Puisi-puisi Ma’ruf Muzaki

NGANJUK

Tanah kami menyimpan mata air dari air mata
perempuan yang disekap tiga hari. Diperkosa.
Disiksa. Mati di rimba.

Tanah kami menyimpan mata air. Air tak kunjung
surut dari kisah yang tergenang. Siap tumpah kapan
saja, banjir di mana saja: wilangan, sidoarjo, jalanan,
pabrik, atau kodam v brawijaya. Lebih ganas dari
tsunami

Tanah kami menyimpan yang dibuang waktu
kengerian, kerakusan, anjing pemerintah, budak
penguasa, rekayasa, juga marsinah.

Orde baru telah mengubur bom waktu.
Kini tumbuh subur, besar, petit merobek langit
Siap meledak kapan saja, di mana saja:
wilangan, sidoarjo, jalanan, pabrik, atau
kodam v brawijaya. Lebih ganas dari
tsunami

Malang, 20 Januari 2020


KHIANAT JANJI

Bahkan kau tak mengerti
Di kamarku mimpi mengurung diri
Tertidur angan-angan yang terlalu tinggi
Kekata motivasi hanya jadi candu sepi

Di sini, mimpi dan mati terasa sengit
Hidup seolah sangkar kutukan nasib
Membunuh jati diri di perantauan
Menyangsikan luka di masa depan

Jejak kaki berkhianat pada janji
Dan kini, aku mati tertikam bayang sendiri

Malang, 12 Februari 2019


METAFORA

Aku jatuh cinta pada segaris tawamu
Yang sejajar dengan detak jantungku
Bernyanyi seirama dan berjalan dengan
rumus yang sama – dulu dan kini

Namun apa artinya dulu dan kini
Bila ia senantiasa mengalir serupa hujan
Di segelas kopi manis buatanmu

Di situ, rindu bagaikan senja berkabut
Dalam rahim sang waktu
Lalu apa definisi ada dan tiadaku
bagi deru napasmu?

Dermaga lengang, salak anjing dalam remang

Kesunyian meledak di tengah malam
Pada sehimpunan embun paling tenang
Dan lonceng arloji mati di angka tiga
Menyisakan batinku yang terbang
Terbakar bersama doa
Di dingin bibirku ke hangat bibirmu

Nganjuk, 21 Maret 2019


BISON

Seorang anak muda melenting
Keluar dari kancah perkuliahan
Setelah patah pengharapan
Lalu dilupakannya hal terpenting
Yang ia ciptakan semasa kanak-kanak

Serupa seekor bison
Penuh bebat cambuk di perutnya
Ia menerabas liar sabana
Menikung patah pedesaan
Mendepak para petani
yang hendak bertanam mimpi

Dengan setatapan mata kosong
Ia bangun perkotaan senja
Dari sajak cinta paling derita
Dari kata yang ia buang nestapa
Dari doa ayah bunda yang terluka

Selepas gelagak mimpi
Ia kembali dengan luka sana sini
Meradang selayaknya chairil anwar
Berbalas sedendam pramoedya ananta toer

Menerka-nerka lagi, berusaha abadi
Atau cukup sekian terima kasih

Malang, 15 Februari 2019


TUGAS KALKULUS

Ya, akulah iblis kecil itu, ibu
Menatap papan tulis putih
Mencatat beragam materi dan intisari
(bagaimana menata deret ini dan itu?)

Oh, mata kuliah
Perhitungan itu

Penjelasan yang kucari
Nyelempit dalam
Pemahaman dan percobaan
Mencipta badai corat-coret
Penghapusan

Terus amati, pahami, praktik
Sudah sepuluh kali gagal
Mampet di kerut keningku yang pening
Tanganku kaku. Meski tubuhku berlarian
digulung kertas kalkulus berderet-deret

Malang, 20 Januari 2020

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *