Review buku puisi Lacrimosa karya Iswadi Pratama oleh Budi P Hutasuhut
Sebelum kematiannya, 5 Desember 1791, Wolfgang Amadeus Mozart menghasilkan sebuah komposisi musik yang sedih, Lacrimosa Requeim. Para pengamat menduga-duga, karya luar biasa itu mengisahkan tentang kematiannya sendiri.
Dalam perkembangan kemudian, karya itu menjadi bagian penting kegiatan religi di gereja-gereja Katolik, sering digemakan dalam Misa Arwah yang diperuntukkan bagi kedamaian kekal jiwa-jiwa dari orang yang telah meninggal, terutama lewat piano solo. Karya musik ini lekat dengan kematian, jadi tak sekadar ilustrasi musik saat prosesi penguburan seseorang.
Baca Dulu: Kumpulan Sajak Sitor Situmorang | Dalam Sajak
Tapi, entahlah, saya tak akan ikut menduga-duga maknanya sekalipun sah-sah saja tafsir dipakai untuk memahamkan karya seni. Saya sering menyimak musik klasik dari para komposer dunia dan tidak selalu berhasil memahamkannya. Karya musik, yang saya pikir hanya mengandalkan bunyi itu, ternyata tidak hanya tergantung pada bunyi. Bunyi itu kaya makna, tak punya bentuk (dan partitur musik tak tepat disebutkan visualisasi dari bunyi nada), hanya diperuntukkan bagi telinga, lalu pecah pada sesuatu yang peka dalam jiwa.
Sesuatu yang, mungkin, telah memberi rangsangan atau semacam ide puitik kepada sejumlah penyair di Indonesia untuk menghasilkan puisi yang bicara tentang kematian, kesedihan yang dasyat, atau tentang sebuah peristiwa luar biasa ketika kematian datang. Salah satu puisi itu berjudul Lacrimosa karya Goenawan Mohamad dalam bukunya Gandaria (2013).
Tapi saya tak bicara tentang puisi Goenawan Mohammad. Saya bicara tentang puisi Amadeus: Lacrimossa karya Iswadi Pratama. Dari judulnya, besar kemungkinan Iswadi Pratama menulis puisi ini setelah menyaksikan (menonton) kisah Amadeus, sebuah biografi dari Wolfgang Amadeus Mozart.
Amadeus sebuah film drama periode Amerika 1984 yang disutradarai Miloš Forman, diadaptasi oleh Peter Shaffer dari permainan panggungnya Amadeus. Ceritanya, yang berlatar belakang Wina, Austria, pada paruh akhir abad ke-18, merupakan sebuah biografi yang difiksionalisasikan dari riwayat hidup Wolfgang Amadeus Mozart.
Berkisah tentang Amadeus, seorang komposer terkenal, yang didatangi seseorang agar menuliskan sebuah lagu untuk istrinya. Kondisi Amadeus sedang sakit, dihantam wabah flu Spanyol, dan dia menerima tawaran itu. Dibantu kawannya, Salieri, musik itu dikerjakan, tetapi Amadeus hanya mampu menyelesaikan delapan langkah dan kematian menjemputnya.
Lacrimosa Requeim ini kemudian diselesaikan Franz Süssmayr, murid Amadeus, menyelesaikan sisa Requiem. Lirik dari karya ini diambil langsung dari dua bait terakhir himne “Dies Irae” (Hari Kemurkaan). Dies Irae sebuah puisi yang ditulis untuk digunakan dalam Misa Requiem Gereja Katolik Roma diciptakan sebagai himne pada abad ketiga belas. Liriknya menyadarkan, mengingatkan, dan menggetarkan: Day of wrath and doom impending/David’s word with Sibyl’s blending/Heaven and earth in ashes ending (Hari murka dan malapetaka akan datang/Perkataan David dengan perpaduan Sibyl/Langit dan bumi menjadi abu berakhir).
Himne klasik dari abad ke-13 ini, sesungguhnya, diberi “ilustrasi” musik dari karya Mozart hingga membangkitkan imaji tentang malaikat atau suara-suara dari yang tak terhingga. Lacrimosa Requeim karya Mozart itu, memberikan efek tambahan terhadap himne dan karena itu, dia membuat sesuatu lebih dasyat.
Kembali kepada puisi Amadeus: Lacrimossa karya Iswadi Pratama. Entah di mana saya menemukan puisi itu untuk pertama kali, tapi judul itu membawa ingatan saya kepada Mozart.
Puisi Iswadi Pratama
Amadeus: LacrimossaBukit-bukit es, jalanan berangin
empat lelaki menguburmu tanpa requiemsebuah skop berkarat di tepi
salju diseduh sedih di pangkal pagidi lembar-lembar partitur itu
mengering luka; bekas perihmudi dinding-dinding kota Wina
nyaring tawamu tak lagi menggematoksin menggerusmu hari demi hari
seperti sebuah nada terhapus dari komposisiSalieri, Salieri…
“bila Tuhan tak memberkati, kupilih berkatku sendiri”
Lacrimosa (bahasa Latin). Lirik musik Mozart bicara tentang hari ketika kematian tiba. Hari itu penuh air mata/ketika dari abu akan muncul/Orang yang bersalah harus diadili/Oleh karena itu ampunilah dia, ya Allah/Tuhan Yesus yang penyayang/Beri mereka istirahat abadi. Amin.
Beberapa hari lalu Iswadi Pratama meluncurkan buku puisinya, Lacrimosa. Saya tak tahu, apakah judul buku itu mengacu kepada puisi Amadeus: Lacrimossa atau tidak. Saya belum membacanya. Tapi, jika judul buku itu tidak diambil dari puisi Amadeus: Lacrimossa melainkan sebuah pilihan kata yang dipersiapkan merekam seluruh isi buku, apakah buku puisi ini berisi sejumlah puisi yang berimajinasi sendu.
Baca Juga: Puisi Ibrahim Sattah, Harta Karun dari Riau
Ini buku puisi Iswadi Pratama yang ketiga setelah Gema Secuil Batu, Harakah Haru, dan…. Lacrimosa.
Bagi orang yang sangat selektif memilih membaca puisi, karya Iswadi Pratama saya kumpulkan dalam bentuk klipping. Dia penyair yang “bagi saya” karya-karyanya harus dibaca. Entahlah. tiba-tiba saya ingat adegan dalam film Amadeus ketika Mozart meninggal dan mayatnya diantar ke pemakaman dengan kereta, tanpa pelayat. Ia mati sebagai pasien penderita flu Spanyol, dimasukkan ke dalam lubang bersama para penderita lainnya, dan Lacrimosa Requeim mengiringi peristiwa itu.