Jembatan Mirabeau Milik Treasury

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Artikel Hari Bakti Perbendaharaan ke-19 dengan tema Regional Chief Economist (RCE).

Setiap mengenang Apollinaire, aku akan teringat pada puisinya yang berjudul Jembatan Mirabeau. Sekilas, kita akan dibawa ke suasana yang ada di jembatan yang membentang di atas sungai Seine tersebut. Sungai ini juga menjadi salah satu jalur lalu lintas air komersial yang paling diminati oleh para wisatawan untuk menikmati keindahan kota Paris di Prancis.

Romantisme Prancis dan keterpisahan Apollinaire itu, bolehlah menyeret kita pada pengetahuan mengenai Francophone Treasury dengan ciri pemisahan kewenangan antara comptabel dan ordonnateuror, serta sentralisasi dana. Meski dalam isu itu, ada perbedaan besar karena Indonesia memiliki konsep otonomi daerah dengan desentralisasi fiskalnya.

Bagi awam, konsep tersebut mendegradasi definisi Keuangan Negara, dengan seolah-olah terpisah dari Keuangan Daerah. Yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat adalah melakukan transfer dana yang ideal ke daerah, setelah itu sudah, biarlah menjadi tanggung jawab dan kewenangan daerah. Tak perlu lagi ikut campur.

Tentu saja pandangan tersebut keliru. Tegas di dalam Pasal 2 Undang-undang 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan implikasinya di dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-undang 15 tahun 2004 soal pemeriksaan oleh BPK, bahwa ruang lingkup Keuangan Negara mencakup APBN, APBD, dan bahkan BUMN serta BUMD. Dan dalam upaya untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, maka melalui Undang-Undang (UU) RI No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang kemudian diganti dengan UU No. 32 tahun 2004) dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat (yang kemudian direvisi dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah), pemerintah memberikan amanat kepada daerah untuk melaksanakan pemerintahan di daerah secara mandiri dan bertanggung jawab.

‘Selat’ yang terbentang di antara ‘pulau-pulau’ itulah yang bukan hanya membutuhkan kapal untuk menyeberanginya, melainkan jembatan laiknya Mirabeau yang mempercepat orang-orang melewati Seine.

Jembatan-jembatan itu adalah tangan Menteri Keuangan yang punya peran sebagai pengelola fiskal dan sekaligus Bendahara Umum Negara. Dan frasa Kantor Wilayah Ditjen Perbendaharaan sebagai representasi Menteri Keuangan di daerah menjadi tampah yang menampung tanggung jawab itu.

Langkah Kanwil DJPb dalam menginterpretasikan peran tersebut termaktub dalam konsep Regional Chief Economist. Ada angan-angan panjang di sana. Revolusi peran yang lebih sentral di daerah harus dimainkan oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan.

Beberapa tahun lalu, kita pernah bangga karena mampu menyajikan data bagaimana penerimaan dan pengeluaran dilihat secara riil time lewat dashboard MPN G2. Tentu saja, tuntutan kini lebih tinggi dan Regional Chief Economist (RCE) diminta mengembangkan sesuatu yang lebih dari itu, dengan mampu menyajikan data dalam level yang lebih detail. Misalnya, 10 Agustus 2021 lalu, Menteri Keuangan meminta DJPb dapat melaporkan secara harian penyerapan anggaran bukan hanya dalam penyerapan oleh Kementerian/Lembaga, tetapi juga TKDD dan dana PEN. Ya, mulai tahun 2021, Kanwil Ditjen Perbendaharaan mulai mengambil tantangan baru sebagai Regional Chief Economist (RCE). Chief economist didefinisikan sebagai posisi yang memiliki tanggung jawab utama untuk pengembangan, koordinasi, dengan ruang lingkup tanggung jawab yang meliputi perencanaan, pengawasan,dan penyebaran informasi, dan koordinasi penelitian ekonomi.

