Dari catatan sebelumnya, aku sedikit banyak memberi catatan pada Instapoet. Kali ini, aku diberi kesempatan untuk membaca sebuah buku yang punya napas serupa dengan Instapoet.
Penulisnya Elvira. Kami berteman di Instagram. Pada suatu waktu, ia mengirimkan pesan, apakah aku berkenan membaca buku yang bukan genre-ku. Tentu saja, aku omnivora. Pemakan segala. Pembaca segala. Aku menerima dengan senang hati bukunya.
Namun, waktu berlalu. Kukira dia lupa mengirimkannya. Atau memang tak jadi. Sampai beberapa hari lalu, aku diberi sebuah buku oleh satpam. Katanya terselip sudah lama. Untukku. Dari Elvira.
Dalam kesempatan saat aku berbincang di UNSIKA, kukatakan bahwasanya masa depan sastra adalah kerja kolaboratif. Sebenarnya, apa pun bentuk seninya, ia butuh kerja bersama dengan bentuk seni yang lain. Tulisan pun demikian. Akan lebih baik jika di sana ada kerja kolaboratif dengan seni grafis. Sebuah puisi dialihmediakan menjadi lagu. Atau bentuk kerja kolaboratif lainnya. Sapardi Djoko sendiri mengakui bahwa keabadian puisinya tidak bisa terlepas dari banyaknya orang yang melagukan puisinya tersebut.
Dalam konteks Elvira, aku sumringah karena bukunya tidak sekadar teks, tetapi penuh dengan ilustrasi berwarna. Cantik sekali (seperti orangnya, hmm….).
Beberapa bagian aku sangat suka dari buku ini:
Kau hanya bisa
menangkap cinta
yang memang
ditakdirkan jatuh
untukmu.
Sebab, aku tahu, sebagian
besar orang hanya memiliki
tulang punggungnya sendiri
untuk bersandar.
aku tidak berharap rindu,
tapi berharap temu.
Cinta tak akan pernah
sampai hati menuntut sebuah
kesempurnaan.
Di dalam epilognya, Elvira mengungkapkan bahwa bukunya yang berkonsep puisi dan kutipan yang disandingkan dengan ilustrasi berwarna ini adalah proyek idealisnya. Hanya saja, jika ditanyakan padaku, aku membaca A Little Book About You justru bukan sebagai puisi, melainkan prosa.
Aku teringat sebuah buku ketika aku masih muda. Judulnya Surat Cinta untuk Sang Aktivis. Penulisnya Musafir Hayat.
Buku itu berisi prosa dengan narasi yang memukau. Manis. Romantis. Dari sudut pandang seorang pria.
Elvira aku pikir punya napas dan kekuatan yang sama dengan Musafir Hayat. Kalimat-kalimat Elvira sangat manis. Ia jujur terlepas dari sangkar katanya, tanpa pretensi apa pun. Aku seolah melihat gadis muda, yang memang benar-benar mewakili sosok Elvira (kalau kau sudah lihat foto orangnya) mengucapkan kata demi kata. Lembut. Dalam.
Hanya saja untuk dikatakan sebagai sebuah puisi dalam terminologi sastra, ia masih terlalu cair. Karena itulah aku masih menyebutnya sebagai prosa.
Namun, itu bukanlah sebuah kesalahan. Itu hanyalah satu jejak dalam kepenulisan Elvira. Ketulusan Elvira dalam tulisan-tulisannya yang begitu terasa adalah kekuatan dia. Aku pikir pembaca-pembacanya adalah pembaca yang setia, yang tak sudi meninggalkan Elvira karena ketulusan dalam kata-katanya itu.
Hanya jika Elvira terus menjejak dalam kepenulisan, aku ingin memberi satu saran. Semakin menjauhlah dari klise, gunakanlah objek-objek yang hanya bisa kamu lihat, di sekitarmu. Aku yakin tidak akan sulit bagimu untuk memberi makna pada semua itu.
(2019)
2 Comments