Oligarki dalam Seporsi Pisang Goreng
tiba-tiba aku ingin
menjadi seliter minyak curah
aku butuh tempat bersembunyi
meski harus mendidih
di wajan penjual pisang goreng
sambil belajar mengakrabi rasa panas
berharap auditor pajak
tak melirik gerobak kami
yang sungguh malu
kalau harus masuk instastory-mu
sebagai penjual pisang goreng
kami tak menghitung laba & rugi
grafik yang naik-turun itu
cukup milik aplikasi binomo
& laporan lembaga survei bayaran
elektabilitas wajah-wajah
yang sesekali nampang
sebagai bungkus pisang goreng
kami juga tak mengerti investasi
selain tempat jualan yang aman
bebas dari jam malam & razia ppkm
meski harus bayar jatah preman
menjadi seliter minyak curah
di dalam sajak ini
kata ‘otomatis’ lompat dari kamus
tiba-tiba akulah idaman ibumu
menjadi pesaing berat
calon mantunya
yang masih ikatan dinas
& mengantre untuk naik pangkat
menjadi seliter minyak curah
di dalam sajak ini
mendidih di antara cuan & angan-angan
sungguh kami tak lagi punya arti
kalau seribu paris pernandes
membabat habis kebun-kebun kami
seperti wadas, seperti mesuji
seperti harga diri sendiri
haruskah kami tancapkan
ribuan paku
pada sebatang pohon pisang
terakhir di muka bumi?
menjadi seliter minyak curah
di dalam sajak ini
kusaksikan oligarki & milenial saling tatap
sebagai iklan rumah bersubsidi
& buruh kantoran pulang kerja
mengunyah seporsi pisang goreng
menunggu ojol datang
di selasar scbd
2022
Kemah Oligarki
kita mengenang pernah jadi pramuka
belajar lagi mendirikan tenda
menyambung bagan satu demi satu
merogoh-rogoh pasak & menancapkannya
seperti kekuasaan sebuah rezim
yang dulu pernah digulingkan
kita harus membakar kesunyian di situ
membawa spanyol sisa liburan tahun lalu
sepasang torero & seekor banteng
yang konon membenci warna merah
bertarung di tengah percakapan
sebagai nyala unggun
kita menyanyikan lagu-lagu cinta
menyeduh kapal api & makan indomie
menyadari bahwa kekayaan datang
seperti patah hati ditinggalkan kekasih
: sembuhnya tak pernah instan!
kita mengeluarkan huruf i dari kata api
membakar pita cukai yang mahal
menertawakan harga beli tembakau
tangan pertama yang begitu murah
: piye kabare, asline enak jamane sopo?
kita mengenang pernah jadi pramuka
tetapi nyenyak di dalam quechua arpenaz
bangun pagi, cuci muka & minum kopi lagi
upload instastory pakai masker
takut virus berbahaya berkeliaran
di tengah rimba yang segera jadi kota
2022
Tercio De Muerte
1
betapa hidup yang sudah malang
harus merasakan penderitaan
panjang & berulang-ulang
seolah ada lenguh banteng
napas yang mendengus-dengus
siap sedia mengejek
& menertawakan
nasib kita yang sendirian
perlahan masuk & berjalan
ke tengah-tengah gelanggang
2
namun sesekali hidupmu warna merah
meski cuma logo tempelan
sepasang pintu depan ambulans
warna sirene mobil damkar
harus pasrah di tengah kemacetan
atau gagahnya lampu lalu lintas
dipaksa kehilangan wibawa
menghadapi rombongan mercy s600
presiden yang kebelet pulang
3
belajar menerima hidup yang merah
kita berkelebat sebagai bendera
di tangan seorang torero
pada pertarungan adu banteng
mengingat-ingat lagi bentuk tanduk
mengenang seluruh rasa sakit
& bau zaitun dari dengus napas itu
meski kekejaman bukan budaya kita
kelak harus ada kematian
di tengah-tengah gelanggang
2022
Gilang Perdana. Lahir di Solo, Tahun 1987. Lulusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret. Sekarang bekerja sebagai auditor di pabrik mainan. Instagramnya: @narasibulanmerah
One Comment