masa lalu, tetapi terkutuk jika dilakukan sekarang.


Sekalipun kita memiliki keyakinan bahwa manusia pasti mati, kebanyakan dari kita mencintai kehidupan. Kita memutuskan berdiam di rumah saja di masa korona, mengikuti informasi yang disampaikan oleh para saintis, karena kita masih ingin mempertahankan kehidupan.

Ada satu-dua perlawanan di masa-masa awal; beberapa muncul dalam bentuk celoteh serampangan (“Covid-19 tidak masuk ke Indonesia karena setiap hari kita makan nasi kucing, jadi kebal.”), dan beberapa bersandar pada argumen keagamaan bahwa kita tidak perlu takut pada korona, kita hanya perlu takut pada Tuhan, bahwa Tuhan lebih besar dari korona, bahwa Tuhan punya kehendak baik dengan menurunkan wabah.

Mereka percaya diri karena tidak memiliki informasi tentang apa yang sedang mereka hadapi. Mereka membuat kelakar atau tindakan sembrono tanpa menyadari risikonya.

Pada masa lalu, ketika agama-agama menjadi penguasa semua informasi tentang kehidupan dan kematian, dan bersamaan dengan itu pemimpin agama memiliki kekuasaan tak terbendung untuk memerintah dan menghukum, seruan sekusut apa pun dari pemuka agama akan diterima sebagai kebenaran. Goenawan Mohamad, dalam salah satu catatan pinggirnya, menyampaikan bahwa di masa lalu, ketika sampar mewabah, salah satu ikhtiar religius untuk mengakhiri penderitaan akibat wabah tersebut adalah dengan membakar hidup-hidup orang Yahudi.

Hari ini kita menganggap itu tindakan gila.

Kegilaan yang sama tidak mungkin dilakukan lagi sekarang, di saat kita menghadapi wabah korona. Meski ada gejala-gejala serampangan yang disebabkan oleh ketidaktahuan yang keras kepala, tetapi jelas kita tidak mungkin membakar manusia, dari ras mana pun, dan meyakini dengan itu wabah akan berakhir. Kita bahkan tidak akan sudi melakukan pembakaran kalaupun unsur manusia diganti dengan tujuh ekor anak ayam.

Informasi-informasi saintifik membuat pengetahuan kita membaik dan momentum berjangkitnya wabah, disadari atau tidak, telah menjadi pendorong yang efektif bagi penerimaan kita terhadap sains. Tidak ada informasi yang bisa diandalkan kecuali yang datang dari kalangan sains, dan yang terjadi kali ini sungguh menakjubkan: Orang tidak mengamuk ketika mereka diminta menghentikan kegiatan-kegiatan keagamaan yang bersifat kerumunan. Para pendakwah yang keras menjadi lebih pendiam. Mereka mematuhi keputusan-keputusan yang dibuat berdasarkan informasi saintifik.

Kepatuhan umum itu tampaknya membangkitkan rasa percaya diri di kalangan ilmuwan kita dan untuk kali pertama kita menyaksikan munculnya niat untuk memberi apresiasi tinggi dan terang-terangan kepada sains: Ikatan Dokter Indonesia memperingati hari kebangkitan nasional, 20 Mei, dengan diskusi bertema “Berkhidmat pada Sains”, dengan pembicara Farid Anfasa Moeloek (bekas menteri kesehatan), Sangkot Marzuki (direktur lembaga Eijkman, 1992-2014), dan Goenawan Mohamad (penulis Catatan Pinggir).

Dibandingkan dua pembicara lainnya, Goenawan cenderung tidak sepakat pada tema diskusi sore itu. Dan kegundahannya sudah tampak sehari sebelum diskusi. Dalam poster pengumuman, ia mula-mula tercantum akan membawakan materi “Risalah Sains: Ikhtiar membangun peradaban.” Kemudian ia meralat dan mengganti materinya dengan judul “Sains dan Beberapa Masalahnya.”

Diskusi berjalan datar, dengan sopan-santun religius yang memakan waktu di antara orang-orang yang diminta berpendapat. Beberapa dari mereka, termasuk moderator diskusi, berbicara seolah dengan setelan otomatis: Mereka memulai pembicaraan dengan puji syukur ke hadirat Allah dan salawat dan salam kepada nabi—seperti dalam pengajian.

Ajakan untuk berkhidmat pada sains itu kemudian disanggah oleh Goenawan Mohamad, yang lebih memilih berkhidmat pada Hegel dan Heidegger dan para filsuf romantik Jerman, dengan menyampaikan anekdot tentang Einstein. Politik lebih rumit dibandingkan fisika, kata Einstein sebagaimana dituturkan oleh Goenawan. Mungkin ia ingin menyampaikan, dengan anekdot itu, bahwa sains tidak perlu dilebih-lebihkan, buktinya Einstein sendiri mengatakan politik lebih rumit.

Sebetulnya tidak mengejutkan bahwa Goenawan berpendapat seperti itu. Dalam beberapa kolom catatan pinggir sepanjang berkecamuknya wabah, ia telah beberapa kali menyatakan sikap skeptisnya, dan mungkin ketidakpercayaannya, terhadap sains. Ia, seperti biasa, rajin memberi kita rujukan ke masa lampau, membandingkan wabah berabad-abad lalu dengan wabah hari ini, dan menyimpulkan bahwa situasinya masih sama. “Kembali Entah yang menyembul ke depan,” tulisnya dalam kolom “Entah.”

Dalam kolom lainnya yang berjudul “Pasti” ia membuat pernyataan sewenang-wenang tentang ilmu pengetahuan: “Ilmu pengetahuan selalu menjanjikan jawab yang meyakinkan, tapi bersamaan dengan itu juga hidup dari pertanyaan dan perdebatan. Apa yang kemarin kita ketahui tentang Covid 19 hari ini tak sebulat sebelumnya.”

Ia melupakan karakteristik sains melalui pernyataan itu. Sains tidak pernah menjanjikan kepastian, tidak pula mengklaim “akulah jawabnya” sebagaimana yang ia tulis untuk menutup kolom “Entah.” Kebenaran dalam sains adalah kebenaran mutakhir, bukan kebenaran akhir, sebab tidak ada kebenaran final dalam sains. Dengan karakteristik sains yang seperti itu, pernyataan selalu ada entah tentu akan benar dengan sendirinya. Itu hampir sebuah truisme.

Dalam pandangannya yang muram dan sengit terhadap sains, ia seperti sengaja melupakan bahwa pengetahuan dan kecakapan manusia saat ini sudah sangat membaik, dalam banyak hal. Di masa lalu keputusan-keputusan krusial sering didasarkan pada informasi yang tidak akurat. Di masa sekarang, dengan sains yang selalu ia cibir, manusia mampu mendeteksi secara cepat apa penyebab wabah, seperti apa bentuk virusnya, dan apa yang harus dilakukan untuk mencegah penularannya sementara solusi yang manjur diupayakan. Dan solusi paling manjur hanya bisa didapatkan ketika informasi yang dimiliki sudah memadai. Apa yang oleh Goenawan dikeluhkan sebagai ketidakpastian informasi—“Apa yang kemarin kita ketahui tentang Covid 19 hari ini tak sebulat sebelumnya.”—sesungguhnya adalah proses yang wajar di kalangan saintis untuk mendapatkan informasi seakurat mungkin.

Dan bukankah perbaikan informasi dalam hitungan “kemarin” jauh lebih baik ketimbang ralat yang dilakukan ketika semuanya sudah terlambat? Kita bisa membandingkan kecepatan ini dengan kelambatan dalam kasus apa saja yang terjadi berabad-abad lalu. Dengan kasus Jeanne d’Arc di abad kelima belas, misalnya. Gadis 19 tahun itu dinyatakan bid’ah dan dibakar hidup-hidup di kayu salib dan vonis terhadapnya baru diralat oleh Paus dua puluh satu tahun kemudian melalui pengadilan ulang. Lima abad setelah kematiannya, di abad ke-20, ia ditahbiskan sebagai orang suci agama Katolik.