Peran RCE harusnya mampu mengakomodasi jauh lebih baik dari itu. Tidak hanya uang yang keluar, tetapi juga uang yang masuk. Sehingga akan diketahui, surplus/defisit harian per wilayah yang akan berguna dalam pengelolaan kas dan pengambilan kebijakan baik secara khusus di daerah tersebut maupun secara nasional. Dalam konteks makro, data ini pun berguna untuk analisis inflasi misalnya. Ketika RCE mengetahui dana total yang digelontorkan pemerintah besar, mengakibatkan jumlah uang yang beredar juga besar, risiko inflasi akan terjadi. RCE akan memanggil KPPN sebagai kuasa BUN di daerah untuk mengatur pengeluarannya agar lebih proporsional. Di sini kepemimpinan RCE (dan KPPN) akan diuji dalam menciptakan keseimbangan penyerapan anggaran. Bisa jadi, hal ini akan mengubah proses bisnis yang sudah ada dalam pencairan anggaran, dengan menajamkan peran bendahara (yang tidak cuma sebagai kasir, tetapi punya kuasa dalam ‘menahan’ uang keluar ketika kondisi tidak kondusif).

Tantangan dalam pengelolaan kas ini juga menyangkut soal idle cash di daerah. Hal ini adalah permasalahan klasik di sejumlah daerah. Salah satu akar masalahnya memang penyerapan anggaran daerah yang lamban. Penyerapan ini akan melonjak menjelang akhir tahun anggaran.

Kadangkala ada persepsi bahwa yang yang mengendap tersebut adalah buah dari penghematan anggaran. Miskonsepsi ini terjadi disengaja untuk menutupi masalah. Realisasi anggaran yang lebih kecil dari yang direncanakan memang bukan masalah apabila semua program dan kegiatan pemerintah tetap dilaksanakan dengan output dan kualitas sesuai target. Hanya saja, penggunaan anggaran yang tidak maksimal itu kerap terjadi karena belum terlaksananya kegiatan. Padahal apa-apa yang sudah tercantum dalam anggaran itu adalah janji Pemerintah yang seyogianya harus dilaksanakan. Bahkan sisa dana akibat penghematan pun harus dipergunakan untuk kegiatan lain.

Hal ini ada hubungannya dengan konsep pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menurut pengeluaran memiliki unsur G alias pengeluaran pemerintah. Kasarnya, semakin besar pengeluaran pemerintah semakin besar pula pertumbuhan ekonominya.

Hal di atas belum cukup karena isu berikutnya adalah tentang kualitas pertumbuhan ekonomi yang turut dipengaruhi oleh kualitas belanja. Belanja yang berkualitas salah satunya dilihat dari waktu penyerapan anggaran yang proporsional.

Salah satu hal yang ingin diketahui banyak peneliti adalah tentang kontribusi pengeluaran pemerintah ke pertumbuhan ekonomi tahun berjalan. Sayangnya, dari sisi waktu penyerapan, hal ini sulit dilihat. Waktu penyerapan sangat tidak ideal karena 6 bulan pertama tahun berjalan penyerapan sangat rendah.

RCE diharapkan dapat mengambil peran di sana. Dari sisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), penyerapannya lebih mampu terkontrol dengan berbagai upaya yang sudah dilakukan. Komunikasi antara KPPN dengan satuan kerja relatif sudah terbangun dengan baik. Dalam satu dekade terakhir kita dapat melihat perbaikan itu dari sisi penyerapan hingga ke perencanaan kas yang semakin akurat. Hal ini membantu pengelolaan kas Pemerintah menjadi lebih tajam. Hal yang sama diharapkan terjadi pula pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Padahal pengelolaan keuangan daerah memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan secara berkelanjutan. Seperti halnya pengelolaan keuangan APBN, melalui pengelolan keuangan daerah terutama pengelolaan kas daerah yang efektif dan efisien diharapkan mampu meraih kesempatan dan menciptakan peluan-peluang dalam upaya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Dengan PAD yang semakin tinggi, maka daerah mampu memperlebar ruang fiskal nya guna menciptakan pembangunan yang lebih baik.

Kecepatan dan ketepatan lalu lintas data oleh RCE ini juga akan bisa meminimalisasi masalah seperti yang terjadi baru-baru ini. Protes seorang kepala daerah dengan cepat akan mampu dijawab dengan data yang valid, dan bahkan tidak perlu terjadi. Sebab, penguatan kerja sama dengan Pemda menjadi keniscayaan. Ditambah pula salah satu strategi penguatan peran RCE adalah harmonisasi kelembagaan yang salah satunya dengan akademisi. Friksi yang timbul akibat perbedaan pandangan cukup diselesaikan dalam forum di daerah.

Klaster strategi lain yang menjadi pokok dalam bahasan ini tidak lain adalah penajaman Kajian Fiskal Regional. Produk inilah yang dapat di kedepankan secara ilmiah dalam forum-forum bersama akademisi dan pihak lain yang berkepentingan.

Ketika Kajian Fiskal Regional dilahirkan, produknya berupa analisis-analisis serupa yang dibuat oleh Bank Indonesia maupun Badan Pusat Statistik. Lebih lengkapnya, kajian ini berisi analisis fiskal dan makroekonomi yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan kebijakan fiskal. Dalam penyusunannya, KFR melibatkan pengolahan dan analisis atas sederetan data seperti data statistik regional, dana moneter regional, data penerimaan pajak regional, data penerimaan bea dan cukai regional, data belanja negara baik belanja K/L maupun Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), data keuangan daerah baik dari pemerintah daerah, aplikasi Sistem Informasi Keuangan Republik Indonesia (SIKRI), dan/ atau aplikasi lainnya.

Dalam perjalanannya, analisisnya pun berkembang seiring kritik bahwa kajian yang dibuat lama setelah kejadian berlangsung tidak berdampak banyak pada proses pembuatan kebijakan. Inilah sebabnya KFR yang tadinya tahunan menjadi triwulanan. Pemampatan periodisasi kajian dibuat agar ada dampak yang lebih baik.

Namun periodisasi ini dituntut lebih cepat lagi. Percepatan penyusunan KFR diharapkan dilakukan tanpa harus menunggu data rilis resmi dengan mampu melakukan proyeksi/outlook atas data tersebut dengan mengutamakan identifikasi analisis permasalahan dan solusi. Data yang ada tidak cuma dideskripsikan tetapi mampu dilakukan analisis terhadap data tersebut.

Hal penting lain terkait penajaman Kajian Fiskal Regional adalah mengenai blok analisis kajiankajian, termasuk analisis tematik.

Analisis tematik adalah metode untuk menganalisis data kualitatif yang melibatkan pembacaan melalui sekumpulan data dan mencari pola makna data untuk menemukan tema. Ini adalah proses refleksivitas aktif di mana pengalaman subjektif peneliti berada di pusat pemahaman data. Analisis tematik adalah tipikal dalam penelitian kualitatif. Ini menekankan mengidentifikasi, menganalisis, dan menafsirkan pola data kualitatif.

Dari definisi tersebut, ada satu pekerjaan rumah Ditjen Perbendaharaan yakni mengenai kualitas sumber daya manusia. Penyiapan sumber daya manusia yang mampu melakukan analisis tematik dalam penelitian kualitatif menjadi keharusan karena kualitas kajian akan sangat tergantung pada pengalaman subjektif SDM tersebut dalam menafsirkan pola data.

Jika benar-benar ingin merengkuh peran sebagai RCE ini maka Ditjen Perbendaharaan harus becermin sebagai organisasi pembelajar. Kabar baiknya itu disadari dengan hadirnya lokasi-lokasi learning center untuk terus menaikkan kapasitas insan perbendaharaan.

Tidak mudah sukses sebagai RCE sebagaimana tidak mudah membangun jembatan. Ada sungai, ada selat yang harus dipahami. Ada biaya yang harus dikuantifikasi. Ada tenaga kerja yang harus bertahan menghadapi segala cuaca.

Namun berapa sulitnya itu semua, kenyataan membuktikan bahwa Jembatan Mirabeau terbangun dengan indah. Jembatan-jembatan lain juga semakin menantang medan yang kian sukar dan berhasil dibangun. Ditjen Perbendaharaan berani memulai, menjejakkan langkah sebagai Regional Chief Economist dan karena itu langkah ini akan sampai ke tujuannya. Analisis RCE ini yang akan menginisiasi berbagai inovasi dalam pengelolaan keuangan negara dan memberikan solusi atas setiap permasalahan yang ada.

Sambil mengingat kembali puisi Apollinaire yang menginspirasi penyair lain, salah satunya penyair Indonesia, Agus Sarjono:

Di bawah jembatan Mirabeau, melaju sungai Seini
juga Bengawan Solo di batinku yang rusuh
penuh mayat yang terapung dan mengalir
sampai jauh, bersama darah
yang tak putus-putus tumpah di banyak tempat dan peristiwa.
Amisnya tercium sampai kemari.

(1999)

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *