Tulisan ini dikutip dari Facebook Budi P Hutasuhut
Saya menyukai burung, burung yang bebas. Saya punya kamera Canon, dan benda itu jadi mata saya untuk melihat burung-burung yang meloncat di ranting pepohonan. Melihat dengan sangat jelas. Saya jadi mengenal burung bukan dari kicauannya yang merdu, tapi dari warna-warna bulunya, tekstur bulu-bulu itu berbeda pada tiap burung, bola matanya yang seperti permata ditempelkan, dan paruhnya yang luar biasa. Burung pemakan ulat mempunyai bentuk paruh yang berbeda dengan burung pemakan biji.
Rasa suka saya kepada burung sering mendorong saya untuk menyentuhnya, meraba kelembutan bulu-bulunya, lalu tergoda untuk memeliharanya. Beberapa kali saya menangkap burung, menaruhnya di sangkar, merawatnya dengan rasa cinta sampai suatu hari saya merasa diejek Maya Angelou lewat puisinya berjudul “Caged Bird”. Sudah tentu Maya Angelo tidak tahu kalau saya pernah mengurung burung, tapi setelah membaca puisi itu saya berharap agar ia segera melupakan saya.
Caged Bird
by Maya AngelouA free bird leaps
on the back of the wind
and floats downstream
till the current ends
and dips his wing
in the orange sun rays
and dares to claim the sky.But a bird that stalks
down his narrow cage
can seldom see through
his bars of rage
his wings are clipped
and his feet are tied
so he opens his throat to sing.The caged bird sings
with a fearful trill
of things unknown
but longed for still
and his tune is heard
on the distant hill
for the caged bird
sings of freedom.The free bird thinks of another breeze
and the trade winds soft through the sighing trees
and the fat worms waiting on a dawn bright lawn
and he names the sky his own.But a caged bird stands on the grave of dreams
his shadow shouts on a nightmare scream
his wings are clipped and his feet are tied
so he opens his throat to sing.The caged bird sings
with a fearful trill
of things unknown
but longed for still
and his tune is heard
on the distant hill
for the caged bird
sings of freedom.
Baca Dulu: A Few Don’ts by an Imagiste, Ezra Pound
Puisi “Caged Bird” ini saya temukan dalam buku Maya Angelou, “Shaker, Why Don’t You Sing?”, dan puisi itu membuat saya tercenung. Meskipun ia tidak sedang menulis tentang para pecinta burung, salah satu hobi orang Indonesia yang diperoleh dari budaya orang-orang yang datang dari Dataran Tionghoa pada masa lalu, secara harfiah isinya memukul hati. “But a bird that stalks/down his narrow cage/can seldom see through/his bars of rage/his wings are clipped and/his feet are tied/so he opens his throat to sing.”
Burung yang dikurung mengandalkan siulnya sebagai pelampiasan atas tekanan, ketidakbebasan, kondisi terpenjara. Dan, barangkali, benar. Lantaran dikurung dalam sangkar, seekor burung yang dipelihara menjadi burung kicau yang disukai. Padahal, seandainya saya berada dalam posisi burung itu, maka kicauan saya lebih mirip sebagai ratapan agar saya dibebaskan. Kicauan saya adalah kemarahan, protes keras yang justru disukai pemelihara saya.
Puisi “Caged Bird” bicara tentang orang kulit hitam yang terkekang, yang tak bebas, yang tak merdeka di negara yang mengagungkan kemerdekaannya. Dan idiom “cage bird” identik dengan Maya Angelou apalagi setelah ia menulis otobiografinya, “I Know Why the Caged Bird Sings (1979)” yang sangat terkenal. Popularitas buku antirasisme itu membuat pengelola stasiun CBS meminta Maya Angelou untuk mengubahnya menjadi naskah film televisi (sinetron), dan Maya Angelou menyanggupinya. Film berjudul sama dengan judul buku otobiografi itu, “Aku Tahu Kenapa Burung Dalam Sangkar Berkicau”, pertama kali ditayangkan pada 28 April 1979. Nama Maya Angelou yang antirasisme, pembela orang kulit hitam, aktivisis yang memperjuangkan hak-hak sipil di Amerika Serikat, mendapat perhatian masyarakat dunia. Dia berteman dengan Martin Luther King Jr. dan Malcolm X.
Frasa “caged bird” melambungkan nama Maya Angelou sebagai pesohor dunia dengan riwayat hidup yang sangat pahit–pernah jadi korban pemerkosaan, mantan pekerja seks, kerja serabutan asal bisa hidup di zaman yang tak memberi tempat kepada kulit hitam. Setiap kali orang bicara tentang “caged bird”, nama Maya Angelou yang akan muncul. Ketenarannya membuatnya dinobatkan sebagai penyair yang membacakan puisi di hadapan Presiden Amerika Serikat. Pada tahun 1993, ia membacakan puisinya “On the Pulse of Morning” (1993) pada pelantikan pertama Bill Clinton. Dia jadi penyair kedua setelah Robert Frost membaca puisi saat pelantikan John F Kennedy pada 1961.Sebetulnya, “caged bird” tidak orisinil milik Maya Angelou. Ia mendapatkan frasa “caged bird” dari puisi Symphaty karya Paul Laurence Dunbar, seorang penyair kulit hitam yang pertama kali membawa semangat antirasim. Di Harper’s Weeky, seorang penulis bernama William Dean Howells, memuji karya-karya Dunbar dan menyebutnya: “the first man of his color to study his race objectively” (orang pertama dari kalangan kulit hitam yang mempelajari rasanya secara objektif).
Maya Angelou adalah orang yang terpengaruh karya-karya Paul Laurence Dunbar. Tapi puisi Maya Angelou berpengaruh besar sehingga membuat saya melepaskan beberapa ekor burung dari dalam sangkar.
Baca Juga: Resensi The Railway Children
Sympathy
By Paul Laurence DunbarI know what the caged bird feels, alas!
When the sun is bright on the upland slopes;
When the wind stirs soft through the springing grass,
And the river flows like a stream of glass;
When the first bird sings and the first bud opes,
And the faint perfume from its chalice steals—
I know what the caged bird feels!I know why the caged bird beats his wing
Till its blood is red on the cruel bars;
For he must fly back to his perch and cling
When he fain would be on the bough a-swing;
And a pain still throbs in the old, old scars
And they pulse again with a keener sting—
I know why he beats his wing!I know why the caged bird sings, ah me,
When his wing is bruised and his bosom sore,—
When he beats his bars and he would be free;
It is not a carol of joy or glee,
But a prayer that he sends from his heart’s deep core,
But a plea, that upward to Heaven he flings—
I know why the caged bird sings!