Review Buku | Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai

Cara-cara Tidak Kreatif untuk Mencintai adalah kumpulan puisi karya Theoresia Rumthe dan Weslly Johannes. Terbit tahun 2018, buku ini memuat 98 puisi mereka. Dari judulnya saja terasa sangat menggoda untuk membaca perspektif mereka tentang berbagai tema di dalam buku ini.

Aku sudah membaca beberapa buku mereka, dan kesan pertama adalah rasa salut karena mereka sangat produktif. Produktivitas itu pun tak mengorbankan kepuitisan dalam intensitas mereka dalam menjelajah berbagai topik.

Baca Dulu: Kumpulan Sajak Sitor Situmorang | Dalam Sajak

Meski seolah melulu berkutat pada cinta, sebenarnya aku merasakan beberapa puisi merengkuh lebih dalam. Misalnya saja pada puisi “Ciuman yang Menjaga Sebuah Bangsa”. Ada lirik yang sangat menarik:

adakah bangsa yang akan binasa
jika ia dibangun oleh berjuta-juta
ciuman rakyatnya?

Di halaman 17, kutipan dari Weslly Johannes memperkuat pelukan itu: “Mencintai itu destruktif; membongkar sekat dan tembok agama dalam satu pukulan.”

Hanya saja, ketika aku masuk ke dalam “kedalaman” itu aku menemukan beberapa ketidaknyamanan. Kalimat-kalimat yang ditujukan sebagai “punchline” tidak menonjokku. Dalam kutipan Weslly di atas misalnya, apakah cinta tidak ada di dalam agama? Memisahkan hal-hal itu agaknya tak nyaman buatku. Frasa-frasa yang digunakan seperti “kelopak matahari”, “rambutmu yang awan” dan “aroma napasmu seperti nasi, pulen” dalam puisi “Bercakap tentang Aroma” bukanlah majas yang tepat.

Barangkali aku pribadi memiliki harapan lebih dalam puisi-puisi tersebut. Seperti ketika bicara nasi, aku mengharapkan kritik yang mendalam tentang nasi dalam soal krisis identitas. Dsb.

Itu saja sih sedikit hasil pembacaanku. Meski ini judulnya review buku, ya nggak review-review amat. Berikut kukutipkan puisi-puisi yang menarik di dalam buku ini:

Puisi Kecil

Aku tahu, aku bukan puisi kesukaan
Tetapi aku tetaplah puisi kecil ini
Puisi jangkrik untuk malam paling sendiri
Saat semua penyair meninggalkanmu

Pelukan

pelukan kekasih seperti demam,
hangatnya merambati sekujur diriku
bila lama-lama baru berjumpa, pelukannya
seperti baju kekecilan: sesak-sesak, tapi enak.

Sabtu

hari ini, kita hanya punya ruang untuk bahagua;
melatih lengan dan jari-jari untuk meninggalkan kerja
dan mengajari bibir kita untuk melupakan kata.

malam ini, sebagai ganti malam-malam lembur yang asing.
peluk dan cium yang ringkas, karena terburu-buru,
akan kita panjangkan sepanjang sungai dan waktu.

dunia ini, seperti yang pernah kita bincangkan,
terisi oleh banyak kemalangan dan kesibukan,
tetapi ada dua yang selalu harus kita pelihara:
cinta dan bercinta.


Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *