Menjinakkan Kebisingan
Jalanan adalah bising kehidupan; ia dengarkan selalu dari balik kemudi. Bunyi klakson dan derum kendaraan. Suara gitar dan nyanyian sumbang di perempatan. Penjaja makanan di bantaran kali hitam. Riuh pesta dan konser artis idola.
Seorang penumpang datang. Ia bawa menembus hiruk-pikuk bulevar kota. Papan reklame berisi petisi penolakan dan cetak biru ibukota baru. Barikade mahasiswa yang menolak tiga periode. Berita invasi dan pemboikotan konferensi ekonomi.
“Banyak yang terjadi hari ini, ya.”
“Ya, banyak yang terjadi hari ini.”
Kepalanya adalah kebisingan lain. Berita kenaikan pajak dan harga gas-minyak. Kebutuhan membengkak. Belum uang sekolah dan sewa rumah. Tarif ojol yang terpangkas. Keluhan dan tuntutan keluarga yang tak juga tuntas.
“Bagaimana kondisi negeri ini menurut Anda?”
Kebisingan adalah hewan yang mesti dijinakkan dengan kewarasan sebagai taruhan. Singa, lumba-lumba, anak ayam. Demo massa, demo mahasiswa, demo keluarga. Ia pandangi para pawang singa di luar sana seraya berkata,
“Masih bising dan akan selalu bising. Tapi saya lebih memilih menjinakkan kebisingan dalam kepala saya.”
Ponorogo, 7 Mei 2022
Devin Elysia Dhywinanda lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001, dan sekarang merupakan mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga. Ia telah beberapa kali menerbitkan antologi puisi dan cerpen. Beberapa antologi puisinya adalah Andai Dunia seperti Perahu Nuh (Kekata Publisher, 2017), Mamihlapinatapai (Penerbit J-Maestro, 2018), November yang Berharga (Poetry Publisher, 2019), serta Memori dan Rasa (Setia Mediaa, 2019).
Baca Juga: Puisi Dormauli Justina
Puisi ini diikutsertakan dalam lomba menulis puisi. Silakan kirimkan karyamu!