Konsumen menang lagi. Kasus mengenai mainan tidak ber-SNI yang dilarang masuk ke Indonesia oleh petugas Bea Cukai akhirnya menemukan titik terang. Perdebatan mengenai tidak jelasnya definisi importir akhirnya menemukan kesepakatan bahwa bila jumlah barang tidak melebihi 5 buah, maka si pembawa bukanlah importir dan tidak bisa ditolak.
Ini adalah kali kedua dalam waktu belakangan konsumen menang dalam hal barang dari luar negeri. Sebelumnya, Eka Kurniawan, penulis Indonesia paling menginternasional saat ini, menggugat kebijakan oknum bea cukai yang mengenakan tarif untuk bukti terbit bukunya yang diterjemahkan ke berbagai bahasa di berbagai negara. Lucunya, harga untuk buku yang gratis itu (karena bukti terbit) dikenakan jauh lebih mahal dari harga jualnya.
Sengaja saya katakan menang dengan huruf miring, karena bila sang oknum petugas memahami peraturan secara menyeluruh, kasus-kasus itu tak akan terjadi. Permintaan sang petugas untuk melabeli mainan dengan sertifikat SNI dengan mudah bisa dibantah karena tidak ada SNI untuk perorangan. Adanya SNI untuk badan usaha.
Tegas, Tapi Tetap Terbuka
Saya pernah berada di garis depan pelayanan. Sebagai front officer Pencairan Dana APBN. Artinya, segala permintaan membayar kantor-kantor pemerintah, harus melalui persetujuan saya terlebih dahulu. Ngeri? Iya. Pegangannya adalah peraturan. Sebab, bila tidak sesuai peraturan, lalu terjadi kerugian negara, itulah yang dinamakan korupsi.
Sebuah peraturan tidak mungkin berdiri sendiri. Ia saling terkait dengan peraturan lain. Berhadapan dengan customer, kita harus sangat memahami peraturan itu. Tak jarang kita akan dihadapkan pada kondisi perdebatan mengenai peraturan. Tinggal cari mana yang lebih sahih.
Keterkaitan itu misalnya, ada pada cara mengisi NPWP di lembar SSP. Tidak ada aturan yang mendetail mengenai itu bila hanya merujuk ke peraturan pencairan dana. Jika rekanan berbentuk CV, bolehkah SSP ditulis menggunakan NPWP Pribadi?
Logika kita harus bermain. Apakah definisi CV? CV adalah persekutuan komanditer, Persekutuan berarti tidak 1 orang. Sehingga tidak logis apabila CV menggunakan NPWP Pribadi. Dia harus NPWP badan. Berbeda dengan UD (Usaha Dagang) yang bisa dimiliki perorangan. Maka, ia boleh pakai NPWP Orang Pribadi.
Ketegasan dan keterbukaan itu juga berarti membutuhkan dukungan dari komunitas. Maksudnya, jangan pernah ragu untuk berkonsultasi ke sesama rekan kerja. Jika perdebatan terjadi sengit, kita perlu mencari perspektif yang lebih mendalam terhadap suatu peraturan. Yak, ada akses ke pembuat peraturan. Ada HAI DJPb misalnya. Di sana kita bisa bertanya untuk lebih yakin.
Kasus Pajak Lain
Baru-baru ini, saya ditelepon keluarga di kampung. Keluarga adalah petani sawit dan karet. Banyak petani memebentuk kelompok tani. Kelompok tani itu bergabung dengan kelompok tani lain membentuk badan usaha berupa CV dengan manajemen tersendiri.
CV ini akan membeli hasil sawit dan karet (buah dan getah) dari kelompok taninya sendiri, juga dari kelompok tani lain dari daerah-daerah yang jauh. Setelah itu, CV akan menjualnya ke pabrik. Status CV di sini adalah pedagang perantara. Dalam SIUP diterakan perdagangan nasional.
Masalahnya, seorang AR (Account Representative) Pajak datang memberitahukan bahwa CV ini memiliki kewajiban pajak yang belum dibayar. Nilainya besar. Dasarnya adalah PMK 34 pasal 1 ayat 1.i. Intinya begini, si AR memiliki justifikasi bahwa CV harus memungut pajak dari barang yang dibelinya.
CV selama ini telah membayar pajak dari barang yang ia jual ke pabrik. Tentu selama ini, CV tidak pernah memperhitungkan pajak ke dalam pembeliannya. Marjin yang ditetapkan biasanya tidak lebih dari 10% belum memperhitungkan susut getah dan risiko lain. Kalau pajak 2,5% dibayarkan, tentu, untung CV ini tergerus semua. Parahnya lagi, aturan perpajakan sesuai dengan putusan MK ini berlaku surut 5 tahun. AR tesebut memaksa CV membayar kewajiban pajak tahun 2016 (beroperasi normal 2016).
Dari sini saja sebenarnya tecermin sebuah prinsip ketidakadilan bagi CV tersebut. Bayangkan jika keuntungannya dalam tahun berjalan habis buat bayar pajak.
Setelah dibaca lebih jauh, ternyata ketidakadilan itu tidak ada di peraturan. Ini hanyalah kesalahan persepsi oknum, apapun motifnya (kedangkalan berpikir, keinginan mengejar target, atau iseng doang). Pasal 1 ayat i dalam PMK tersebut menulis subjek pajaknya adalah industri atau eksportir. Sedangkan, jelas menurut SIUP, CV ini adalah perdagangan dalam negeri.
Sudah jelas bahwa CV ini adalah pedagang, bukan industri apalagi eksportir. Bila ingin berdebat lebih jauh, kita perlu definisikan apa itu industri atau eksportir. Industri adalah bidang yang menggunakan ketrampilan, dan ketekunan kerja (bahasa Inggris: industrious) dan penggunaan alat-alat di bidang pengolahan hasil-hasil bumi, dan distribusinya sebagai dasarnya. … Industri barang merupakan usaha mengolah bahan mentah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Industri juga nisaberarti ada perubahan dari produk A menjadi produk B. Ada nilai tambah di sana. Misal, beli buah sawit, diolah menjadi minyak sawit. Ini industri. Sedangkan eksportir jelas, ada barang dikirim ke luar negeri. Dalam hal ini, pabrik yang menjadi tujuan CV untuk menjual barang memenuhi definisi tersebut. Makanya, si pabrik memungut pajak langsung dari CV. Sedangkan ini pedagang, bukan industri jadi maupun setengah jadi.
Saya kemudian bertanya ke teman saya sesama D4 yang pernah jadi AR dan sekarang di kantor pusat. Jawabannya sama dengan saya. Menurutnya, memang ada surat ke semua pedagang pengumpul (pedagang perantara) yang sifatnya imbauan untuk konfirmasi data. Mereka yang tidak termasuk industri atau eksportir dapat mengonfirmasikan hal itu dengan menunjukkan SIUP. Saya pun berbincang dengan seorang pengajar brevet, dan beliau berkata hal yang sama, CV tersebut bukan merupakan subjek pajak PMK 34 pasal 1 ayat 1.i.
Anehnya, si AR tetap keukeuh. Memaksa bayar. Saya katakan kepada saudara di kampung, segala pembicaraaan ke AR atau petugas pajak mulai hari ini harus direkam. Nama, foto, dll simpan juga. Biar kalau masih ngotot juga, tinggal kita viralkan!