Saya pikir kesanggupan manusia untuk menangani urusan-urusan besar dan kecepatan menemukan informasi-informasi baru yang lebih akurat untuk pemecahan masalah adalah sebuah bukti kemajuan. Dalam urusan wabah, kita tidak bisa menyamakan respons ilmu pengetahuan hari ini dengan keputusasaan manusia di abad ke-14 menghadapi sampar yang berlangsung dua puluh tahun dan membunuh antara 75-200 juta orang, atau membandingkannya dengan cara orang menangani wabah cacar dan dua kali pes di Meksiko sepanjang abad ke-16 yang membunuh 22 juta orang di negeri itu.

Yang membedakan antara wabah-wabah di masa lalu dan wabah hari ini adalah kualitas informasi tentang cara menghadapinya. Di masa lalu informasi untuk menangani wabah datang dari kalangan agama dan tindakan yang dilakukan bisa di luar nalar. Waktu yang panjang dan jumlah orang yang mati menunjukkan bahwa mereka membuat keputusan dengan informasi yang meleset. Di masa sekarang informasi datang dari ilmuwan sains dan, berdasarkan itu, kita melakukan hal-hal yang relevan untuk mencegah penularannya.

Tentu masalah akan selalu ada; selama manusia hidup dan melakukan aktivitas, selalu akan terbuka kemungkinan munculnya masalah, dan itu bahkan bisa terjadi dalam situasi normal, tidak hanya ketika wabah.

Namun, lepas dari ketidaksukaan pribadi Goenawan Mohamad terhadap sains, pesannya tetap bisa disepakati bahwa sains harus dikritisi, terutama agar penerapannya tidak merusak kehidupan (bom atom, pemanasan global, penggundulan hutan adalah sedikit contoh dari efek buruk kemajuan teknologi, dan kemajuan teknologi adalah anak kandung sains). Yang terasa mengganggu dalam diskusi “Berkhidmat pada Sains” adalah cara ia merendahkan derajat sains dengan mengajukan anekdot tentang Einstein dan politik yang lebih rumit dibandingkan fisika. Itu sebuah simplifikasi, jika bukan falasi—dalam penalaran kita mengenalnya sebagai kekeliruan appeal to authority. Hanya karena Einstein berkata seperti itu, bukan berarti fisika, dan secara umum sains, adalah hal yang remeh-temeh. Ada banyak hal lain di luar politik yang bagi Einstein niscaya lebih rumit ketimbang fisika, misalnya merenda sweater musim dingin, membuat kruistik, atau mengarang novel.

Saya tidak tahu seserius apa ajakan untuk berkhidmat pada sains. Mungkin itu efek dari kepercayaan diri yang naik, atau semacam euforia, di kalangan saintis karena di masa pandemi ini orang betul-betul menaruh kepercayaan dan harapan kepada sains. Mungkin juga itu sekadar percakapan menunggu waktu buka puasa. Namun, serius atau tidak serius ajakan itu, ketika seseorang yang dianggap pemikir dihadirkan dalam diskusi, ia tentu dihadirkan tidak untuk menyodorkan falasi.


Sejarah manusia membuktikan bahwa informasi adalah sumber kekuatan, juga sumber kekuasaan. Di masa ketika seorang pemimpin dipilih dengan prinsip primus inter pares atau yang paling unggul di antara sesamanya, penguasa informasi selalu menempati posisi tinggi di dalam masyarakat. Manusia menghargai dukun dan shaman sebab mereka dianggap menguasai informasi dari sumber yang tak bisa dijangkau oleh kebanyakan orang. Mereka menguasai informasi dari langit atau dari makhluk-makhluk gaib.

Berkembangnya agama-agama besar makin memperkuat posisi pemilik informasi dari langit atau dari makhluk gaib ini. Kekuasaan mereka besar dan informasi yang mereka sampaikan menjadi kebenaran mutlak. Kita tahu bagaimana gereja di Eropa pernah begitu berkuasa, tak bisa dibantah, dan orang-orang yang menyampaikan informasi yang tak sejalan dengan informasi gereja adalah pendosa yang harus diluruskan atau dibasmi.

Para filsuf dan pemikir dan saintis generasi awal adalah orang-orang yang sering menjadi korban, sebab berpikir adalah tindakan yang membahayakan iman dan bisa menyesatkan orang banyak dan begitu pula temuan-temuan sains. Galileo Galilei, seorang filsuf, astronom, dan figur sentral dalam revolusi sains abad ke-17, harus mengakui dosanya kepada gereja karena menyatakan dukungan terhadap teori Copernicus bahwa matahari berada di pusat semesta dan bumi mengelilingi matahari, sementara gereja mengimani hal yang sebaliknya bahwa matahari mengelilingi bumi. Pada 22 Juni 1633, setelah empat kali dipanggil oleh lembaga inkuisisi, ia dipaksa berlutut untuk mendengarkan kesalahannya dibacakan. Selanjutnya ia harus mengucapkan dan menandatangani sumpah mengakui kesalahan, mengutuk ajaran sesat, dan memohon pengampunan:

“Saya telah diadili secara keras sebagai tersangka bid’ah, yaitu telah mempercayai bahwa matahari berada di pusat semesta dan tidak bergerak, dan bahwa bumi tidak berada di pusat dan ia bergerak. Namun, saya berharap sudilah kiranya Yang Mulia dan semua orang Kristen yang taat menghilangkan semua kecurigaan terhadap saya. Saya menyatakan dengan hati dan iman yang tulus bahwa saya mengutuk dan membenci kesalahan dan ajaran sesat yang disebutkan, dan semua kesalahan, bid’ah, dan sekte yang bertentangan dengan Gereja Katolik Suci.”

Itu adegan yang mencabik-cabik emosi untuk dibayangkan di masa sekarang.

Tetapi sains tak bisa dibendung, bahkan oleh iman yang gemar menghukum. Para saintis terus memproduksi informasi baru, dan banyak informasi yang mereka sampaikan telah menggugurkan informasi-informasi agama dan juga spekulasi filsafat. Apa boleh buat, itu tak terhindarkan. Agama adalah sistem tertutup yang informasi-informasinya tidak bisa direvisi. Filsafat, meski acapkali bertentangan dengan agama, kurang lebih serupa juga dalam pengertian bahwa tiap-tiap aliran filsafat berusaha menegakkan dirinya sendiri. Keduanya, baik agama maupun filsafat, sama-sama berupaya membangun monumen masing-masing. Bedanya, agama menyampaikan informasi-informasi yang sangat mudah dicerna dan menyandarkan kebenarannya pada iman para pemeluk, sementara filsafat menyodorkan informasi yang rumit dan membuktikan kebenaran falsafinya dengan penalaran yang ketat.

Dari jenis-jenis informasi yang disodorkan, filsafat jelas menawarkan formulasi yang lebih canggih dibandingkan agama. Tetapi dalam cara memproduksi informasi, keduanya masih serupa: masing-masing berdiri sendiri; masing-masing sempurna, atau merasa sempurna, dengan keadaan semula. Dalam perumpamaan yang paling dekat dengan situasi hari ini, keduannya ibarat komputer stand-alone.

Dibandingkan dengan mereka, sains adalah komputer jaringan. Dan memang kekuatan sains adalah kekuatan jaringan. Dalam situasi pandemi saat ini, ilmuwan satu dan ilmuwan lain saling terhubung seperti komputer yang terhubung dalam satu jaringan besar. Tetapi dalam situasi apa pun, mereka bekerja seperti itu. Temuan-temuan saat ini adalah kelanjutan, dan penyempurnaan, dari temuan-temuan sebelumnya. Informasi-informasi saintifik bersifat falsifiable—ia bisa didukung kebenarannya maupun diuji kesalahannya melalui penalaran, eksperimen, riset, maupun uji laboratorium. Karakteristik falsifiability itulah yang menyebabkan kebenaran dalam sains tidak pernah final. Ia, karenanya, tampak seperti sebuah proyek raksasa yang melibatkan banyak orang dari banyak tempat.

Yang mungkin mengecewakan bagi banyak orang adalah sains tidak memberi makna pada kematian dan tidak pula mengurusi hakikat keberadaan manusia di muka bumi. Ia tidak akan pernah menawarkan informasi-informasi spekulatif tentang kematian, sepuitik apa pun kedengarannya. Dan ia juga tidak menyediakan tempat bagi takhayul, sebuah gejala yang oleh Goethe dinyatakan sebagai “puisi bagi kehidupan sehari-hari.”

Goethe benar dengan perumpamaan itu. Pemujaan terhadap batu-batuan, misalnya, atau ritual menyambut roh nenek moyang yang datang tiap Rabu malam, atau arak-arakan besar untuk mengantarkan jenazah mengikuti tradisi kuno—anda bisa menambahkan contoh lain sampai tak terhingga—adalah perbuatan-perbuatan yang puitik. Para penggemar fotografi akan mendapatkan gambar-gambar indah dari ritual-ritual semacam itu.

Para ilmuwan sains memandang kematian, dan segala kelemahan ragawi manusia, sebagai tantangan. Mereka menganggap kematian adalah problem teknis, dan untuk setiap problem teknis niscaya ada solusi teknisnya—hal yang mudah dianggap sebagai sikap takabur dalam pandangan orang beriman. Cara pandang para saintis pun mungkin terasa merendahkan derajat kemanusiaan: mereka melihat manusia, makhluk dhaif yang mendefinisikan dirinya sebagai wakil Tuhan di bumi, tidak lebih hanyalah mesin. Namun justru cara pandang seperti itulah yang memungkinkan sains mengembangkan prosedur dan teknologi pencangkokan hati, ginjal, jantung, dan sebagainya; kurang lebih sama dengan montir mengganti karburator, busi, atau knalpot yang sudah jebol.

Mereka belum berhasil dalam proyek ambisius untuk mewujudkan kehidupan yang abadi, dan, kalaupun berhasil, kita mungkin tidak akan mengalami masa itu. Untuk saat ini, kita tetap harus menerima kefanaan kita. Keberhasilan sains sejauh ini baru pada tahap memperpanjang harapan hidup manusia. Selama dua abad terakhir, harapan hidup rata-rata telah melonjak dari di bawah 40 menjadi 72 tahun di seluruh dunia, dan lebih dari 80 di beberapa negara maju. Tetapi ini pun sudah merupakan capaian yang patut disyukuri, termasuk oleh penggemar filsafat: Sains membuat mereka memiliki umur lebih panjang untuk menekuni pemikiran dan membaca buku-buku kesukaan.***

SAINS DAN MASALAH-MASALAHNYA, SULAK DAN DUA KESALAHANNYA

Oleh Goenawan Mohamad
(Jawaban untuk A.S. Laksana )

*

Saya senang membaca A.S. Laksana menulis sebuah esei untuk saya: sebuah kritik atas pandangan saya tentang sains. Saya juga senang membaca dua kesalahannya di situ — plus satu kekurangan yang penting.

*

Kesalahan pertama: A.S. Laksana (selanjutnya saya sebut lebih akrab: “Sulak”) mengatakan bahwa “Goenawan Mohamad…lebih berkidmat pada Hegel dan Heidegger dan para romantik Jerman”.

Saya yakin Sulak menggunakan kata “berkhidmat” sebagai ucapan hiperbolis. Itu boleh saja, meskipun harus segera saya katakan bahwa Hegel dan Heidegger dua orang filosof, yang dihormati dengan sedikit berbeda dari bintang film: apresiasi saya tak pernah berdasarkan orangnya, melainkan karyanya — bahkan karyanya yang tertentu saja. Jika saya misalnya menyukai pemikiran Heidegger tentang lukisan Paul Klee, Cezanne, atau puisi Hölderlin, juga kritiknya atas sains, tak berarti saya akan menyetujui, apalagi berkhidmat, kepada seluruh pandangannya yang sering tak mudah saya pahami.

Yang pasti: saya tak cocok dengan pemikiran Hegel. Entah dari Google mana Sulak menemukan informasi bahwa saya “[lebih] berkhidmat pada Hegel”. Sebab, dalam pelbagai soal, saya seorang “anti-Hegelian”, meskipun tidak galak.

Marxisme, terutama, melalui pemikiran Adorno, membuat saya menolak sepenuhnya idealisme pemikir abad ke-19 yang menulis “Phänomenologie des Geistes” ini. Hegel, misalnya, mengatakan bahwa semua yang aktual, yang ada, “wirklich”, adalah rasional. Saya sepakat dengan Adorno bahwa ini sejenis sudut pandang totaliter yang tak memungkinkan yang beda, yang ganjil, yang tak disangka-sangka.

Lalu bagaimana saya disebut “berkhidmat pada Hegel”, apalagi dalam pembicaraan tentang sains? Saya tahu sedikit pandangan Hegel tentang agama dan seni, tapi sama sekali tak tahu bagaimana ia memandang sains.

  • Kesalahan kedua: Sulak mengira saya orang yang percaya bahwa sains menjanjikan kepastian. Di sini, ia telah sangat salah membaca.

Sebab inilah yang saya tulis dalam Catatan Pinggir (yang juga dikutip Sulak): “Ilmu pengetahuan selalu menjanjikan jawab yang meyakinkan, tapi bersamaan dengan itu juga hidup dari pertanyaan dan perdebatan“.

Bagi Sulak, kalimat ini “pernyataan sewenang-wenang tentang ilmu pengetahuan”. Padahal yang saya maksudkan adalah sebuah paradoks: di satu pihak ilmu pengetahuan menjanjikan jawab yang meyakinkan (catat: saya tak memakai kata ‘kepastian’), di lain pihak ia tidak akan hidup tanpa pertanyaan dan perdebatan. Dengan kata lain, bagi saya, pertanyaan dan perdebatan adalah sesuatu yang esensial dalam kehidupan sains.
.
Dalam hal ini, saya rada Popperian. Meskipun prinsip falsifikasi Popper bisa diperdebatkan cocoknya buat semua cabang ilmu, tapi dengan itu tokoh filsasfat ilmu ini menuntut sains berkembang dengan “rigour” yang tanpa kompromi: dengan “rasionalisme kritis”, para ilmuwan harus siap membantah theori mereka sendiri. Theori ilmiah bagi Popper selalu berada dalam keadaan “belum dibantah”. Penemuan ilmu selalu bersifat “provisional”. Kepastian bukan tujuannya. Tulisan saya di halaman Facebook saya 17 Mei yang lalu bahkan saya awali dengan kutipan dari Popper: “Tujuan ilmu adalah kebenaran, bukan kepastian”.

Jika Sulak sempat membaca buah pikiran Popper barang sedikit, ia akan menemukan kalimat-kalimat yang sejajar penuh dengan pandangan saya:

“Despite my admiration for scientific knowledge, I am not an adherent of scientism. For scientism dogmatically asserts the authority of scientific knowledge; whereas I do not believe in any authority and have always resisted dogmatism; and I continue to resist it, especially in science. I am opposed to the thesis that the scientist must believe in his theory…”

*

Pandangan Popper ini diperlukan kini, sebagai “caveat” kepada sains. Ketika sains menjadi panglima — ketika masyarakat menonjolkan (“asserts”) otoritas pengetahuan ilmiah untuk menjelaskan pelbagai hal — sains akan terdorong mengedepankan kepastian, bukan masuk ke dalam proses pencarian kebenaran. Otoritas tanpa kepastian sama dengan hakim garis tanpa garis.

Seperti dalam usaha mengatasi epidemi sekarang: otoritas, bahkan supremasi, epidemologi akan membuat dia tidak diharapkan memaklumkan, seraya mengutip Popper, bahwa sainsnya sebenarnya ” the art of systematic over-simplification”.Dalam posisi sebagai sumber utama, ilmu ini mau tak mau didorong “mengistirahatkan” prosesnya sendiri. Ia tak bisa berpanjang-panjang melakukan riset — dan berbantah — untuk misalnya menentukan sifat virus yang jadi biang keladi epidemi.

Tapi tendensi mempromosikan kepastian itu sebenarnya telah lama terjadi di dunia sains, dengan atau tanpa Covid-19. Dewasa ini, dengan beberapa perkecualian, perkembangan ilmu makin diterjemahkan sebagai perkembangan riset dan inovasi, sebagaimana diukur GII (Global Innovation Index). Dalam persaingan modal dan kekuatan politik yang terus menerus, investasi dalam bidang riset & pengembangan —yang dijadikan landasan teknologi baru dan pertumbuhan ekonomi — makin mendorong sains bukan lagi sebuah metode menafsirkan dunia, melainkan sebagai pendukung teknologi. Kepastian, kegunaan, hasil temuan untuk diterapkan —itulah yang kini menggerakkan lembaga-lembaga riset dan pendanaannya. Bukan kebetulan jika kini theori relativitas Einstein, misalnya — yang pada awalnya dikagumi tapi tak jelas “untuk apa” — makin diberi arti dalam kaitannya dengan, misalnya, navigasi GPS.

Sebuah gejala yang perlu disimak: kata “Wissenschaft,” yang pernah lazim dalam theori ilmu pengetahuan di Jerman, yang berakar pada kata “wissen” (mengetahui), kini tergeser pengertian “sains”. Kata “sains” yang masuk ke dalam bahasa Indonesia, mungkin melalui Malaysia, adalah salinan dari istilah yang dipakai dalam risalah-risalah Anglo-Saxon, “science”. Berasal dari kata Latin “scientia”, (dengan kata dasar “sciens”), yang berarti mempunyai pengetahuan, sains memang berakar dari pengertian yang tak berbeda dengan “Wissenschaft”. Tapi sains makin lama makin hanya diwakili ilmu-ilmu alam, atau ilmu dengan riset yang didukung kuantifikasi.

*

Kini ijinkan saya menunjukkan kekurangan Sulak dalam tulisannya, “Sains dan Hal-Hal Baiknya”.

Pertama-tama, ia keliru jika mengaitkan pandangan saya dengan “ketidaksukaan pribadi” terhadap sains. Dasar pandangan saya kepada sains akan saya jelaskan dalam beberapa paragraf mendatang, dan pasti bukan karena sains pernah menolak cinta saya hingga saya tak tergila-gila `kepadanya.

Sekarang kritik saya kepada kritik Sulak: dalam mengedepankan “hal-hal baik” sains, Sulak membandingkannya— bahkan mengkonfrontasikannya — dengan keyakinan agama. Bagi saya, ini mirip menggebuki memedi sawah; kita merasa jadi kuat karena bisa mengalahkan sesuatu yang hanya seram dalam khayalan orang.

Celakanya, Sulak hanya mengulang apa yang sudah sering dipakai sebagai penggebuk. Kita yang pernah dengan asyik membaca novel Umberto Eco, “Il nome de la rosa” (“The Name of the Rose”), sudah tahu bagaimana cerita fiktif yang seru dengan latar Eropa abad ke-12 ini berakhir. Jorge, rahib tua yang mengharamkan humor dan mencurigai pemikiran terbuka, kalah. Kita bertepuk. Kita lebih senang lagi William of Baskerville menang. Tokoh ini personifikasi dari semangat keilmuan, orang yang bekerja dengan pembuktian empiris; ia datang dari Inggris, dari mana empirisme berkumandang lima abad kemudian. Nama “Baskerville” mengingatkan kita akan salah satu cerita Sherlock Holmes, detektif yang memecahkan misteri kejahatan dengan cara seorang virolog menemukan penyebab pilek jenis baru. Dengan kata lain, thema “sains versus dogma” atau “sains versus agama” sudah lama dimamah biak, dan kita umumnya setuju siapa yang harus diberi aplaus.

Sebab itu ketika saya mengemukakan pandangan kritis atas sains, saya sesungguhnya (dan ini yang tak dipahami Sulak) ingin meletakkan perdebatan di dalam kancah pemikiran yang jauh dari “Jorge-isme”. Kesempatan kali ini akan saya pakai dengan mengundang Husserl.

Edmund Husserl (1859-1938), kita tahu, pelopor fenomenologi dengan pengaruh yang luas dan panjang. Saya ikut mencicipi pengaruhnya sedikit ketika saya sebentar kuliah di Fakultas Psikologi UI, di mana, waktu itu, fenomenologi membantu menjelaskan banyak masalah psikologi sebagai ilmu.

Dalam karya besarnya terakhir, “Die Krisis der europaischen Wissenschaften und die transzendentale Phänomenologie”, Husserl membahas krisis ilmu pengetahuan Eropa dan peran fenomenologi transendental. Ia menunjukkan krisis itu menyangkut fondasi ilmu-ilmu itu sendiri. Ia menyebut Galileo, yang oleh Einstein disebut sebagai “bapak sains modern” sebagai seorang penemu besar dengan dua efek. Galielo, kata Husserl, adalah “ein entdeckender und verdeckender Genius”, (“jenius yang menemukan dan sekaligus menyembunyikan”).

Terobosan Galileo terbesar bukan dalam dunia astronomi, tapi, kata Husserl, dalam merumuskan ide ilmu-ilmu alam sebagai sesuatu yang matematis, suatu pendekatan yang di abad ke-7 sama sekali baru. Orang Italia yang dicurigai Gereja ini memang terkenal dengan kesimpulannya bahwa alam semesta, “ditulis dalam bahasa matematika, dan hurufnya adalah segitiga, lingkaran, dan bentuk-bentuk geometris lain”.

Dengan pandangan itu, menurut Husserl, ilmu-ilmu alam memproduksi “Geschlossenheit”, kerangka abstraksi yang tertutup bagi — dan menjauh dari — apa yang kongkrit dan unik dalam pengalaman. Dengan sains modern yang dasarnya diletakkan Galileo, dunia yang tercerap indra diselimuti “jubah idea”, “Ideenkleid”, dan diberi makna baru. Keberhasilan perspektif ilmiah modern ini dahsyat, dan telah mengubah bukan saja pengetahuan manusia tentang dunia, tapi juga manusia sebagai subyek yang mengetahui. Bahkan mengubah arti rasionalitas itu sendiri.

Husserl memang tak membahas pemikiran Galileo seutuhnya, tapi kritiknya kepada sains adalah alasan dasar yang kuat bagi fenomenologi sebagai pendekatan alternatif. Dengan kritik Husserl kita bisa melihat bagaimana dunia yang diletakkan dalam kerangka matematis merepresentasikan “Lebenswelt”, dunia kehidupan, dengan mereduksinya — atau untuk memakai istilah Husserl, “menyembunyikan”-nya.

Memang dengan demikian sains bisa berkembang pesat, tapi ia lebih berperan sebagai si pengubah dunia, bukan si penafsir — untuk meminjam dikotomi Marx tentang tugas filsafat. Sains, dengan kecanggihan eksperimennya, dengan kapasitas mengkalkulasi dan mengukurnya, makin berkembang menjadi “techne”, atau cara yang efektif dan efisien mencapai hasil yang ditargetkan. Bersama itu, rasionalitas hanya berarti “Zweckrationalität”, pengertian termashur yang diperkenalkan Weber; “akal instrumental” ini mendominasi dunia modern dengan segala dampak negatifnya.

Dalam hubungan itulah Heidegger mengatakan bahwa “sains tidak berfikir”. Ucapan kontroversial ini tak berarti ingin mengatakan bahwa sains adalah dunia kebodohan. Bagi Heidegger — ia mengembangkan serta meradikalisir kritik Husserl — berfikir berarti bukan (semata-mata) berfikir kalkulatif.

Dalam risalahnya, “Die Frage nach dem Ding”, Heidegger menguraikan lebih lanjut keterbatasan sains dengan sifatnya yang matematis. Ia menjelaskannya dengan merujuk makna yang tersirat dalam kata “ta mathemata”. Arti kata Yunani itu, menurut Heidegger, “apa yang kita ketahui tentang hal ihwal lebih dulu”. Sains bersifat matematis karena ia tidak menangkap realitas sebagai sesuatu yang langsung, tanpa mediasi, tapi sudah terlebih dahulu diposisikan dalam kerangka. Jika Husserl menyebut “Geschlossenheit”, Heidegger memperkenalkan istilahnya yang lebih beredar, “Gestell”. Sains “membaca” realitas dalam bentuk sudah dalam pigura, dan dengan itulah ia menangkap dan mengendalikan realitas. Menangkap dan mengendalikan itu penting: dalam tatapan sains, dunia hadir sebagai reservoir, bahan yang dicadangkan untuk sewaktu-waktu dipergunakan — yang menunjukkan, seperti disinggung Heidegger, hubungan asali antara sains dan teknologi.

Dunia, tentu saja, tidak sekedar yang ada dalam ukuran itu. Sayangnya, para ilmuwan sering tak sadar akan itu. Gaston Bachelard, yang bertentangan dengan Heidegger dalam pandangannya tentang sains, mengakui: “Para saintis lebih meyakini realisme pengukurannya ketimbang kenyataan obyeknya.”

Sebab itu para penganjur yang meyakini sains sebagai pemandu kehidupan di dunia yang kongkrit dan sebab itu rumit — para penganut “scientiesm” yang disebut Popper — hanya memperlihatkan pandangan yang sempit, tapi pongah. Setidaknya mereka tak mengenal kritik atas sains yang berkembang dalam dunia pemikiran modern — bukan dalam dunia ustad Felix Siauw.

Saya bisa mengerti jika Sulak punya harapan besar (jangan-jangan berlebihan?) ketika ia terpesona mengikuti prestasi sains selama beberapa masa terakhir. Daya ilmu-ilmu modern yang sejak Galileo didukung keampuhan matematis memang menyilaukan.

Tapi saya ingin mengingatkan, seorang matematikawan besar pernah menyebut hubungan matematika dengan kekecewaan: ilmu ini sungguh muskil, dan kita gegabah untuk begitu saja menggunakannya menerjemahkan semesta.

“We are told that by its aid the stars are weighed and the billions of molecules in a drop of water are counted. Yet, like the ghost of Hamlet’s father, this great science eludes the efforts of our mental weapons to grasp it.” — Alfred North Whitehead, dalam “An ntroduction to Mathematics”.

*

Demikianlah, Bung, jawaban dan penjelasan saya. Jika saya banyak menyebut nama-nama yang keren, itu buat menunjukkan saya bukan sendirian — bukan pula punya alasan pribadi —untuk tak memandang sains dengan mata berbinar-binar.

Jakarta, 31 Mei 2020.

TANGGAPAN Ringkas Saut Situmorang
atas “Polemik Sains” AS Laksana vs Goenawan Mohamad:

Kayak biasanya apa yang dilakukan GM dalam tulisan buruknya di bawah sebagai jawaban terhadap tulisan Sulak adalah Menuliskan Pendapat Orang Lain tentang sebuah topik! Dia memang sangat rajin dan tekun mengumpulkan pendapat para filsuf Barat terkenal dan membuatnya seolah itu semua adalah pendapatnya pribadi! Tapi cobak perhatikan baik-baik: Kecuali cumak sekadar menambah satu dua kalimat komentar (yang biasanya menyetujui!) atas kutipan yang dilakukannya, apakah pembaca diberikan elaborasi pendapat GM sendiri!!! Mirip mahasiswa tingkat satu yang baru mengenal Nama-nama Besar para teoritikus Barat lalu mengutip satu dua kalimat dari esei mereka (itu pun out of context esei tersebut!) lalu mengklaim dirinya sudah pahami mereka! Sulak orisinal dalam pengungkapan Apa Yang Diyakininya tentang topik tulisannya dan itulah ciri sebuah tulisan yang baik!!! Oiya, satu hal lagi: Karl Marx TIDAK pernah punya Dikotomi tentang Filsafat! Marx jelas mengkritik Filsafat yang dianggapnya cumak menginterpretasi dunia. Bagi Marx tugas Filsafat adalah Mengubah Dunia!!!

Sains dan Sport

  • Untuk GM, Ulil, Sulak dan Hamid

Nirwan Ahmad Arsuka

Benarkah sains itu tidak berpikir, pongah dan mengagulkan diri?

Metode ilmiah, atau lebih luas lagi “metasains” yang dilembagakan oleh para saintis, adalah pengakuan akan keterbatasan sains, yang dengan tandas membantah semua tuduhan di atas. Metasains itu yang mencegah para saintis tulen mengkafirkan dan menyuruh bakar pihak lain yang berbeda pendapat dengannya.

Tapi katakanlah sains memang pongah dan gemar mengaulkan diri. Terus kenapa?

Kembali kita bisa belajar dari sport, khususnya dari tokoh yang diberi gelar “Sportsman of the Century” (Sports Illustrated) dan “Sports Personality of the Century” (BBC poll): Muhammad Ali.

Ali yang besar mulut itu meninggalkan sejumlah kalimat pongah yang akan cukup pantas jika dipinjam oleh sains. Misalnya:

“Braggin’ is when a person says something and can’t do it. I do what I say.”

“It’s hard to be humble when you’re as great as I am.”

“If you even dream of beating me you’d better wake up and apologize.”

“I am the greatest, I said that even before I knew I was.”

“I shook up the world. Me! Whee!”

Selain baris-baris pongah di atas, Ali juga dicatat meninggalkan kalimat ini:

“Only a man who knows what it is like to be defeated can reach down to the bottom of his soul and come up with the extra ounce of power it takes to win when the match is even.”

Seperti Ali, sains juga bisa mencicipi rasa “kalah”. Pandemi Sars-COV-2 itu membuat kedudukan sains kalah sementara. Tapi, seperti Ali yang omongan pongahnya justeru menghibur itu, para saintis pun akan terus berusaha “merogoh dasar jiwanya”. Dan seperti halnya perjuangan Ali serta para atlit tulen lain, perjuangan sains juga bisa menujukkan “the beauty and the universal celebration of human spirit.”

SAINS MEMANG TIDAK SEMPURNA, TAPI IA ADALAH JENIS PENGETAHUAN TERBAIK YANG MUNGKIN KITA PUNYA

(Catatan untuk GM dan Ulil)

Taufiqurrahman

Goenawan Mohamad (GM), sang budayawan adiluhung itu, memang seorang peragu—walau mungkin ia jenis peragu yang syahdu. Kali ini ia ragu pada ilmu (science). Ia mengutip Popper, Husserl, dan Heidegger untuk mempertahankan keraguannya. Namun, sejauh mana keraguan GM pada sains itu dapat dipertahankan?

Ulil, yang juga dikenal sebagai tokoh liberal sebagaimana GM, mengungkapkan ketidaksukaannya pada saintisme—yang ia bedakan dari sains. Ia kagum pada sains, tapi jengkel dengan saintisme. Sebab, menurutnya, saintisme adalah sebuah “kepongahan saintifik” dan sains per se tidak meniscayakan saintisme. Namun, mungkinkah sains tanpa saintisme? Juga seberapa relevan kritiknya terhadap apa yang ia sebut “saintisme” itu?


Dalam tanggapannya untuk kritik AS Laksana, GM merasa perlu untuk mengutip Popper, karena pandangan Popper dianggap sebagai “caveat”, protes, terhadap sains. Benarkah? Tidak! Ini justru kembali membuktikan kebiasaan buruk GM dalam menulis esai: “cherry-picking” kutipan. Ia sengaja memilah-milih pernyataan pemikir-pemikir besar untuk mengonfirmasi pandangannya sendiri sembari menyembunyikan pernyataan lain dari pemikir yang sama. Itulah yang disebut sebagai “confirmation bias”.

Mari kita lihat bagaimana GM melakukan “confirmation bias”.

GM mencomot separuh paragraf dari kuliah Popper yang berjudul “Knowledge and the Shaping of Reality: The Search for a Better World”:

“Despite my admiration for scientific knowledge, I am not an adherent of scientism. For scientism dogmatically asserts the authority of scientific knowledge; whereas I do not believe in any authority and have always resisted dogmatism; and I continue to resist it, especially in science. I am opposed to the thesis that the scientist must believe in his theory…”

Potongan separuh paragraf itu sebenarnya punya konteks khusus, tetapi oleh GM digunakan untuk mengonfirmasi pandangannya sendiri yang berusaha memberi protes pada sains. Popper bukan jenis pemikir yang meragukan sains—sebagaimana GM. Paragraf yang dikutip GM itu sebenarnya bukan pandangan Popper tentang sains, melainkan hanya klarifikasi terhadap pernyataan sebelumnya yang, kata Popper, ”will doubtless lead to my being associated with ‘positivism’ or with ‘scientism’ once again”.

Apa pernyataan Popper sebelum paragraf tersebut? Ia menulis:

“We live in a time in which irrationalism has once more become fashionable. Consequently, I want to begin by declaring that I regard scientific knowledge as the best and most important kind of knowledge we have—though I am far from regarding it as the only one”.

Meskipun bukan satu-satunya, kata Popper, pengetahuan ilmiah merupakan jenis pengetahuan terbaik dan terpenting yang kita punya. Ini membuktikan bahwa potongan paragraf Popper yang dikutip GM itu—bahkan keseluruhan pemikiran Popper sendiri—tidak tepat dijadikan sebagai alat protes pada sains. Bahkan kriteria keterbantahan (falsifiabilty) dalam falsifikasionisme Popper sebenarnya merupakan lanjutan dari tradisi positivisme logis yang membuat demarkasi antara sains dan nonsains atau pseudosains. Artinya, baik Popper maupun kaum positivis logis sama-sama mengakui perlunya ada pembedaan tegas antara sains dan nonsains. Hanya saja kedua pihak itu mengajukan kriteria pembedaan yang berbeda: positivisme logis mengajukan kriteria keterbuktikan (verifiability); sementara Popper mengajukan kriteria keterbantahan (falsifiabilty). Jadi, alih-alih memprotes sains, falsifikasionisme Popper hanya mengkritik cara positivisme membedakan sains dan nonsains.

Itu kekeliruan pertama GM. Hal kedua yang membuat esai GM itu kurang berdasar adalah saat ia membuat proposisi implikatif:

“Ketika sains menjadi panglima — ketika masyarakat menonjolkan (“asserts”) otoritas pengetahuan ilmiah untuk menjelaskan pelbagai hal — sains akan terdorong mengedepankan kepastian, bukan masuk ke dalam proses pencarian kebenaran”

“Dalam posisi sebagai sumber utama, ilmu ini mau tak mau didorong “mengistirahatkan” prosesnya sendiri. Ia tak bisa berpanjang-panjang melakukan riset”.

Dua premis tersebut jelas merupakan klaim besar yang menuntut pembuktian: Benarkah ketika sains menjadi panglima, sains akan terdorong mengedepankan kepastian? Benarkah ketika ilmu dijadikan sebagai sumber utama, ilmu pasti berhenti berproses mencari kebenaran? Itu semua mungkin hanya benar dalam pikiran GM sendiri. Sebab apa yang membuat sains spesial, yang membuatnya layak dijadikan sumber utama memahami dunia alamiah, adalah adanya prinsip umum dalam komunitas ilmiah yang—oleh Lee McIntyre—disebut “scientific attitude”: bahwa ilmuwan mesti punya kesiapan untuk mengubah teorinya jika ada bukti empiris yang menyangkalnya. Dengan prinsip itu, alih-alih menjadi produk pengetahuan yang beku, sains tak lain adalah sebuah proses yang akan melahirkan “scientific progress”. Artinya, kita memercayai sains untuk menjadi panglima dalam memahami dunia alamiah bukan karena ia menjanjikan kepastian, melainkan karena ia bisa mengoreksi dirinya sendiri (self-correcting) di hadapan data-data baru yang terus bermunculan. Begitu sains tak lagi bisa mengoreksi dirinya sendiri, maka ia bukan lagi sains, tetapi sudah berubah menjadi dogma. Dengan demikian, secara epistemologis, tidak ada korelasi niscaya antara sains sebagai panglima dengan sains yang mencari kepastian. Sebab, semakin ia tidak pasti—dalam arti: terus memperbaiki diri—maka sains semakin layak kita percayai.

Satu-satunya kritik GM terhadap sains yang cukup berdasar adalah saat ia memanggil Husserl dan Heidegger. Namun, bagi saya, kritik Husserl terhadap sains itu juga sedikit problematik. Apa yang Husserl maksud sebagai “Krisis” dalam The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology adalah hilangnya kebermaknaan sains bagi dunia-kehidupan (Lebenswelt) yang secara langsung dialami oleh manusia. Karenanya, bagian pertama buku ini adalah “The Crisis of the Sciences as an Expression of the Radical Life-Crisis of European Humanity”. Dengan kata lain, apa yang disebut sebagai “krisis sains” di situ bukanlah krisis epistemologis yang terjadi pada sains itu sendiri, melainkan krisis kemanusiaan yang—kata Husserl—disebabkan oleh sains yang bekerja dengan fondasi matematika. Sains menjadi jauh dari dunia yang konkret, dunia yang kita hidupi bersama. Di situ sains menjadi sesuatu yang nirmanusia. Maka, untuk mengatasi krisis kemanusiaan yang disebabkannya, sains mesti mengubah fondasinya: dari matematika ke fenomenologi transendental. Sains seharusnya tidak berangkat dari kalkulasi matematis, tetapi dari pengalaman langsung manusia dalam dunia kehidupannya.

Tawaran itu, jika diterapkan pada bidang ilmu seperti antropologi dan etnografi, mungkin cukup besar signifikansinya. Namun, begitu diterapkan pada ilmu alam, ia justru akan menyulitkan ilmuwan untuk bekerja. Bagaimana cara ilmuwan untuk punya pengalaman langsung tentang virus, misalnya? Apakah ia perlu diinfeksi virus terlebih dahulu agar pengetahuannya tentang virus menjadi pengetahuan yang valid? Jika memang harus demikian, tidak akan ada lagi orang yang mau menjadi ahli virologi, kecuali mungkin tuan GM sendiri.

Kritik Heidegger terhadap sains—juga terhadap teknologi—bisa saya terima: bahwa dunia yang tampil melalui sains (juga melalui teknologi) adalah dunia yang telah mengalami pembingkaian (enframing). Pembingkaian inilah, kata Heidegger, yang menjadi esensi dari teknologi. Namun, pertanyaannya: memangnya ada jenis pengetahuan lain yang tidak membingkai atau—dalam istilah GM—“mereduksi” objeknya? Menghadapi pertanyaan ini, Heidegger di fase akhir pemikirannya kemudian melirik puisi. Di situlah kritik Heidegger terhadap sains pada akhirnya tidak menghasilkan apa-apa, selain hanya kata-kata penuh metafora.


Tulisan panjang Ulil, yang banyak menyebut nama ilmuwan dan filsuf (alias: name-dropping), sebenarnya hanya punya satu poin bahwa ia tidak suka dengan saintisme yang ia definisikan sebagai “pandangan yang melihat sains modern—terutama sains dalam pengertian ilmu-ilmu kealaman—sebagai model paradigmatik bagi pengetahuan manusia yang paling sempurna, karena memberikan dasar-dasar pengetahuan yang pasti dengan berbasis data-data empiris”. Selebihnya adalah otobiografi intelektual Ulil sendiri.

Saya tidak akan mengomentari perjalanan intelektual Ulil sebab ia memang tidak penting untuk polemik ini. Saya hanya akan menunjukkan satu kekeliruan dan satu kelemahan Ulil dalam mengungkapkan ketidaksukaannya pada saintisme.

Ulil keliru mendefinisikan saintisme. Dalam arti yang diberikan oleh kamus, “scientism” setidaknya punya dua pengertian: 1) methods and attitudes typical of or attributed to the natural scientist; dan 2) an exaggerated trust in the efficacy of the methods of natural science applied to all areas of investigation (as in philosophy, the social sciences, and the humanities).

Pengertian pertama merupakan pengertian asali dari saintisme. Dalam lingkup pengertian itu, Mario Bunge kemudian mendefinisikan saintisme sebagai “the thesis that all cognitive problems concerning the world are best tackled adopting the scientific approach, also called ‘the spirit of science’ and ‘the scientific attitude’.”

Semua persoalan pengetahuan tentang dunia sebaiknya diselesaikan dengan menggunakan pendekatan ilmiah atau “sikap ilmiah”. Itulah poin utama tesis saintisme yang muncul di tengah gerakan Pencerahan Prancis abad ke-18. Di dalam tesis ini, sama sekali tidak ada kepongahan seperti yang dituduhkan oleh Ulil; saintisme justru merupakan antitesis dari sikap keras kepala. Ilmuwan harus selalu tunduk pada bukti-bukti empiris yang ditemuinya, bukan pada keyakinan personal atau bahkan teori yang telah dirumuskannya. Dalam pengertian inilah, kata Bunge, “para ilmuwan mempraktikkan saintisme bahkan meskipun mereka tidak pernah mengenal kata itu”. Apakah salah jika ilmuwan alam menuntut orang yang menekuni bidang-bidang keilmuan lain seperti ilmu sosial untuk memiliki sikap ilmiah yang sama? Saya pikir, baik secara etis maupun epistemologis, tidak ada yang salah dalam tesis semacam itu.

Namun, belakangan istilah ‘saintisme’ digunakan dalam pengertian peyoratif seperti pada arti kedua yang diberikan oleh kamus. Ia menjadi semacam kartu joker (wild-card) yang bisa digunakan untuk mencemooh ilmuwan mana saja tanpa kriteria yang jelas. Begitu ada ilmuwan yang membeberkan temuan ilmiah yang bertentangan dengan keyakinan personal seseorang, maka kartu joker ini bisa dikeluarkan dengan menuduh ilmuwan tersebut mengidap penyakit saintisme.

Dalam pengertian peyoratif itulah, Ulil menyusun definisinya tentang saintisme. Namun, dalam pengertian peyoratifnya sekalipun, saintisme sebenarnya tak seremeh yang digambarkan Ulil sebagai “kepongahan saintifik”. Ia adalah sebentuk reduksionisme yang termanifestasi dalam naturalisme. Naturalisme, dalam dua varian utamanya, dibangun di atas dasar ontologis dan epistemologis yang rigid; sementara kritik Ulil terhadapnya hanyalah kritik etis yang tampak begitu lemah—jika bukan malah tidak punya dasar sama sekali, selain hanya dasar ketidaksukaan pribadi.

Kritik berdasarkan ketidaksukaan tidak pernah membuktikan apa pun tentang hal yang dikritiknya. Kita bisa tidak suka terhadap apa saja, tanpa membuktikan bahwa ia salah. Hukum gravitasi akan tetap sahih dan terus bekerja, betapa pun kita membencinya. Jika Ulil memang hendak mengkritik naturalisme, semestinya ia membangun kritik metodologis atau ontologis. Tanpa kritik semacam itu, kritiknya terhadap naturalisme hanya akan menjadi kritik yang tidak relevan dan juga takberdasar.


Catatan ini bukan untuk mengagung-agungkan sains. Sains tetap bukan sesuatu yang sempurna. Namun, ia adalah satu-satunya pengetahuan terbaik tentang dunia alamiah yang mungkin kita punya. Dan filsafat adalah cara paling tepat untuk melakukan evaluasi kritis terhadapnya.

“Qutbiisme” dan Kepongahan Saintifik
: Mengapa al-Ghazali masih relevan sekarang

Ulil Abshar

Qutbiisme di sini merujuk kepada sosok Sayyid Qutb, seorang ideolog Ikhwanul Muslimin yang mati digantung oleh presiden Mesir Gamal Abdul Nasser pada 1966 karena pandangan-pandangannya yang menghasut umat Islam untuk melawan pemerintah yang dianggapnya kafir dan “thaghut”.

Istilah “Qutbiisme” di sini saya pakai untuk menamai sebuah cara pandang terhadap segala sesuatu yang ditandai dengan banyak hal, tetapi dua di antaranya paling menonjol. Pertama, kepongahan yang terbit karena seseorang “merasa” telah memegang kebenaran mutlak. Kedua, “self-righteousness”, yaitu perasaan paling “saleh” sendiri, sementara orang lain berada di “lorong kesesatan” dan karena itu perlu diselamatkan.

Qutbiisme tidak semata-mata merupakan gejala keagamaan, tetapi bisa juga mengambil bentuk yang sekular, sebagaimana akan tampak dalam bagian terakhir catatan ini.

Saya pernah mengidap “penyakit” Qutbiisme ini dalam dua tahap hidup saya. Pertama, waktu saya masih belia dan terpukau oleh gagasan-gagasan Sayyid Qutb, terutama dalam bukunya “Ma’alim fi al-Thariq”, sebuah manifesto yang ditulis oleh Qutb dengan bahasa Arab yang indah dan elegan. Buku ini telah menyihir saya pada saat saya baru berumur sekitar 19 tahun. Manifesto ini telah mengilhami ribuan belia Muslim di seluruh dunia, mendorong mereka menjadi fundamentalis-radikal dan terperosok dalam gejala takfir (mudah mengafirkan orang lain).

Setelah membaca buku ini, selama beberapa saat saya sempat tenggelam dalam semacam “pengalaman mabuk”. Dalam periode “mabuk” inilah saya pernah berpikir dengan amat pongah bahwa semua orang di sekitar saya adalah “jahiliyyah”, berada dalam kegelapan akidah. Sayalah satu-satunya orang yang “ngekepi” akidah paling benar. Untungnya, saya hanya “merasa” saja, dan tidak pernah mengutarakannya secara lisan.

Saya sembuh dari “mabuk” ini karena gagasan-gagasan pembaharuan Islamnya Cak Nur dan Gus Dur. Saya sebetulnya sudah membaca gagasan-gagasan dua santri-pemikir dari Jombang itu jauh sebelum berkenalan dengan pikiran Sayyid Qutb. Saat tersihir oleh ide-ide Qutb, saya sebetulnya sedang “lupa”. Tak lama berselang, saya mulai merasakan hal yang aneh pada gagasan Qutb. Saya merasa, jika diterus-teruskan, pandangan Qutbian ini bisa membawa saya kepada sikap hidup yang “totaliter”, mutlak-mutlakan.

Setelah sembuh dari penyakit ini, saya kemudian menjalani “petualangan pemikiran” yang asyik. Inilah masa-masa dalam hidup saya yang paling indah. Dan saya bersyukur kepada Tuhan karena diberikan kesempatan untuk menikmati petualangan ini. Tetapi ada jebakan juga di sana. Di ujung petualangan ini, saya pernah nyaris “terpeleset” dalam jebakan Qutbiisme yang lain. Yaitu jebakan yang ingin saya sebut “saintisme”.

Saintisme di sini saya maksudkan sebagai pandangan yang melihat sains modern –terutama sains dalam pengertian ilmu-ilmu kealaman– sebagai model paradigmatik bagi pengetahuan manusia yang paling sempurna, karena memberikan dasar-dasar pengetahuan yang pasti dengan berbasis data-data empiris.

Saya bukanlah seseorang yang belajar sains kealaman. Pendidikan saya adalah Jurumiyah dan Taqrib — dua kitab elementer dalam tata bahasa Arab dan ilmu fekih yang diajarkan di pesantren tradisional. Tetapi, dalam petualangan pemikiran itu, dan dalam interaksi saya dengan sejumlah kawan, saya akhirnya berjumpa dengan banyak literatur populer di bidang sains. Saya mulai berkenalan dengan buku-bukunya Richard Dawkins, Lawrence Krauss, Stephen Hawking, Carl Sagan, Richard Feynman, Steven Weinberg, E. O. Wilson, Steven Pinker, Peter Atkins, Victor Stenger, dan masih banyak yang lain lagi.

Saya amat menikmati literatur tentang sains ini. Minimal, melalui bacaan-bacaan itu saya mengenal bagaimana sains modern memahami pertanyaan-pertanyaan penting dalam hidup manusia: bagaimana asal mula alam raya ini, bagaimana asal mula kehidupan di muka bumi, bagaimana masyarakat binatang dan manusia bekerja, bagaimana fenomena kesadaran manusia mesti dijelaskan, dsb.

Saya sempat “mabuk” sebentar dalam periode saintisme ini. Pada masa ini, saya sempat tergoda sejenak untuk berpandangan bahwa sains modern lah yang bisa dianggap paling sukses menjelaskan “kehidupan”. Ilmu-ilmu lain bersifat inferior.

Ya, saya hanya mabuk sebentar saja. Saya disadarkan kembali setelah mulai merasakan keanehan di kalangan para pendukung sains ini. Mereka memiliki watak-watak yang agak mirip dengan para penganut Qutbiisme-relijius — pongah, dan merasa dirinya secara moral berada di ketinggian, mengatasi orang-orang lain; self-righteousness.

Pada titik inilah kemudian saya berkenalan dengan gagasan-gagasan seorang matematikawan dan filsuf Amerika, David Berlinski (dia meraih gelar PhD dalam bidang filsafat dari Princeton University). Dia menulis buku dengan judul yang agak “provokatif”: “Devil’s Delusion — Atheism and its scientific pretension” (2008). Buku ini jelas merupakan sanggahan yang blak-blakan atas buku Richard Dawkins yang terkenal: “God’s Delusion” (2006) dan buku-buku para “new atheists” yang lain seperti Sam Harris dan Daniel Dennett.

Salah satu paragraf yang “nyambung” dengan pengalaman saya dalam bukunya Berlinski ini berkenaan dengan “kepongahan” sebagian saintis dan para pendukung sains modern. Dalam bagian pengantar, Berlinski, antara lain, menulis:

“Occupied by their own concerns, a great many men and women have a dull, hurt, angry sense of being oppressed by the sciences. They are frustrated by endless SCIENTIFIC BOASTING (huruf besar dari saya, UAA). They suspect that as an istitution, the scientific community holds them in contempt. They feel no little distaste for those speaking in its name. They are right to feel this way. I have written this book for them.”

Secara ringkas, Berlinski mengatakan bahwa banyak orang yang merasa jengkel karena kepongahan saintifik (scientific boasting) yang diperagakan oleh komunitas sains. Mereka seperti dipojokkan oleh para pendukung sains, karena hanya diberikan dua pilihan: sains atau agama; kalau sains benar, maka dengan sendirinya agama salah.

Saya merasa diwakili oleh Berlinski melalui kalimatnya yang blak-blakan ini. Berlinski bukanlah seorang penganut agama. Dia menggambarkan dirinya sebagai Yahudi sekular yang tak pernah pergi ke sinagog. Tetapi dia ikut dibuat jengkel dan senewen oleh gejala “scientific boasting” itu.

Saya adalah orang yang tak suka pada kepongahan — baik kepongahan relijius atau sekular. Gagasan-gagasan Islam liberal yang pernah saya kemukakan pada awal tahun 2000an dulu adalah persis untuk mengkritik “kepongahan relijius” yang diperagakan oleh sebagian kaum muslim fundamentalis-radikal dengan berbagai spektrumnya.

Pada sisi lain, saya juga memiliki kejengkelan yang tak kalah mendalam terhadap kepongahan sekular yang saya lihat pada fenomena “saintisme” — sebuah cara pandang yang melihat sains sebagai satu-satunya penjelas yang tepat terhadap Kehidupan dengan “k” besar. Sementara yang lain, terutama agama, adalah takhayul dan khurafat yang merupakan sisa-sisa dari masa kanak-kanak manusia.

Saya tumbuh dalam lingkungan Islam tradisional (baca: NU) dan menghirup oksigen kultural bernama ajaran tawadlu’, “ethics of humility”, tidak suka menghakimi pihak lain yang berbeda. Kepongahan adalah hal yang paling ditabukan dalam kultur di mana saya tumbuh; kecuali jika “diprovokasi” secara tidak proporsional oleh pihak lain: apa boleh buat.

Setiap bentuk kepongahan, baik relijius ataupun sekular, langsung menimbulkan refleks penolakan pada diri saya. Saya sekarang bisa memahami dengan simpatik “kejengkelan” al-Ghazali terhadap para filsuf (baca: saintis) pada zamannya seperti ia utarakan dalam otobiografinya yang saya “balah” (dikaji dengan metode bandongan ala pesantren) selama bulan puasa kemaren, berjudul “al-Munqidh min al-Dalāl”.

Apa yang ditulis al-Ghazali hampir seribu tahun lalu menggaungkan pandangan serupa yang ditulis oleh Berlinski pada abad ini. Baik al-Ghazali maupun Berlinski hendak membedakan antara “sains” dan “saintisme”. Sains adalah suatu stetemen mengenai fakta-fakta kealaman yang didukung oleh “evidence” yang kokoh, atau “burhan” dalam bahasa al-Ghazali. Sementara saintisme adalah ideologi yang dipeluk oleh para praktisi sains dengan mengatas-namakan sains. Saintisme adalah “pretense” (dalam bahasa Berlinski) atas nama sains, tetapi bukan sains itu sendiri.

Sebagaimana setiap “pretense”, dia bisa kebablasan dan melahirkan sikap-sikap yang menjengkelkan seperti “scientific boasting”, kepongahan saintifik itu. Ini tergambar, misalnya, dalam pernyataan Peter Atkins, seorang ahli kimia dari Inggris yang mengajar di Universitas Oxford:

“… there is can be no denying the proposition that science is the best procedure yet discovered for exposing the fundamental truths about the world. By its combination of careful experimentation guided by theory, and its elaboration and improvement of theory based on experiments it inspired, it has shown itself to be of enormous power for the elucidation and control of nature… No other mode of discovery has proved to be so effective or to contribute so much towards the achievement of the aspirations of humanity.” (Peter Atkins, “Science as Truth”).

“Pretense” seperti inilah yang dikritik oleh para sarjana seperti al-Ghazali, Berlinski, atau John Lennox (seorang matematikawan dari Universitas Oxford yang menulis buku berjudul “God’s Undertaker: Has Science Buried God?”). Yang dikritik oleh orang-orang seperti al-Ghazali bukanlah filsafat atau sains per se, melainkan “asumsi-asumsi ideologis” yang bersembunyi di balik otoritas sains.

Saya tetap mengagumi sains. Di mata saya, sains adalah salah satu (bukan satu-satunya!) bentuk pengetahuan manusia yang dianugerahkan oleh Tuhan untuk kemaslahatan mereka. Yang tidak saya kagumi adalah saintisme dan “kepongahan saintifik”, atau kepongahan-kepongahan lainnya.

Sekian.

Diskusi ini masih panjang. Nanti saya coaps lanjutannya.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *