Jalan-jalan ke Museum Tsunami Aceh

Akhir 2017 lalu, saya berkesempatan mengunjungi Aceh. Satu tempat yang tak ingin saya lewatkan adalah Museum Tsunami Aceh.

Tiga belas tahun berlalu sejak bencana mahadahsyat yang menewaskan banyak nyawa itu. Saya bersama seorang kawan yang mengalami bencana itu. Saat tsunami terjadi, ia berada di rumah yang letaknya cukup jauh dari bibir pantai. Untungnya, rumahnya 2 lantai. Ia menyaksikan air ibarat pasukan yang maju menerjang bersama entah berapa kubik barang-barang terbawa arus. Untung ia di dalam rumah sehingga ia tak harus merasakan terantuk barang-barang yang terbawa arus itu. Ia menggigil dan ketakutan melihat apa yang tengah terjadi kala itu.

Museum Tsunami Aceh ini yang kutahu adalah hasil rancangan Ridwan Kamil. Meski kini terkenal sebagai wali kota Bandung yang sudah menjadi calon Gubernur Jawa Barat, banyak yang tidak tahu kalau Museum Tsunami Aceh adalah karya beliau. Ridwan Kamil adalah arsitektur terkemuka di republik ini. Ia juga merupakan seorang dosen jurusan arsitektur di ITB. Ridwan Kamil berhasil memenangkan ‘Sayembara Merancang Museum Tsunami Aceh’ yang diselenggarakan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias pada 17 Agustus 2007.

Museum Tsunami Aceh mulai terbuka untuk umum pada 8 Mei 2009. Desainnya unik, dan memiliki dua makna. Bila dilihat, atap Museum Tsunami Aceh terlihat seperti gelombang laut yang merefleksikan gelombang tsunami. Namun, bila dilihat dari samping, museum ini tampak mirip dengan kapal penyelamat yang memiliki geladak yang luas sebagai ruang pelarian.

Begitu masuk, kita menemui lorong gelap seolah-olah memasuki lorong gelap gelombang tsunami dengan ketinggian 40 meter dengan efek air jatuh. Agak basah sedikit, tapi tidak apa-apa. Kecuali bagi yang takut gelap dan masih phobia dengan tsunami, tidak disarankan untuk masuk dari jalur ini. Setelah melewati tempat ini, puluhan standing screen menyajikan foto-foto pasca tsunami berupa kerusakan dan kehancuran serta kematian, yang penuh dengan gambar korban dan gambar pertolongan terhadap mereka.

Sumur Doa di Museum Tsunami Aceh

Setelah itui, kita akan memasuki “Ruang Penentuan Nasib” atau “Fighting Room”, sering disebut juga The Light of God. Ruangan ini berbentuk seperti cerobong semi-gelap dengan tulisan Allah pada bagian puncak. Hal ini merefleksikan perjuangan para korban tsunami. Nama-nama mereka yang menjadi korban terpatri di dinding cerobong sebagai korban. Sebaliknya, bagi mereka yang merasa masih ada harapan, terus berjuang seraya mengharapkan belas kasih dari Yang Maha Menolong. Begitu mereka yakin akan adanya pertolongan Allah, maka mereka seakan seperti mendengar adanya panggilan ilahi dan terus berjuang hingga selamat keluar dari gelombang tersebut.Tempat ini juga ada yang menyebutnya sebagai “Sumur Doa”.

Jembatan Harapan

Keluar dari ruangan ini, kita akan bertemu dengan Jembatan Harapan (Hope Bridge). Di atas jembatan ini, kita akan melihat bendera 52 negara, yang telah mengulurkan bantuan untuk para korban. Melalui jembatan ini, seperti melewati air tsunami menuju ke tempat yang lebih tinggi.

Setelah itu, kita akan melihat banyak foto dan artefak tsunami. Ada jam berdiri besar yang mati saat waktu menunjukkan pukul 8.17 menit atau foto jam Mesjid Raya Baiturrahman yang jatuh dan mati juga pada saat tersebut. Artefak lainnya ialah miniatur-miniatur tentang tsunami. Misal, orang-orang yang sedang menangkap ikan di laut dan berlarian menyelamatkan diri saat gelombang melebihi tinggi pohon kelapa menerjang mereka. atau bangunan-bangunan rumah yang porak-poranda oleh gempa sebelum datang air bah menyapu bersih.

Naik ke lantai tiga, di sana terdapat bermacam-macam sarana pengetahuan gempa dan tsunami berbasis iptek. Dia ntaranya sejarah dan potensi tsunami di seluruh titik bumi, simulasi meletusnya gunung api di seluruh Indonesia, simulasi gempa yang bisa disetel seberapa skala richtel yang kita mau.

Di lantai bawah, seharusnya ada kolam yang berisi ikan. Namun, saat saya ke sana, kolam itu tak berisi air sama sekali.

Saya sempat duduk di jembatan harapan sambil memandangi kolam kosong itu. Saya membayangkan jika saya adalah korban tsunami. Pasti rasanya pedih sekali. Lebih pedih dari tidak punya sinyal internet. Bila tidak punya sinyal internet, kita bisa sewa modem gratis di Iziroam misalnya. Tapi dalam keadaan terseret arus, kepada siapa kita berharap? Hanya kepada Allah.

Salah satu bendera di atas jembatan adalah bendera Jepang. Entah kapan aku bisa pergi ke Jepang, negara yang ada dalam list salah satu negara yang harus kukunjungi. Di sana pasti sudah bisa Rental Wifi Jepang atau Rental modem Jepang atau Rental Modem Wifi Jepang. Tapi entah bagaimana orang-orang di negara yang sering tsunami itu bisa menghubungkan diri ke Tuhan?

 

(2018)

 

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *