Joker

Joker, Pandeglang, dan Identitas Moral

 

Saya bersorak, bertepuk tangan, tatkala Joker menembak Murray pas di kepalanya. Apakah saya tidak bermoral?

Sempat saya tulis di Twitter bahwa karya seni tidak usah diidentikkan dengan moralitas. Lalu apa yang menjadi keutamaan sebuah cerita (dan film)? Jawabannya adalah ironi.

Saya meyakini, cerita yang baik adalah yang memuat ironi dan menyajikannya dengan cara yang luar biasa. Parasite melakukan itu. Joker juga. Ironi merasuk ke setiap penokohannya. Ketika kita terbuai dengan ironi itu, maka moralitas adalah sesuatu yang ambigu.

Saya teringat sebuah lelucon, “Dosa apa yang paling dicintai oleh Tuhan?”

Jawabannya, “Memperkosa anak setan.”

Dari sudut pandang moral yang baku, keduanya tidak bisa dibenarkan. Namun, pada kenyataannya banyak orang bersorak dengan kehadiran “Vigilante” macam Robin Hood dan City Hunter yang mencuri dari mereka yang “corrupt” dan bukan “orang baik”. Dan kali ini Joker berhasil mencuri perhatian yang sama secara ekstrem, membuat banyak orang menyadari ironi yang hadir di dalam kehidupannya.

Saat Joker masih tayang, di Pandeglang kita menyimak soal penusukan. Lalu tidak sedikit orang yang seperti bersorak, bertepuk tangan, menduga-duga itu semacam konspirasi, dan semacamnya… seperti orang-orang yang mendukung Joker melakukan itu.

Apakah mereka tidak bermoral? Apakah mereka politis?

Bodoh sekali rasanya jika kita menjustifikasi hal semacam itu. Buat saya, mereka hanya melihat ironi. Ya, ironi adalah ironi. Ironi tidaklah politis (dalam kacamata praktis). Seperti yang Joker bilang ke Murray, “I’m no political, Murray!”

Tidak bermoral? Ah, saya jadi teringat satu episode “It’s Okay That’s Love” yang dibintangi Jo In Sung dan Ging Hyo Jin. Saat In Sung yang memerankan tokoh penulis bertemu Hyo Jin, Sang Psikiater di sebuah Talk Show, ia mengatakan bahwa ciri psikopat ada di dalam diri setiap menusia. Ia bertanya kepada penonton di studio, “Siapa yang pernah memiliki pikiran untuk membunuh orang lain?” Lalu hampir semua penonton mengangkat tangan.

Hyo Jin tidak kalah cerdik. Dia ikut bertanya, “Kalian yang pernah punya pikiran membunuh, apakah memang melakukannya atau ingin membunuhnya betulan?”

Lalu, tidak seorang pun yang mengangkat tangan.

Ada perbedaan besar antara hadirnya “pikiran ingin membunuh” seperti misalnya dalam hal Pandeglang, “Ah, kenapa kok pisaunya kecil sekali.” dengan benar-benar merencanakan pembunuhan. Dan itu normal karena Anda semua menyadari sebuah ironi.

Bahkan termasuk, bila suatu hari kita menyadari ada ironi di dalam diri kita sendiri!

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

One Comment

  1. Lagi keliling Twitter liat post ini. Setuju banget emang ironi film Joker tu yang paling melekat. Btw pendekatannya mas keren mas. Sukses selalu ?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *