Bagaimanakah puisi-puisi Korea dituliskan? Baru-baru ini saya membaca buku kumpulan puisi “Ikan Adalah Pertapa” karya Ko Hyeong Ryeol yang diterbitkan oleh KPG. Kumpulan puisi ini diterjemahkan oleh Kim Young Soo dan Nenden Lilis Aisyah.
Kumpulan puisi ini memiliki 4 bagian ditambah sebuah Prosa Penyair berjudul Puisi yang Turun di Peron, Kereta Api yang Berangkat Lagi. Pada bagian I (Bagai Kenangan Milik Cahaya yang Sangat Dekat) ada 15 judul puisi, bagian II (Biseondae dan Puisi Prosais Setelah Makan Mi Dingin) ada 15 puisi juga, bagian III (Gerombolan Manusia Debu) ada 14 puisi, dan bagian IV (Ada Kenyataan Belum Terbongkar) memuat 16 puisi. Puisi-puisi di dalam antologi Ikan Adalah Pertapa merupakan puisi terseleksi dari judul asli “오래된 것들을 생각할 때에는” Pada Saat Merenung Hal-Hal Kuno (Pilihan Puisi 444, tahun 2020, @changbi).
Baca Dulu: Resensi Buku Puisi Lagu Tidur karya Ama Achmad
Sebelum membaca puisi-puisi tersebut, alangkah enaknya jika kita membaca sepatah kata penyairnya terlebih dahulu. Dari situ kita bisa mulai mengenal karakter sang penyair. Di luar ramah-tamahnya tentang Indonesia, kita bisa merasakan romantisme penyair sekaligus kegetirannya pada hidup yang ia rasakan dengan menjadikan Indonesia sebagai pertentangan, yang membebaskan dirinya dari ancaman dan ketidaknyamanan hidup (di Korea).
Kumpulan puisi Ikan Adalah Pertapa ini berupaya menggambarkan keadaan Korea Selatan dari berbagai aspek. Ko Hyeong Ryeol ingin menunjukkan keadaan Korea terutama dari sisi masyarakat yang memiliki sisi lain dari yang selama ini digambarkan dalam drama atau K-Pop. Dalam lintasan sejarah Korea, selalu ada korban yang hampir tak pernah dibicarakan dalam ranah mainstream.
Dalam “Sajak Rumput” saja misalnya kegetiran itu sudah terasa begitu dalam dalam lirik “Matahari terbit di sela-sela rumputan sambil merengut/ Penyair ketakutan, mengira rumput telah hilang dari dirinya“. Penyair Ko bermain dengan metafora dan ini mengingatkanku pada sajak tentang rumput lain, dari Sapardi, “Bahkan bunga rumput itu pun berdusta.
Ia rekah di tepi padang waktu hening pagi terbit;”
Rasanya saya ingin mengutip beberapa puisi di buku ini, tapi tak bisa karena membacanya di Gramedia Digital. Lebih baik teman-teman miliki bukunya ya.
Baca Juga: Review Buku Puisi Ada Propaganda Cinta yang Harus Selesai Sore Ini
Bukan musuh yang menyiksa kita
Penderitaan sendiri mulai mengorupsi penderitaan
Di dalam air, situasi politik membagi dua kota
yang terdiri dari sebuah batu
Korupsi menjadi busuk sambil memurnikan korupsi(“Di dalam Dunia Korupsi”, Ryeol, hlm. 192-193)
Ada suatu kenyataan yang belum tersingkap
Semua bunga mengira bahwa mereka sudah benar-benar mati.
Bunga tak tahu
benih bunga jatuh dari bunga ke tanah, lalu memekarkan bunga
lainnya(“Benih Bunga”, Ryeol, hlm. 184)
Profil Penulis
KO HYEONG RYEOL, lahir di pantai utara kota Sokcho, Provinsi Gangwon Korea ketika ayam berkokok pertanda fajar, tanggal 8 November 1954, yakni setahun setelah Perang Korea (1950-1953). Dia meninggalkan rumah pada usia delapan belas tahun dan bekerja di sebuah kuil, tempat pemecahan batu, dan pabrik pembuatan roti. Setelah ayahnya meninggal dunia, ia pulang ke kota Sokcho dan sejak tahun 1974, ia menjadi pegawai pemerintah eselon rendah di daerah paling utara, pantai timur Korea. Pada tahun 1979, dia memulai debutnya di dunia sastra melalui puisi “Chuangtzu 莊子” di majalah sastra Hyundaemoonhak.
Dia menerbitkan buku kumpulan puisinya yang pertama pada musim semi tahun 1985, dengan judul Perkebunan Semangka Puncak Daechong. Setelah itu, secara aktif KO menerbitkan kumpulan puisi berjudul Bunga Embun Beku, Buddha Salju, kumpulan puisi ekologi lingkungan alam Bagaimana Kabarnya Kota Seoul, serta Aku tidak berada di Candi Erdene Zuu, dan Pada Saat Merenung Hal-hal yang Kuno. Dia juga menerbitkan kumpulan puisi Anak Kembar Samudera bersama penyair Vietnam Mai Van Phan.