Pantai Lampuuk

Mengenang Keseruan Perjalanan ke Aceh

Dua tahun lalu, untuk kali pertama, aku menginjakkan kaki ke Tanah Rencong. Malam ini, karena membuka Explorer, tanpa sengaja aku menemukan foto-foto perjalanan ke Aceh dan mau tak mau aku mengenang keseruan perjalanan tersebut.

Sebagian catatan perjalanan sudah kutuliskan. Di antaranya adalah perjalanan ke Air Terjun Suhoom Lhoong di Aceh Besar.


Baca: Indahnya Air Terjun Suhoom Lhoong


Selain itu, Museum Tsunami Aceh juga menjadi catatan spesial karena membuatku bergidik membayangkan fenomena alam sedemikian dahsyat pernah merenggut nyawa banyak orang.

Baca: Jalan-jalan ke Museum Tsunami Aceh


Nah, beberapa catatan penting dalam perjalanan itu belum sempat kutuliskan.

Kedatanganku ke Aceh sebenarnya untuk menjadi narasumber pelatihan menulis ilmiah populer. Hari pertama ke Aceh, rekanku mengajak mencari kopi dan mi aceh. Pertama, aku tak begitu suka kopi. Soal mi aceh, hmm, doyan sih, tapi tidak terlalu menggilai.

Hari pertama, sore hari, kami menyempatkan makan mi aceh. Minum yang kupesan, es timun.

Mi Aceh

Hari kedua (Selasa) sampai Jumat, aku mengajar. Tidak banyak aktivitas yang kulakukan di luar selain tidur di hotel. Hotel yang kutempati bukan hotel modern, melainkan hotel mekah, yang dimiliki oleh orang lokal. Memang beda sih selera generasi milenial dengan selera orang tua. Tapi ya disyukuri sudah dipesankan hotel.

Kejadian yang cukup membuatku merasa bersalah adalah manakala Pak Kepala Kanwil dan rombongan mengajak makan malam. Pada dasarnya, aku tak bisa berlama-lama berada di ruangan terbuka pada malam hari. Namun, budaya di Aceh, ngopi dan ngobrol itu ya lumayan lama. Sayangnya, aku tak tidak suka ngopi, dan aku alergi rokok. Jadi, tindakanku agak kurang enak dilihat pada malam itu.

Aku lupa pada hari apa, ada jam mengajar yang selesai pada pukul tiga. Waktu yang tersisa kumanfaatkan dengan pergi ke pantai. Namanya Pantai Lampuuk.

Pantai Lampuuk

Pantai Lampuuk terletak di Lhok Nga, Aceh Besar. Pantai ini menjadi saksi utama dahsyatnya gelombang tsunami pada 2004 silam. Ombak besar itu menerjang pantai dan menghancurkan penduduk sekitar. Rumah-rumah hacur diempas gelombang. Lebih dari separuh penduduk Lhok Nga meninggal dunia karenanya.

Pantai dengan hamparan pasir putih yang indah ini butuh waktu untuk pulih seperti semula. Dulu, di sini banyak orang berselancar. Pas saya ke sana, tidak ada yang berselancar. Hanya ada beberapa orang yang berani bermain ombak. Saya tidak. Mendengar cerita tentang gelombang datang dari sini, saya hanya bermain air di pinggir-pinggir saja.

Sebenarnya, di dekat sini ada konservasi penyu juga lho. Garis pantainya yang panjang, sayangnya membuat saya yang kurang punya waktu tidak bisa menjelajahinya dari ujung ke ujung. Barangkali suatu hari nanti.


Setelah jadwal mengajar selesai, saya sengaja tidak langsung pulang. Saya beli tiket penerbangan sesudah Maghrib biar bisa jalan-jalan. Teman saya Chichi dan Farid yang menjadi pemandungnya. Karena itulah saya sempat ke Museum Tsunami Aceh dan Air Terjun Suhoom Lhoong. Selain kedua tempat itu, saya diajak menyaksikan saksi bisu fenomena alam di Aceh yakni PLTD Apung dan Masjid Baiturrahman Aceh.

PLTD Apung

PLTD APUNG PLTD Apung 1 tepatnya, ialah kapal generator listrik milik PLN di laut Banda Aceh. Pada saat tsunami terjadi, kapal dengan luas 1900 km persegi dan panjang mencapai 63 meter ini terbawa gelombang hingga ke daratan.

Kapal Apung ini beratnya kurang lebh 2600 ton. Sebelumnya ia berada di area penyebrangan Ulee Lheuh sebelum terseret sejauh 2,4 kilometer ke Punge Blang Cut, Jaya Baru.

Tak sedikit korban yang meninggal akibat tertindih oleh kapal ini. Makanya, kalau kalian ke sini, pasti bulu kuduk kalian akan bergidik karena korban yang tertimpa kapal itu tentu tak bisa dievakuasi.

Masjid Raya Baiturrahman Aceh

Salah satu video yang masyarakat Indonesia ingat adalah ketika tsunami terjadi, sejumlah orang menyelamatkan diri ke Masjid Raya Baiturrahman Aceh. Dari posisi yang cukup tinggi video itu direkam, memperlihatkan air menghanyutkan apa saja yang di depannya, dari reruntuhan bangunan, kendaraan, maupun manusia.

Masjid ini adalah landmark Banda Aceh yang menjadi simbol agama, budaya, semangat, kekuatan dan perjuangan, serta nasionalisme rakyat Aceh.

Diarsiteki oleh Gerrit Bruins dengan gaya Mughal masjid ini memiiki 7 kubah dan 8 menara. Masjid ini penuh nilai sejarah lho.

Kalau kamu ke Aceh, sempatkanlah ke masjid raya ini. M asjidnya indah sekali. Tapi jangan cuma foto-foto. Salat juga dong.


Itulah catatan perjalananku selama di Aceh. Barangkali lain waktu bisa kembali mengunjungi Serambi Mekah dan mampu mengeksplorasi lebih banyak lagi, dan mencapai Sabang,  Amin.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *