Diktator Konstitusional dan Hukum Pengecualian | Jimly Asshiddiqie

DIKTATOR KONSTITUSIONAL DAN HUKUM PENGECUALIAN

Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.

PENDAHULUAN

            Di semua negara konstitusional modern, ketika merumuskan apa saja aturan-aturan dasar bernegara yang perlu dituangkan dalam satu naskah konstitusi sebagai kesepakatan tertinggi mengenai pola-pola yang diidealkan dalam hubungan (i) di antara sesama warga negara, (ii) antara warga negara dengan organ-organ atau jabatan-jabatan pemerintahan negara, dan (iii) antar organ, lembaga, atau jabatan-jabatan bernegara itu satu sama lain dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara, serta (iv) dalam hubungan antara negara dan warganegara dengan subjek hukum asing, baik dengan warga negara asing, dengan negara lain yang berkepentingan, atau dengan organisasi internasional lainnya, di dalam wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia. Pola-pola hubungan itu, selalu menekankan prinsip kebebasan dan kemerdekaan, prinsip keadilan dan kesetaraan, prinsip kesejahteraan, prinsip kerukunan, perdamaian dan solidaritas.

            Dalam struktur dan sistem ketatanegaraan yang bersifat domestik, biasanya selalu ada pengaturan mengenai pola-pola hubungan saling mengimbangi dan saling mengendalikan antar fungsi-fungsi kekuasaan negara (checks and balances) di antara antar organ-organ negara, prinsip-prinsip jaminan kebebasan dan hak asasi manusia, mekanisme pengambilan keputusan yang demokratis dan berdasar atas hukum dan konstitusi, sesuai dengan prinsip demokrasi dan negara hukum modern dengan menempatkan cabang kekuasaan kehakiman secara tersendiri sebagai kekuatan pengimbang dan pengendali yang bersifat independen. Jka kepentingan politik dan bisnis bersengketa, harus ada pihak ketiga yang diharapkan bersikap imparsial untuk memutus dengan keadilan. Jika cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif tidak menemukan solusi untuk keluar dari persengketaan, maka kekuasaan pengadilanlah yang dipercaya untuk memutuskan solusi yang berkeadilan.

            Namun, semua aturan-aturan konstitusional yang baik itu seringkali terbentur dengan kasus-kasus keadaan tidak normal yang sering terjadi dalam praktik. Misalnya, jika timbul perang atau terjadi konflik bersenjata di suatu negara, atau bencana alam di luar kuasa manusia, seperti banjir bandang, gelombang tsunami, angin badai, liquipaksi, gunung meletus, ataupun kebakaran hutan yang luas, yang merusak lingkungan sekitar, menghancurkan suatu pemukiman di banyak kota, menyebabkan timbulnya keadaan darurat yang memerlukan tindakan-tindakan pemerintahan yang cepat dan mendesak, yang seringkali harus dilakukan dengan menabrak dan menerobos segala aturan yang berlaku dalam keadaan normal, atau bahkan dengan cara melanggar aturan-aturan konstitusi itu sendiri. Karena itu, konstitusi modern di dunia biasanya memuat ketentuan yang khusus untuk menghadapi keadaan yang bersifat darurat seperti itu. Inilah yang biasa dinamakan sebagai “the state of emergency”.

Di dalamnya diatur pemberian kewenangan khusus dalam keadaan darurat (emergency powers) kepada presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan atau kepada otoritas konstitusional lainnya untuk (i) mendeklarasikan dan menetapkan berlakunya dan berakhirnya keadaan darurat itu, (ii) menerbitkan aturan-aturan yang bersifat sementara selama dalam keadaan darurat dengan menangguhkan pelbagai jaminan hak dan kebebasan, menangguhkan pelbagai proses penegakan hukum dan sebagainya, dan (iii) memerintahkan tindakan-tindakan pemerintahan yang dalam keadaan normal dapat dinilai melanggar undang-undang dalam rangka mengatasi dan memulihkan keadaan agar segera kembali menjadi normal serta melakukan tindakan penyelamatan untuk kepentingan seluruh penduduk.

Tujuan paling konservatif dengan pemberian kekuasaan darurat (emergency powers) ini tidak lain agar ancaman bahaya dapat diatasi sedemikian rupa sehingga keadaan negara dapat segera kembali pulih dengan sistem hukum yang normal kembali berfungsi. Menurut hasil studi John Ferejohn dan Paquale Pasquino,[1] tujuan konservatif demikian juga tercermin dalam kenyataan sejak zaman Romawi kuno bahwa pemerintahan eksekutif tidak diperbolehkan mengadakan perubahan sepihak secara permanen terhadap sistem hukum dan konstitusi, kecuali hanya untuk sementara waktu karena timbulnya keadaan darurat. Karena itu, dikatakan bahwa:

“Emergency powers, exercised in this conservative way, have long been thought to be a vital and, perhaps, even an essential component of a liberal constitutional—that is, a rights-protecting—government. They are the key to resolving the dilemma faced by such governments when they are under either external or internal attack.”

MODEL-MODEL KEKUASAAN DARURAT (Models of Emergency Power)

            Menurut John Ferejohn dan Pasquale Pasquino, ada tiga yang mereka sebut sebagai “models of emergency powers” dalam perkembangan sejarah, yaitu:

  1. Roman Dictatorship model;
  2. Neo-Roman Model of Constitutional Emergency Power) Konstitusi Weimar 1919 dan Konstitusi Perancis 1958); “Vested in the elected executive head of government).
  3. Legislative Model of Emergency Powers; the law of exception menurut John Ferejohn dan Pasquale Pasquino.

Pemerintahan darurat model Romawi menurut Ferejohn dan Pasquino ditemukan Kembali oleh para filosof modern seperti Nicollo Machiavelli, Baron de Montesquieu, dan J.J. Rousseau[2] dalam mengembangkan ide-ide modern tentang republic. Atas rujukan pengalaman dari pemerintahan darurat dari zaman Romawi itulah maka para perancang Konstitusi Weimar Jerman tahun 1919, dan Konstitusi Perancis tahun 1958 berkeyakinan mengenai pentingnya merumuskan pasal yang memberikan kekuasaan khusus kepada penguasa untuk menghadapi ancaman bahaya yang mendesak terhadap rezim atau terhadap eksistensi negara.

Roman Dictatorship” yang ditemukan kembali oleh para filosof modern yang menggambarkannya sebagai pemerintahan darurat (emergency powers) yang kekuasaannya diberikan oleh Senate yang terdiri atas 10 orang wakil rakyat kepada pejabat pemerintahan yang terdiri atas 2 orang Consuls untuk memegang kendali pemerintahan tertinggi dan termasuk untuk memegang komando atas kekuatan tentara (armies). Namun kekuasaan dalam keadaan darurat itu hanya diberikan untuk sementara waktu, yaitu hanya selama 6 bulan saja. Selain itu, seperti dikatakan oleh Sanford Levinson dan Jack M. Balkin, “The Roman dictatorship limited the time of the dictatorship and separated the institution that declared the emergency from the person who exercised power.”[3] Yang mendeklarasikan adalah Senate, dan yang memimpin pelaksanaannya adalah Consuls.

Selama masa 6 bulan itu, penguasa keadaan darurat memimpin pemerintahan dengan cara-cara yang di luar aturan yang biasa untuk maksud mengatasi semua ancaman bahaya sampai keadaan dapat dipulihkan kembali dan kehidupan berjalankan sebagaimana sebelumnya. Menurut Niccolo Machiavelli, dalam keadaan normal, kedudukan Senate Romawi memang sangat menentukan. Senate kota Romawi berwenang menerbitkan peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, dan bahkan efektif memimpin operasional pemerintahan dalam hal kedua Consuls sedang bepergian keluar kota. Ke-10 orang wakil rakyat itu bertanggungjawab kepada “popular assemblies”, dan setiap wakil rakyat itu mempunyai hak veto atas semua keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh Senate sebagai institusi yang pada awal sejarah pembentukannya beranggotakan 10 orang anggota yang mewakili warga kota Romawi, dan 2 orang Consuls yang ditetapkan oleh Senate untuk menjalankan tugas pemerintahan sehari-hari.[4]

Praktik lama di zaman Romawi itu menginspirasi para perumus konstitusi modern untuk mengadopsinya menjadi aturan formal dalam konstitusi negara modern. Seperti tergambar dalam buku popular karya Clinton Rossiter yang terbit pertama kali pada tahun 1948, “Constitutional Dictatorship: Crisis Government in the Modern Democracies[5], selama periode tahun 1919-1930an, dimana-mana terjadi perang dan konflik yang menyebabkan banyak negara demokrasi konstitusional harus menghadapi keadaan darurat yang harus direspon dengan pola-pola penelenggaraan kekuasaan secara tidak biasa. Dengan mempelajari pengalaman 4 negara modern yang penting di Eropa dan Amerika, yaitu Jerman, Perancis, Inggeris dan Amerika Serikat selama periode itu, Clinton Rossiter berkesimpulan bahwa “constitutional dictatorship” diperlukan sebagai faktor yang tidak terhindarkan dan menentukan untuk menjaga keberadaan negara demokrasi konstitusional. Bahkan dikatakan,  adalah merupakan kebenaran yang tidak terhindarkan bahwa   “No form of government can survive that excludes dictatorship when the life of the nation is at stake.” Apabila mengabaikan pentingnya ‘dictatorship’, tidak ada bentuk pemerintahan apapun yang dapat bertahan hidup ketika nyawanya bangsa sedang dipertaruhkan.[6]

Dalam keadaan darurat, pemerintahan demokrasi bahkan dapat menangguhkan pelbagai aturan konstitusi yang menjamin kebebasan dan hak asasi manusia, demi untuk keselamatan bangsa dan negara. Doktrin dan preseden putusan-putusan Mahkamah Agung sebelumnya, tidak dikenal adanya pengecualian yang memungkinkan kewenangan Presiden keadaan darurat dapat mengesampingkan atau menangguhkan berlakunya UUD. Namun, dengan menganalisis praktik-praktik selama Civil War di Amerika Serikat, Perang Dunia I, Depresi, dan Perang Dunia II, ia berargumen bahwa “when the normal rules are not sufficient, other rules take hold”. Manakala hukum yang normal tidak dapat berfungsi, hukum yang lain, yaitu hukum keadaan darurat harus berperan. Karena itu sangat penting untuk membedakan dua rezim hukum dalam teori dan praktik, yaitu hukum tata negara normal dan hukum tata negara darurat. Itulah yang saya tulis dalam buku “Hukum Tata Negara Darurat” (2007)[7].

Keadaan darurat yang mengharuskan berperannya seorang “Dictator Konstitusional” ini tentu tidak dapat diterima oleh semua ahli. Banyak juga yang menggambarkan bahwa hal ini membahayakan demokrasi itu sendiri. Di kalangan kaum liberal, pemikiran Clinton L. Rossiter tentang “Constitutional Dictatorship” ini banyak dikritik. Dalam buku “Constitutional Dictatorship: Its Dangers and Its Design”, Sanford Levinson dan Jack M. Balkin menggambarkan pelbagai kritik terhadap konsep “constitutional dictatorship”. Bahkan studi tentang perspektif yang “non-unitary executive” makin banyak dilakukan oleh para ahli[8]. Maksudnya, pusat kekuasaan pemerintahan di zaman sekarang bergerak tidak lagi memusat ke satu pemegang jabatan eksekutif (monocratic), tetapi berkembang semakin terdistribusi ke banyak pusat eksekusi yang bersifat independen. Inilah yang disebut oleh Sanford Levinson sebagai gejala “Distributed Dictatorship[9].

Namun, terlepas dari kekurangan dan kelemahan istilah “Constitutional Dictatorship” ini, dalam kesimpulannya, Sanford Levinson dan Jack M. Balkin, menegaskan:

“The notion of ‘constitutional dictatorship’ may seem at first a contradiction in terms, but it is a reality that every modern democracy (like very ancient one) must eventually face. Whatever problems may attend the design of emergency powers in a constitutional democracy, it would be even worse to slide into patently unconstitutional dictatorships; the past century alone has witnessed far too many examples.” (Pengertian ‘kediktatoran konstitusional’ mungkin pada awalnya nampak kontradiktif dalam peristilahan, tetapi adalah kenyataan bahwa setiap demokrasi modern (seperti yang sangat kuno) akhirnya harus menghadapinya. Apapun masalah yang terdapat dalam desain kekuasaan darurat dalam demokrasi konstitusional, akan lebih buruk lagi jika dibiarkan berkembang menjadi kediktatoran unkonstitusional; yang pada abad terakhir saja telah begitu banyak kita saksikan contoh-contohnya).

Karena itu, yang terpenting untuk dipastikan adalah bagaimana kekuasaan pemerintahan darurat dikendalikan dengan efektif dalam pelaksanaannya. Salah satunya dengan memperkuat peran para wakil rakyat di parlemen. Tetapi, tidak perlu sampai menempatkan pusat kekuasaan di lembaga perwakilan rakyat seperti yang diidealkan oleh John Ferejohn dan Pasquale Pasquino.  Baik “neo-Roman model” maupun “the new legislative model” yang digambarkan oleh Ferejohn dan Pasquino dalam “The Law of the Exception: A Tipology of Emergency Powers” (2004) sebenarnya juga sama-sama tidak realistis, karena cenderung hanya mempertentangkan mengenai kedudukan dan peran cabang kekuasaan eksekutif versus kekuasaan legislatif dalam menangani proses pemerintahan keadaan darurat. Dalam, “the new model of legislative power”, Ferejohn dan Pasquino hanya berusaha memindahkan kekuasaan dari penguasa eksekutif yang disebutnya masih mencerminkan “neo-Roman model of emergency powers” kepada cabang kekuasan legislatif yang mereka idealkan harus lebih berperan, dan bahkan berperan sentral.

Menurutnya, negara-negara demokrasi yang sudah berkembang maju tidak selalu perlu menggunakan kewenangan konstitusional dalam menghadapi keadaan darurat. Kebanyakan lebih memilih pendekatan biasa yang diatur dengan undang-undang. Dengan undang-undang itulah, rakyat yang berdaulat melalui parlemen memberikan delegasi kewenangan (legislative delegation of emergency power) kepada pemerintahan eksekutif untuk melakukan tindakan tertentu yang tidak biasa apabila berhadapan dengan keadaan darurat, dan dengan undang-undang pula keadaan darurat itu diberlakukan untuk jangka waktu tertentu sebagai suatu pengecualian. Betapapun tidak lazimnya pembentukan undang-undang khusus itu, undang-undang dalam keadaan darurat itu tetaplah berada dalam sistem konstitusi yang ada, yaitu sebagai produk lembaga legislatif yang bekerja menurut kewenangan konstitusionalnya yang normal, dan dapat diuji konstitusionalitasnya oleh lembaga peradilan.

Dicontohkan misalnya, UU Anti Terrorisme di Inggeris dan UU Patriot di Amerika Serikat.[10] Keduanya sama-sama merupakan undang-undang biasa, tetapi karena keadaan mendesak, dibentuk dalam waktu yang sangat singkat, kurang lebih jika dibandingkan dengan di Indonesia dibentuk dengan PERPU. Banyak UU Anti Terorisme di dunia, juga menggunakan pendekatan yang sama, seperti di parlemen Jerman dan parlemen Italia pada tahun 1970an dan 1980an, beberapa undang-undang dibentuk dengan prosedur yang cepat, karena adanya kegentingan yang memaksa. Namun, kasus seperti ini sebenarnya, memang lazim dimana-mana. Karena itu, di Indonesia pun ada mekanisme untuk membentuk undang-undang dalam keadaan mendesak yang disebut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU). Namun, ada tiga tipe peraturan sejenis ini yang harus dibedakan, yang boleh jadi luput dari perhatian Ferejohn dan Pasquino, yaitu (i) PERPU yang dibentuk dalam keadaan mendesak tetapi tetap dalam keadaan normal, (ii) PERPU yang dibentuk memang ketika negara sudah secara resmi memberlakukan keadaan darurat, dan (iii) suatu undang-undang biasa yang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan keadaan darurat, seperti UU tentang Terorisme, dan bahkan juga UU tentang Keadaan Bahay atau Kedadaan Darurat itu sendiri, seperti National Emergencies Act 1976 di Amerika Serikat.

Berkembangnya praktik mengenai ketiga macam peraturan undang-undang yang berkaitan dengan persoalan keadaan darurat tersebut, tidak perlu dijadikan argument untuk membuat kesimpulan bahwa ketentuan mengenai keadaan darurat tidak perlu diatur dalam UUD, atau kekusaan untuk menentukan keadaan darurat itu cukup diberkan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen sebagai “epicentrum” pengaturan dan penentuan mengenai keadaan darurat itu. Memang benar, tidak semua konstitusi negara demokrasi maju, memuat pengaturan khusus mengenai keadaan darurat. Apalagi di Inggeris yang memang tidak memiliki naskah konstitusi tertulis sebagaimana di negara-negara lain. Namun, dalam artikel 16 Konstitusi Perancis tahun 1958 dan artikel 115a Konstitusi Jerman, ketentuan mengenai kekuasaan darurat (emergency powers) itu diatur cukup eksplisit. Sedangkan di Inggeris, dianggap cukup dibentuk undang-undang saja yang memberikan delegasi kewenangan kepada kepala pemerintahan untuk menangani keadaan darurat dengan cara yang tidak biasa.

Bahkan, menurut studi yang dilakukan oleh Ferejohn dan Pasquino,[11] di banyak negara yang konstitusinya memuat ketentuan mengenai keadaan darurat inipun, banyak yang tidak menggunakannya dalam praktik. Menurut mereka, ada dua kemungkinan alasan mengenai hal ini. Pertama, memang belum didapatkan kenyataan mengenai magnitude kedaruratan yang sedemikian seriusnya sehingga keadaan darurat sungguh-sungguh harus diberlakukan. Kedua, mungkin karena perkembangan tenologi pengendalian keadaan “disorder” menyebabkan banyak keadaan darurat  sudah cukup terkelola dengan sistem hukum yang biasa. Apalagi, dalam pandangan kesejarahan, dapat dikemukakan banyak contoh tentang penyalahgunaan kekuasaan keadaan darurat itu oleh para penguasa, sehingga penggunaan kewenangan dilakukan secara berlebihan justru menimbulkan banyak korban merusak citra demokrasi konstitusional yang seharusnya ditegakkan. Misalnya, penggunaan kekuasaan darurat secara berlebihan di bawah Pemerintahan Indira Gandhi pada tahun 1970an[12], tirani penyalahgunaan kekuasaan dengan kedok keadaan darurat di pelbagai negara Amerika Latin, dan mungkin juga dalam praktik terakhir pemerintahan Weimar, adalah contoh-contoh mengenai bahaya penggunakan keadaan darurat.

            Karena itu, Ferejohn dan Paquino berkeyakinan pentingnya mengembangkan perspektif baru mengenai keadaan darurat ini, yaitu dengan penguatan fungsi legislatif dalam menentukan, mengatur pembatasan-pembatasannya, dan mengawasi dan mengendalikan pelaksanaannya dalam praktik pemerintahan. Menurut mereka, “the new legislative model” inilah yang berkembang dalam praktik di kebanyakan negara-negara demokrasi yang sudah maju atau stabil (advanced or stable democracies).[13]19 Dalam model ini, keadaan darurat dihadapi dengan menerbitkan undang-undang yang memberikan kewenangan khusus yang bersifat sementara kepada kepala pemerintahan. Dalam praktik demikian “emergency powers” dilihat sebagai suatu pengecualian atas bekerjanya sistem hukum dalam kondisi normal sebagaimana biasanya. Sekali timbul keadaan darurat, maka hukum pengecualian itu (the law of exception) berlaku, tetapi dalam waktu yang terbatas. Sesudah keadaan darurat berakhir, sistem hukum dan proses hukum kembali bekerja dengan tanpa pengecualian. Penentuan dan keputusan kapan dimulainya, kapan diakhirinya, dan bagaimana proses pengendalian terhadap keadaan darurat yang bersifat sementara itu dijalankan, semua dilakukan dengan terpusat pada peran lembaga legislatif yang bersifat sementara, sesuai dengan prinsip hukum pengecualian (the law of exception) tersebut di atas. Dengan demikian, kekuasaan legislatif itu sendiri bersifat terbatas, yaitu hanya untuk maksud mengembalikan keadaan kepada keadaan semula, yang tidak lain juga tidak berbeda dari tujuan pemberian kewenangan oleh Senate kepada Consuls dalam tradisi Romawi kuno yang dipraktikkan kembali di zaman modern sebagai “neo-Roman model” yang sudah diuraikan di atas.[14]20

            Jika praktik seperti yang digambarkan ini dibandingkan dengan praktik di Indonesia, kita dapat juga mengaitkannya dengan praktik penerbitan PERPU No. 1 Tahun 20202, yang sama sekali tidak ditetapkan dalam rangka pemberlakuan keadaan darurat Covid-19 berdasarkan Pasal 12 UUD 1945. PERPU ini sama saja dengan PERPU-PERPU lainnya yang ditetapkan oleh Presiden karena pertimbangan kegentingan yang memaksa berdasarkan Pasal 22 UUD 1945, bukan dalam menghadapi dan menangani ancaman bahaya yang besar dan demikian seriusnya yang terkait dengan ancaman terhadap keselamatan rakyat, bangsa, dan bahkan eksistensi negara seperti yang dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Bahkan, ketika UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantika Kesehatan disusun dan ditetapkan, demikian pula UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, juga tidak dilihat sebagai upaya penjabaran ketentuan Pasal 12 UUD 1945. Pasal satu-satunya yang mengatur keadaan darurat dalam UUD 1945, sama sekali tidak dijadikan pertimbangan mengingat dalam instrumen hukum ini. Namun, berbeda dari penilaian Ferejohn dan Paquino, keengganan mengaitkan pelbagai ketentuan UU yang mengatur keadaan yang memerlukan pola penanganan pengecualian atau luar bias aitu di Indonesia, belum tentu dapat dikaitkan dengan kualitas kematangan demokrasi konstitusional atau seakan-akan Indonesia sudah tergolong sebagai negara demokrasi yang sudah sangat maju (advanced democracy).

            Sebaliknya, praktik di Indonesia yang demikian itu, justru terjadi karena kebelum-matangan. Masyarakat politik Indonesia masih mengalami trauma sejarah karena di zaman Orde Lama dan Orde Baru, pemberlakuan keadaan darurat itu sering disalahgunakan oleh penguasa darurat untuk memperkuat dan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika menyusun dan merumuskan UU tentang Penanggulangan Bencana sajapun, Pasal 12 UUD 1945 itu dijauhkan dari dasar pijakan normatif upaya penanggulangan bencana yang di Indonesia sangat sering terjadi. Karena itu, dapat dievaluasi kembali, semua bencana alam yang besar dan berdampak luas dan serius, seperti Gunung Merapi Meletus, gelombang Tsunami di Aceh, Liquifaksi di Palu, kebakaran hutan di Sumatera dan di Kalimantan, dan sebagainya, tidak satupun ditetapkan sebagai keadaan darurat sipil karena bencana alam yang dahsyat. Akibatnya, status hukum semua peraturan perundang-undangan dalam keadaan normal harus dianggap tetap berlaku sebagaimana keadaan biasa, padahal dalam praktik di lapangan, banyak sekali aturan biasa yang tidak dapat berfungsi dengan baik, dan terpaksa dilakukan tindakan-tindakan yang bersifat menerobos dan menerabas banyak peraturan perundang-undangan yang berlaku.

            Ketika keadaan darurat sedang berlangsung dan masalah yang timbul sedang diatasi dengan menerapkan beberapa prinsip pengecualian karena sedang berada dalam keadaan tidak biasa, belum timbul masalah hukum sebagai efek samping dari tidak diberlakukannya keadaan darurat itu secara resmi. Tetapi sesudah keadaan pulih kembali, mulai timbul pelbagai dampak ikutan yang tidak dikehendaki sejak awal, yaitu munculnya dakwaan-dakwaan pidana ataupun perdata terhadap beraneka kejadian luar biasa yang bersifat menerobos dan menerabas aturan-aturan yang ada. Karena, tidak semua keadaan yang tidak biasa itu sudah tertampung dengan baik dalam undang-undang atau dalam PERPU yang sudah ditetapkan untuk mengatasi keadaan yang tidak biasa itu. Lagi pula status resmi dari suatu PERPU yang termasuk kategori peraturan biasa yang ditetapkan dalam keadaan biasa, meskipun dilakukan dengan cepat sesuai dengan prinsip kegentingan yang memaksa, tetaplah merupakan peraturan biasa, yang tidak boleh melanggar norma hukum yang lebih tinggi, yaitu UUD, tidak boleh melanggar hak asasi manusia, dan bahkan tidak boleh bertentangan dengan UU yang bersifat permanen. PERPU hanya dimaksudkan untuk berlaku sementara dan tidak dimaksudkan untuk berlaku permanen, karena itu ia tidak boleh mengubah undang-undang lain untuk maksud yang permanen.

            Oleh karena sangat penting untuk membedakan, sebagaimana sudah diuraikan pada bagian terdahulu, yaitu antara (i) PERPUyang ditetapkan untuk memberlakukan keadaan darurat, (ii) PERPU yang ditetapkan selama keadaan darurat, dan (iii) PERPU yang ditetapkan bukan dalam keadaan darurat yang dimaksudkan sebagai undang-undang biasa yang bersifat mendahului persetujuan DPR, sehingga statusnya menjadi UU masih menunggu persetujuan resmi oleh DPR dalam masa persidangan berikutnya. Selain itu, asumsi yang ada di balik pemikiran John Ferejohn dan Pasquale Pasquino dalam memperkembangkan model legislatif yang mereka tawarkan itu dapat dikaitkan dengan tiga hal. Pertama, banyaknya kasus penyalahgunaan kekuasaan dalam keadaan darurat dalam praktik, untuk kepentingan memperkuat dan melanggengkan kekuasaan sendiri, seperti juga terjadi dalam sejarah politik Indonesia sebelum masa reformasi. Kedua, pada umumnya, keadaan darurat yang dibahas dan dijadikan objek telaah oleh keduanya berkaitan dengan pelbagai peristiwa perang, pemberontakan, atau kasus-kasus konflik politik dan militer di pelbagai negara, termasuk di Amerika Serikat sendiri[15]. Ketiga, banyak di antara negara-negara yang disebut sebagai “advanced democracies” yang dimaksud menganut sistem pemerintahan parlementer, sehingga mudah membawa kedua sarjana ini mengusung ide untuk menjadikan ‘epicentrum’ penentuan keadaan darurat itu di tangan lembaga legislatif, bukan lagi di tangan “chief executive”.

            Pendek kata, suasana zaman ketika aturan-aturan konstitusional mengenai keadaan darurat dirumuskan, Sebagian terbesar memang dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa politik kekuasaan, yang di kemudian hari diperluas jangkauan pengertiannya mencakup pula keadaan daruat yang ditimbulkan oleh pelbagai bencana alam yang tidak terkait dengan persaingan kekuasaan. Hal yang sama juga terdapat dalam kajian-kajian para ahli lainnya, seperti kajian yang dilakukan oleh Clinton L. Rossiter dalam bukunya yang sangat terkenal sampai sekarang, yaitu “Constitutional Dictatorship” yang terbit pertama kali pada tahun 1948, ketika Perang Dunia ke-II belum lama berakhir dan suasana kehidupan masih dipengaruhi oleh Iklim politik Perang Dunia. Apa yang digambarkan oleh Clinton Rossiter dalam bukunya “Constitutional Dictatorship”, sangat dipengaruhi oleh objek kajiannya selama era antara Perang Dunia ke-I dan Perang Dunia ke-II. Kedaruratan bencana yang timbul dalam suasana perang ini harus dilihat sebagai sesuatu yang berbeda dengan keadaan darurat yang timbul sebagai akibat terjadinya bencana-bencana alam yang merenggut banyak nyawa manusia, yang mudah membangitkan solidaritas kemanusiaan antar sesama. Suasana komunikasi antar manusia dalam keadaan darurat kemanusiaan seperti itu, sangat berbeda dengan suasana yang tercipta dalam keadaan perang. Komunikasi antar manusia diwarnai oleh sikap permusuhan dan kebencian antar kelompok, antar golongan, dan antar bangsa dan negara. Karena itu, “dictatorship” menjadi sesuatu yang logis dan mudah diterima akal sehat sebagai mekanisme yang diperlukan untuk menghadapi dan menanggulangi ancaman bahaya. Karena itu, menurut pendapat saya, ke depan, manajemen pemerintahan krisis untuk menghadapi keadaan darurat perlu dibedakan antara keadaan darurat militer yang berkaitan dengan konflik dan perang, dengan keadaan darurat sipil yang khusus dikaitkan dengan ancaman bahaya akibat bencana alam atau pun bencana yang disebabkan ulah manusia.

Di samping itu, bagaimanapun juga, gagasan untuk terpaksa menerima “dictatorship” yang diusulkan oleh Clinton Rossiter, seperti istilah yang ia pakai sendiri menjadi judul bukunya, “Constitutional Dictatorship” mengandung pengertian bahwa kekuasaan pemerintahan darurat seperti pemerintahan dictator itu harus dibatasi menurut aturan konstitusi. Karena itu, diidealkan pengaturan dalam UUD memang harus diadakan untuk menentukan (i) siapa yang diberi kewenangan menetapkan keadaan darurat itu, dan siapa yang mengakhirinya, (ii) berapa lama batas waktunya dan apa syarat dan prosedur untuk perpanjangannya dan pencabutan keadaan darurat itu, (ii) siapa yang diberi wewenang untuk mengatur, dan apa saja atau kebijakan yang bagaimana yang dapat diatur dengan peraturan khusus selama keadaan darurat, (iii) siapa yang diberi wewenang untuk bertindak dan menjalankan kekuasaan pemerintahan darurat, (iv) apa saja yang mesti terus menerus diawasi dan dikendalikan oleh para wakil rakyat selama masa keadaan darurat, dan keputusan apa saja yang efektif untuk mengendalikan kebijakan dan tindakan pemerintahan itu oleh lembaga perwakilan rakyat, dan (v) bagaimana peran pengadilan dalam mengendalikan kebijakan dan tindakan pemerintahan selama keadaan darurat, terutama melalui pengujian peraturan perundang-undangan, dan melalui peradilan tata usaha negara. Semua ini dapat diatur dasar-dasar dalam UUD, dan dijabarkan lebih lanjut dengan Undang-Undang tersendiri yang mengatur negara dan hukum dalam keadaan darurat.

Di dalam skenario baru ini, pertama, harus dibedakan dulu anara pengertian keadaan darurat militer dan keadaan darurat sipil. Kedua, harus ada pengaturan yang jelas dalam Undang-Undang Dasar, yang dijabarkan lebih lanjut dengan Undang-Undang yang khusus, yaitu tentang Keadaan Darurat atau Keadaan Bahaya, seperti istilah yang dipakai oleh Pasal 12 UUD 1945. Ketiga, dalam pelaksanaan kekuasaan darurat harus terus diawasi secara efektif oleh wakil rakyat di parlemen dan pengujian independent oleh lembaga peradilan. Hal ini yang harus dipastikan dalam rumusan kebijakan dan dalam praktik tindakan nyata. Dengan demikian, pola hubungan kekuasaan tidak hanya terpusat pada “constitutional dictator”, tetapi tetap berada dalam mekanisme “check and balances” antar cabang kekuasaan. Inilah yang saya anggap sebagai “model keempat dari kekuasaan darurat”.

            Bagaimanapun, model yang diidealkan oleh John Ferejohn dan Pasquale Pasquiono sebagai “legislative model” itu dapat dikatakan kurang realitis. Cabang kekuasaan legislatif di lembaga perwakilan rakyat atau parlemen dimana-mana terdiri atas banyak orang dan berasal dari banyak partai politik yang biasanya mempunyai pandangan yang berbeda-beda dan tidak mudah untuk menyatukan mereka yang berbeda-beda itu dalam proses pengambilan keputusan cepat dan dalam waktu yang dangat mendadak. Apalagi dalam sistem permusyawaratan rakyat Indonesia di MPR dan sistem perwakilan rakyat di DPR dan DPRD yang sangat kompleks. Perwakilan rakyat di Dewan Perwaklan Rakyat terdiri atas anggota-anggota yang berasal dari 9 partai fraksi partai politik, dan di Dewan Perwakilan Daerah terdiri atas masing-masing 4 anggota perwakilan daerah yang dari 34 provinsi dari seluruh Indonesia yang masing-masing bersifat independen dan sendiri-sendiri.

Banyak sekali bencana alam terjadi, ataupun datangnya ancaman perang dari negara lain, dan bahkan pemberontakan-pemberontakan bersenjata dari dalam negeri sendiri yang muncul tiba-tiba, sehingga membutuhkan keputusan dan tindakan-tindakan yang cepat. Karena itu, tidaklah realistis untuk atas nama demokrasi, menempatkan pusat kekuasaan penentu dalam keadaan darurat seperti itu kepada lembaga legislatif. Karena itu, sambil memperbaiki kelemahan dan kekurangan dalam praktik penerapan konsep kekuasaan darurat dalam perspektif konstitusi (constitutional emergency powers), pusat atau “epicentrum” kekuasaan dalam keadaan darurat tetap harus ada di tangan seorang kepala pemerintahan yang dipilih oleh rakyat, tetapi selama keadaan darurat berlangsung tetap dan terus menerus berada dalam kendali pengawasan oleh parlemen.

Model yang saya nisbatkan sebagai model keempat ini adalah model campuran eksekutif-legislatif. Model inilah yang perlu dikembangkan dalam praktk di Indonesia, sambil mengevaluasi kinerja pemerintahan Indonesia pasca penanganan bahaya nasional Covid-19 yang timbul mulai dari akhir tahun 2019 dan diperkirakan akan berlangsung sampai akhir tahun 2020. Namun, di samping itu, model yang disebut oleh Ferejohn dan Pasquino sebagai “neo-Roman model” juga dapat diuraikan secara tersendiri lagi, karena variasinya juga sangat banyak. Bahkan sebenarnya model Konstitusi Weimar yang terus dipraktikkan di zaman Hitler sebagai demagog dalam “Constitutional Dictatorship” sebagaimana diistilahkan oleh Clinton Roositer. Bahkan oleh Rossiter, selama periode antara tahun 1919-1933, baik Jerman, Perancis, Inggeris dan Amerika Serikat menghadapi perkembangan keadaan yang sama, yaitu keadaan perang yang harus direspon dengan cara-cara yang tidak biasa. Periode krisis pemerintahan antara tahun-tahun itulah yang dijadikan pusat penelitian Clinton Rossiter sehingga menghasilkan bukunya yang sangat terkenal, yaitu “Constitutional Dictatorship: Crisis Government in the Modern Democracies” (1948).

Dengan demikian, untuk melengkapi pendapat John Ferejohn dan Pasquale Pasquino,[16] kita dapat mengembangkan pengertian mengenai beberapa model pemerintahan darurat yang tersendiri, yait:

  1. Roman Classical Model;
  2. Weimar and Hitlerian Emergency Power;
  3. New-Roman Constitutional Emergency Powers atau “Constitutional Dictatorship”;
  4. Model of Unitary Executive Emergency Powers and Distributed Dictatorship;
  5. The New Legislative Model of Emergency Powers; dan
  6. Model campuran “Executive-Legislative-Judicial checks and balances”, dimana komando tetap di tangan Presiden tetapi terus dikendalikan oleh parlemen dan dapat duji oleh lembaga peradilan.

Dalam Konstitusi Amerika Serikat, kewenangan Presiden yang dapat dikaitkan dengan keadaan darurat ada tiga, yaitu pada (a) Artikel I, Clause 2 dan 3 tentang “Civil and Legal Protections”;  (b) Article II yang berkaitan dengan kewenangan yang tersirat diberikan kepada Presiden sebagai Panglima Tertinggi Militer untuk mengatur atau menerbitkan aturan dalam keadaan darurat (presidential emergency rule);[17] dan (c) Presiden memiliki beberapa kewenangan delegasi (constitutionally delegated powers) untuk berurusan dengan keadaan darurat, seperti berdasarkan “National Emergencies Act 1976”. Dalam Artikel I, Clause 2 dan 3 tentang “Civil and legal protections”, ditentukan bahwa “writ of habeas corpus” menyediakan upaya hukum atas penangkapan dan penahanan yang tidak sah oleh pejabat penegak hukum atau badan lain. Pengadilan dapat memerintahkan pelepasan jika terbukti bahwa penahanan itu tidak cukup beralasan atau tidak berkeadilan. UUD menjamin bahwa hak atas “habeas corpus” tidak dapat ditangguhkan, kecuali dalam hal-hal tertentu[18], seperti dalam kasus pemberontakan atau invasi dimana keselamatan umum mem butuhkannya. (the writ of habeas corpus may not be suspended ‘unless when in cases of rebellion or invasion the public safety may require it). Dalam perkara “Ex parte Milligan” (1866), Mahkamah Agung memutuskan bahwa penangguhan ‘habeas corpus’ di masa perang adalah sah, tetapi pengadilan militer tidak berwenang mengadili warga sipil di negara-negara bagian yang menjalankan kewenangan berdasarkan konstitusi dan dimana pengadilan sipil masih beroperasi.

TENTANG NORMA DAN PENGECUALIAN

            Ada dua hal penting yang perlu dilihat dalam hubungannya dengan pilihan model yang didiskusikan di atas. Pertama, konstitusi dapat dipahami sebagai suatu sistem norma tertinggi dalam kehidupan bernagara yang harus bekerja dalam hal-hal dan keadaan-keadaan yang bervariasi. Konstitusi berlaku dalam keadaan yang kurang lebih normal, dan jikalau diterapkan untuk keadaan yang tidak normal, tentu akan mengakibatkan hasil yang tidak memuaskan. Karena itu, diperlukan pengakuan dan pengaturan tersendiri untuk menghadapi keadaan yag tidak biasa itu, sebagai pengecualian, seperti untuk menghadapi bahaya perang, invasi, pemberontakan, dan sebagainya. Untuk menghadapinya, beberapa norma konstitusi dapat ditangguhkan keberlakuannya untuk sementara waktu. Penangguhan (suspension) ini dilakukan dengan mengembangkan pengertian tentang derogasi (derogation from a norm), yaitu dengan menyimpangi norma sebagai lawan dari menaati norma (abrogation of a norm). Apa yang membuat sesuatu hal itu sebagai pengecualian, sehingga norma konstitusi dapat disimpangi atau ditangguhkan berlakunya?

            Misalnya, dalam operasi perang, tentara harus bergerak cepat dari satu tempat ke tempat lain tanpa hambatan. Meskipun dalam keadaan normal, ada tempat-tempat tertentu di lingkungan pemukiman penduduk yang tidak diperbolehkan dimasuki oleh tentara, tetapi tidak tersedia cukup waktu untuk mendengarkan lebih dulu keberatan dari warga bagi pasukan tentara untuk memasuki daerah ‘terlarang’ itu. Dalam suasana perang, informasi tentang keberadaan pasukan, harus dirahasiakan agar tidak diketahui musuh. Karena itu, kebebasan informasi mestinya dibatasi dengan keras, dengan ancaman sanksi yang keras kepada para pengkhianat. Demikian pula dapat terjadi, kebebasan warga untuk berkumpul dan bahkan untuk melangsungkan upacara pernikahan di suatu waktu, terpaksa dilarang untuk mencegah penularan wabah virus yang sedang melanda, sehingga kebebasan warga harus ditangguhkan untuk sementara. Semua ini terpaksa dilakukan dengan menunda atau menangguhkan (suspension) hak atas kebebasan berkumpul, berorganisasi, berbicara, hak atas informasi publik, dan sebagainya yang dalam keadaan normal dijamin secara menurut Undang-Undang Dasar.

            Kedua, mengenai dua cara pandang mengenai sistem konstitusi, yaitu monistik atau dualistik. [19] Sistem monistik menekankan bahwa perintah normatif bersifat tetap dalam setiap keadaan, sedangkan sistem dualistic menciptakan 2 tata hukum yang berbeda yang berlaku untuk masing-masing keadaan. Menurut logika sistem monistik, keadaan darurat ditangani sendiri dari dalam tata hukum internal, sedangkan dalam logika dualism, terdapat 1 regulator yang bertindak berbeda dalam 2 keadaan berbeda. Regulator dimaksud sudah ada dalam tatanan kelembagaan sebeumnya, tetapi memiliki fungsi yang bersifat “meta-konstitusional” yang terpisah dan merupakan pengecualian dari fungsi normalnya dalam keadaan biasa.

            Norma hukum berisi pengertian mengenai tiga macam kemungkinan kaedah, yaitu (i) larangan (prohibere, haramat), (ii) kewajiban (obligattere, wajibat)), dan (iii) kebolehan (permittere, ibahah). Norma hukum berisi preskripsi, suruhan, dan bahkan perintah yang kadang-kadang disertai pula oleh ancaman sistem sanksi. Dalam hukum publik, Konstitusi (tertulis atau tidak tertulis) mewakili seperangkat norma yang ditujukan untuk pemegang otoritas kekuasaan umum, yang harus dihormati oleh para pejabat penyelenggara negara.  Kaedah hukum konstitusi itulah yang mempresuposisikan validitas norma hukum yang lebih rendah dan menjadi sumber kewajiban bagi norma yang lebih rendah itu. Norma konstitusi itu mempunyai karakter yang khusus, baik dari segi formalnya maupun dari segi materilnya. Secara formal, norma konstitusi mengatur dan membatasi prinsip suara mayoritas (majority rule) yang berarti secara umum hanya dapat diubah hanya dengan prosedur tertentu atau berdasarkan prinsip suara mayoritas. Sedangkan secara materil, norma hukum konstitusi itu Sebagian terbesar berurusan dengan pemisahan kekuasaan, yaitu dengan kewenangan dari masing-masing cabang kekuasaan dan jaminan-jaminan hak konstitusional warga.

            Namun, di samping itu, ada pula keadaan tertentu yang menyebabkan keharusan untuk dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat khusus. Inilah yang terkait dengan pengertian tentang “kekuasaan darurat” (emergency powers) sebagai bentuk pengecualian atau penderogasian terhadap pemerintahan konstitusional dalam arti pemerintahan biasa dalam keadaan normal. Tindakan derogasi (derogation), berkenaan dengan dua hal, yaitu: (i) pemerintah menyimpang (derogate) dari bentuk yang biasa (regular form), di satu pihak; dan (ii) memberi pembenaran atas deviasi terhadap norma itu pada segi yang lain. Hal berkaitan erat dengan konsep “derogation” dan “abrogation” yang dibahas khusus oleh Hans Kelsen dalam bukunya, “Die Allgemeine Theorie der Normen”.[20]

Dalam pelbagai kamus, istilah “derogation” dianggap sebagai antonim dari pengertian “conformity or observance to a juridical norm”. Derogasi merupakan penyimpangan dari perilaku normal, yang diizinkan dalam hal-hal tertentu, dibenarkan jika memang dibutuhkan. Tetapi nuansanya dalam Bahasa Latin, kata “derogare” bertentangan dan berbeda dari kata “abrogare”. “Derogare” berarti “to repeal part of a law” (menghapus suatu bagian dari norma), sedangkan “Abrogare” berarti “to repeal a law in its entirety” (mencabut atau menghapus suatu norma sebagai keseluruhan). [21] Dalam teks canonic oleh Cicero dapat ditemukan pernyataan: ““huic legi nec obrogari fas est, neque derogari aliquid ex hac licet, neque tota abrogari potest,”[22] yang artinya, “diperbolehkan untuk mengganti hukum dengan hukum lain yang baru, baik dengan cara membatalkan sebagian daripadanya (derogari) ataupun dengan cara membatalkan (abrogari) keseluruhannya”.

Derogasi merupakan penyimpangan dari perilaku yang normal. Di dalamnya terdapat ide penghapusan sebagian atau menyebabkan ada bagian tertentu dari suatu norma tidak diaplikasikan dalam praktik. Dalam hubungan dengan derogasi konstitusional (constitutional derogation), hal ini dapat dikaitkan dengan pembedaan antara “Verfassung” (constitution) dengan “Verfassungsgesetze” (constitutional norms) atau “Grundsgesettz” (Undang-Undang Dasar menurut Carl Schmitt. Undang-Undang Dasar dapat dikesampingkan atau ditangguhkan berlakunya untuk tujuan melindungi dan menegakkan Konstitusi yang jauh lebih mendasar dan lebih tinggi atau lebih mendalam kedudukan dan kandungan nilainya daripada naskah undang-undang dasar.[23]

Karena itu, menurut Ferejohn dan Pasquino, secara konseptual dapat dibedakan adanya tiga hal, yaitu:[24]

  1. Norma hukum, dengan pemerintahan regular berdasarkan konstitusi;
  2. Derogasi atau penyimpangan norma, oleh kekuasaan darurat (Emergency Powers); dan
  3. Justifikasi atas penyimpangan (justification of the derogation).

            Ketiganya terkait erat dengan: (a) keadaan darurat atau hal-hal tertentu yang memberi pembenaran dilakukannya derogasi, atau penyimpangan atau penangguhan atas sebagian norma sebagai suatu pengecualian; dan (b) suatu prinsip yang lebih tinggi bahwa seseorang mungkin membutuhkan penyelamatan, perlindungan, atau penjagaan dalam keadaan yang di luar kebiasaan yang harus dikecualikan dari ketentuan yang berlaku umum dalam keadaan biasa. Akhirnya kepentingan rakyat di atas segalanya, karena rakyatlah merupakan pemegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan rakyat. Suara kedaulatan rakyat itulah yang disebut sebagai “the constituent power” dalam kegiatan bernegara, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, yaitu: “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Adanya hukum pengecualian (the rule of exception) dalam hukum merupakan sesuatu yang lazim dalam kehidupan, termasuk dalam kehidupan negara konstitusional modern.

Dengan demikian, baik secara konseptual maupun normatif, kekuasaan dalam keadaan darurat dapat dilihat secara konservatif. Jika pelaksanaan kekuasan darurat menabrak atau mengubah konstitusi atau tata hukum yang ada secara substantif, maka hal itu dapat dikatakan, bukan saja merupakan pelanggaran terhadap norma hukum yang mengatur kekuasaan, dan juga bukanlah pelaksanaan yang benar atas kekuasaan dalam keadaan darurat, melainkan merupakan pelaksanaan kekuasaan rakyat sebagai pemegang kedaultan (constituent power). Hal itu tidak lain merupakan abrogasi, meniadakan, atau mengubah konstitusi menjadi tidak berfungsi atau tidak berlaku dalam kenyataan. Tentu saja tindakan demikian dapat dikatakan terlarang. Dalam konstitusi yang sudah mengatur ketentuan mengenai keadaan darurat, sangat jelas adanya ‘dualistic normative systems” yang terpisah satu dengan yang lain, yaitu (i) sistem hak dan prosedur yang normal (the normal system of rights and procedures), dan (ii) sistem pelaksanaan kekuasaan dalam keadaan darurat (the normative system operating in the state of emergency).

Dalam perspektif “legislative model”, dalam kedua rezim hukum itu, juga dibedakan dengan tegas. Kedudukan dan peran eksekutif dan legislatif juga terpisahkan dan saling mengendalikan. Juga dibedakan antara kekuasaan darurat dan kekuasaan konstitutif (emergency powers and constitutive powers), yang mengakibatkan perubahan permanen dalam sistem hukum sebagai pelaksanaan dari kekuasaan legislatif darurat (legislative emergency powers). Lembaga legsilatif yang menentukan kebijakannya, dan lembaga eksekutif yang melaksanakan kebijakan selama dalam keadaan darurat, hanya untuk dua tujuan, yaitu (i) mengatasi masalah yang timbul dalam keadaan darurat, dan (ii) memulihkan tata hukum agar berfungsi normal kembali. Dalam model legislatif ini, kedaulatan rakyat sebagai “constituent powers” dianggap tercermin di lembaga legislatif, bukan di eksekutif, sekalipun presiden sebagai kepala pemerintahan eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Model ini tentu tidak cocok untuk Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidential yang memusatkan kekuasaan ada di tangan Presiden kecuali hal-hal yang menurut UUD dan UU telah diberikan kepada lembaga-lembaga lain.

TENTANG DUALISME VERSUS MONISME

            Dalam studi mengenai hukum keadaan darurat dapat ditemukan pelbagai pandangan yang beraneka ragam di antara para ahli yang dapat dibedakan antara pandangan yang bersfat monistik dan dualistic. Terkait dengan hal ini, kita dapat membedakan antara dua tipe pemerintahan, yaitu

  1. Pemerintahan reguler dalam keadaan normal; dan
  2. Pemerintahan pengecualian, yaitu pemerintahan ketika negara dalam keadaan darurat.

Bagi kelompok ahli yang berpandangan monistik, keduanya tidak perlu dipisahkan, karena justru akan membahayakan dengan memberikan peluang direduksinya makna “rule of law” atau malah membuat pemerintahan berubah menjadi absolut, “salus populi suprema lex” atau “suprema lex esto”.[25] Keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi, sehingga tidak perlu, menunggu pemberlakukan resmi keadaan darurat dulu baru bertindak, karena di atas semua norma hukum yang berlaku mengikat, adalah hukum keselamatan rakyat.[26] Kapan saja, bilamana benar-benar dibutuhkan, negara melalui aparat pelaksana kekuasaannya harus segera bertindak. Bahkan, terkait dengan penanganan wabah corona, kalimat “Salus Populi Suprema Lex Esto” ini akhir-akhir ini menjadi sangat terkenal karena diucapkan oleh banyak tokoh, mulai Presiden, Kepala BNPB hingga Kapolri, ikut mengucapkannya. Perkataan “Salus Populi Suprema Lex Esto” ini merupakan adagium hukum yang pertama dikemukakan oleh Cicero seorang filsuf berkebangsaan Italia dengan makna “Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi.”

Urusan keselamatan umum ini berkaitan erat pula dengan tujuan bernegara yang termaktub dalam Alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara Indonesia bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Karena itu, di atas, teks-teks pasal UUD 1945 sebagai “Grundsgesstz” terhadap nilai yang lebih mendasar dalam tujuan bernegara, yaitu melindungi segenap rakyat Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagai nilai dasar dalam “Verfassung” atau “the spirit of the the constitution” yang jauh lebih penting dan harus diutamakan dari bunyi teks pasal-pasal UUD 1945. Namun, tentu saja, hal ini baru pada tingkat analisis konseptual, dan belum dikaitkan dengan (i) kapan kepentingan tertinggi rakyat berdaulat (consitituent powers) itu dapat mulai dilakukan dan kapan berakhirnya (when), (ii) siapa yang memutuskan atau menetapkan berlakunya keadaan darurat itu dan menetapkan berakhirnya (who), dan (iii) apa saja syarat-syarat untuk diberlakukannya keadaan darurat dan apa saja yang dapat dilakukan dalam tenggat waktu yang ditentukan untuk sementara itu sampai keadaan sementara itu berakhir (what). Bagaimanapun juga ketiga hal itu harus dirumuskan secara rinci untuk memastikan bahwa prinsip keadaan darurat yang bersifat sementara itu tidak disalahgunakan untuk mengurangi kualitas dan integritas pelaksanaan prinsip demokrasi dan negara hukum (rule of law).

Menurut Thomas Hobbes, dalam chapter 30 bukunya Leviathan: [27]Summi imperantis officia … manifeste indicat institutionis finis nimirum salus populi: quam lege naturae obligatur, quantum potest, procurare: at cuius rationem Deo, et illi soli, tenetur reddere.” (The duties of the supreme commander … are indicated by the end of his institution, namely, the safety of the people, which he is obliged by the law of nature to procure as far as he can, and of which he is required to render an acoount to God and to him alone).[28] Adagium tersebut dapat diartikan bahwa: “Tugas panglima tertinggi … ditentukan oleh hasil akhir dari tugas jabatannya, yaitu, keselamatan rakyat, yang ia diwajibkan oleh hukum alam untuk ia penuhi sedapat mungkin, dan dengan itu ia diwajibkan menyerahkan pertanggungjawaban kepada Tuhan dan kepada dirinya sendiri”.  Pada intinya, keselamatan rakyat adalah di atas segala-galanya, dan kesanalah tujuan bernegara harus diarahkan. Keselamatan rakyat tidak berada dalam kekuasaan institusi jabatan, tetapi pada tujuan akhir diadakan atau dilembagakannya jabatan atau institusi negara itu. Para penguasa atau pemegang jabatan bernegara hendaknya tidak hanya bekerja karena diwajibkan oleh pihak lain atau karena diperintahkan oleh atasan, tetapi pada akhirnya harus menyerahkan sendiri pertanggungjawaban jabatan itu kepada Tuhan dan kepada hati nuraninya sendiri.

Jika dibandingkan dengan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945, seperti dikemukakan di atas, maka upaya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumah darah Indonesia, tidak dapat ditawar-tawar. Ketika timbul ancaman wabah pandemic Covid-19, maka semua institusi jabatan negara Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 harus tampil menyelamatkan segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Keharusan penyelamatan ini berada di atas semua hal penting apapun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

            Di mata pengusung ide monisme, “salus populi” atau “keselamatan rakyat” yang dikemukakan di atas tentu lebih dilihat sebagai suatu norma pemerintahan, bukan prinsip yang sekedar dipakai untuk memberikan pembenaran atas terjadinya penyimpangan (derogasi) terhadap pemerintahan regular. “Salus populi” justru merupakan prinsip yang membimbing ke arah pemerintahan normal yang biasa (ordinary government). Namun, para pengusung ide dualisme percaya bahwa pemerintahan ditentukan oleh adanya hak-hak individu dan oleh tersebarnya pusat-pusat epicentrum (polyarchy) dalam struktur kekuasaan pemerintahan negara. Dalam bentuk yang paling minimalis seperti yang tercermin dalam Konstitusi Romawi kuno yang digambarkan oleh Polybius dalam buku Histories IV bahwa “polyarchic structure” kekuasaan negara Yunani kuno sebagai “mixed regime and mixed constitution”.[29] Pluralitas struktur kekuasan tercermin dalam pelembagaan Consuls, Senate, Tribunes, Comitia, dan juga dengan berlakunya prinsip hukum “provocatio ad populum” yang memungkinkan warganegara menuntut hukuman bahkan dengan mati terhadap petinggi kekuasaan.[30] Karena itu, oleh para ahli dikatakan bahwa di zaman Romawi kuno, kebebasan (the Roman liberty) dalam sistem kekuasaan negara yang normal pun, tidak dapat direduksi menjadi sekedar partisipasi. Namun, sebaliknya, pemerintahan pengecualian yang diwakili oleh kediktatoran (dictatorship) mencakup (i) kekuasaan yang dapat menangguhkan hak dan kebebasan warga untuk menuntut pelaksanaan prinsip “provocation ad populum” di atas, dan (ii) struktur polyarchic pemerintahan republik yang mendukung kekuatan negara monokratis oleh penguasa tunggal  (monocratic power) di atas hak-hak individu.

Oleh karena itu, di sepanjang sejarah, kita menemukan pelbagai dikotomi dan antinomi dalam kehidupan, dan khususnya mengenai hal ini adalah “polyarchy” (kekuasaan di banyak pusat) versus “monoarchy” (kekuasaan yang terpusat pada satu penguasa) atau kediktatoran, dan juga penegakan keadilan melalui proses hukum (due process) versus keyakinan tanpa proses peradilan. Namun, yang pasti, di dalamnya selalu ada sistem norma, dan ada pula sistem pengecualian. Tentu kita harus juga maklum, suasana zaman yang mempengaruhi Thomas Hobbes sangat berbeda dari suasana di zaman normal. Thomas Hobbes hidup dalam masyarakat yang diganggu luar biasa oleh pelbagai kekerasan akibat perang saudara dan konflik yang bernuansa agama. Tentu, realitas hukum-hukum kehidupan alamiah yang ia hadapi tidak dapat dipahami hanya dalam konteks konflik-konflik kekuasaan yang dijawab dengan buku. Karena itu, dapat dikatakan bahwa diskusi tentang Leviathan berkenaan dengan kediktatoran kekuasaan negara yang ditulisnya hanyalah respon politik terhadap kenyataan alami yang terjadi di zamannya.

Kita dapat berkata bahwa dalam konsepsi Thomas Hobbes tentang “conceptual universe” kekuasaan negara yang didiskusikannya dalam “Leviathan” tidak diperlukan adanya konsepsi mengenai kekuasaan darurat, karena di dalamnya sistem norma hukum dan sistem pengecualiannya berperan secara bersamaan. Thomas Hobbes sangat monistik dalam memahami kekuasaan pemerintahan. Dalam pandangannya, sifat dan hakikat konflik ekstrim yang terjadi dan ancaman yang ditimbulkannya dalam relasi sosial memungkinkan untuk dilakukannya pengurangan atau reduksi hak dan kebebasan secara alamiah.

Namun demikian, menurut John Ferejohn dan Pasquale Paquino, pengusung paham dualisme terus mempengaruhi ide-ide konstitusionalisme modern melalui Nicollo Machiavelli, James Harrington, dan J.J. Rousseau. Pandangan mereka ini tercermin, misalnya, dalam artikel 48 Konstitusi Weimar 1919, dan juga dalam artikel 16 Konstitusi Perancis. Elemen “the neo-Roman tradition” terlihat dalam kenyataan diberi tempatnya pengaturan khusus mengenai keadaan darurat atau pemerintahan keadaan darurat itu dalam rumusan konstitusi.

Dalam teori konstitusi klasik di Inggeris, kita juga dapat menemukan pandangan dualis ini dalam hubungannya dengan doktrin hak prerogatif Raja (Praerogativa Regia). Seperti tergambar dalam buku John Locke[31], dalam perjanjian kedua (the Second Treatise), derogasi atau penyimpangan dari pemerintahan reguler dilakukan berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan dan subordinasi kekuasaan eksekutif kepada kekuasaan legislatif. Hak prerogatif Raja adalah kekuasaan tunggal (monokrasi) “kontra et extra legem” (bertentangan dan di luar hukum) dalam rangka melindungi “salus populi” atau keselamatan rakyat dan tertib konstitusi (constitutional order).[32] Perlu diperhatikan secara khusus, apakah doktrin ini memiliki dimensi yang demokratis atau, lebih tepat disebut “monarchomachic“, karena rakyat lah sebenarnya merupakan hakim terakhir yang menentukan penilaian atas penyalahgunaan hak prerogatif itu. Selama berevolusi menjadi “monarki konstitusional”, sistem kekuasaan di Kerajaan Inggeris berubah dari yang semula bersifat monokratis terpusat di tangan Raja atau Ratu menjadi polyarchis yang terdiri atas Raja dan Parlemen yang terdiri lagi atas 2 kamar, yaitu “House of Commons” dan “House of Lords”. Karena itu dualisme antara pemerintahan normal dan pemerintahan pengecualian merupakan suatu keniscayaan di Inggeris. Norma hukum yang normal dan norma pengecualian dalam suatu sistem hukum didasarkan atas prinsip kedaulatan parlemen (parliamentary sovereignty) atau lebih tepatnya sebagai suatu ‘gouvernement d’assemblée’ berdasarkan prinsp supremasi parlemen (supremacy of parliament).

Dalam pandangan dualistik, selalu ada keadaan di luar kebiasaan yang harus dikecualikan dari norma yang berlaku umum, yaitu keadaan yang tidak dapat diatur dengan cara-cara yang biasa atau menurut norma yang biasa. Pengecualian ini dapat dilihat, baik dari segi ontologis maupun dari segi epistemologis. Secara ontologis, norma dan pengecualian adalah dua dunia yang berbeda. Perbedaan ontoligis di antara keduanya bersifat objektif dan berbukti, yaitu bahwa setiap orang dapat mengakui adanya; Akibatnya, mekanisme yang netral dan tidak disengaja dapat dibentuk untuk mendeteksi kemunculannya atau berakhirnya norma dan pengecualiannya itu.

Beberapa pemikir lain yang cenderung kritis dan skeptis berpendapat, tidak ada bukti yang absolut mengenai adanya situasi yang harus dikecualikan yang orang pasti setuju atau tidak setuju mengenai adanya. Karena itu, kita harus mengaitkannya dengan organ atau institusi tertentu yang diberi kewenangan epistemic untuk menyatakan pengecualian itu ada dan/atau berakhir. Pendek kata, dari segi teori politik dan konstitusi, pengecualian dapat dianggap sebagai bentuk ancaman khusus terhadap tatanan politik yang normal. Pemberlakuannya dengan deklarasi merupakan deklarasi ancaman terhadap sistem republik atau tatanan demokrasi konstitusional suatu masyarakat politik dengan menjustifikasi pemerintahan pengecualian, yaitu rezim pemerintahan darurat. Logika pemerintahan pengecualian ini bersifat konservatif atau preservatif. [33] Fungsinya adalah untuk membentuk atau memulihkan kembali pemerintahan normal dengan seutuhnya, dan dalam waktu yang secepat-cepatnya.

MENGENDALIKAN KEKUASAAN DARURAT

Lingkup Pengendalian

            Dari Semua uraian teoritis tersebut di atas, akhirnya, yang paling penting dalam teori dan praktik ialah bagaimana kekuasaan negara dalam keadaan daurat, dikendalikan. Jika kita mengambil pelajar dari sejarah Romawi kuno, kita dapati bahwa dalam 300 tahun sejarah kediktatoran Romawi, mulai dari terbentuknya republik sampai jatuhnya Hannibal, menurut Nippel, tercatat 95 kali “dictatorship” yang memberlakukan pemerintahan darurat.[34] Para diktator pun selalu berganti-ganti. Selama periode itu, tidak ada dictator yang memerintah lebih dari 6 bulan, dan sampai dengan perang yang menyebabkan kekalahan Hannibal, tidak tercatat adanya perang yang dipimpin langsung oleh dictator keluar wilayah Italia. Artinya, sang penguasa (dictator) hanya memimpin perang untuk pertahanan di dalam negeri sendiri.

Sebagian dari alasan keberhasilan selama periode tersebut sampai terjadinya perang dengan Carthage, menurut Ferejohn dan Pasquino, karena struktur keadaan darurat yang harus dihadapi dinilai cocok dengan institusi kediktatoran Romawi ketika itu. Musim perang di Italia ketika itu memang rata-rata terjadi antara Maret sampai Oktober, sehingga periode 6 bulanan dianggap cocok. Ancaman yang datang cukup memberi alasan untuk menerapkan kediktatoran, yang pada umumnya datang dari tetangga Romawi atau karena invasi dari dari sekitar Romawi sendiri. Jika krisis datang dari konflik atau pemberontakan internal, biasanya dapat diatasi segera dalam jangka waktu singkat. Pendek kata, pengendalian terhadap “dictatorship” ketika itu, merupakan suatu percampuran yang kompleks antara mekanisme pengendalian yang bersifat “ex ante, interim, and ex post”.[35]

Yang dimaksud pengendalian ‘ex ante’ (ex-ante controls) itu tidak lain merupakan kontrol yang dilakukan sejak sebelum keadaan darurat diberlakukan. Sedangkan control ‘interim’ merupakan pengendalian yang dilakukan selama keadaan darurat berlangsung, dan ‘ex post controls’ adalah pengendalian ‘ex post’ untuk mengakhiri keadaan darurat dan hal-hal yang terjadi sesudah keadaan darurat berakhir. Pengendalian ‘ex ante’ di zaman Romawi kuno itu, dilakukan dengan keterlibatan semua struktur yang bersifat (hetero-investiture), yaitu: (i) sejak awal, sudah ditentukan, terdapat pemisahan antara entitas Senate yang mendeklarasikan keadaan darurat dengan seorang dictator yang menjalankan kekuasaan selama keadaan darurat itu: (ii) adanya ketentuan yang sudah ditetapkan lebih dulu mengenai batasan waktu periode 6 bulanan; dan (iii) larangan memimpin sendiri tentara keluar kota Italia. Meskipun demikian, pengendalian interim (interim controls) dapat dikatakan memang lebih kabur, karena sang penguasa atau “dictator” dapat menjalankan kekuasaan secara absolut, dengan perintah-perintah yang tidak dapat dibantah atau disanggah, baik oleh “the tribunes or the Senate”. Bagaimanapun “Senate”, mempunyai hak kontrol terhadap anggaran (budget), tetapi dalam praktik, Penguasa yang dipilih memang bekerja hanya untuk mengatasi krisis dan mengembalikan keadaan menjadi normal. Sang dictator biasanya dipilih dari antara mereka yang memang benar-benar dipercaya, karena sudah duduk di pemerintahan, atau mungkin mereka yang dikenal dan berpengalaman memimpin militer atau tokoh publik yang dikenal luas yang dinilai tidak lagi mempunyai ambisi lain kecuali untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh pemerintahan kota mereka. Lebih-lebih, ketentuan konstitusi dianggap cukup terang dan jelas, sehingga setiap tindakan pemerintahan yang dinilai bertentangan dengan norma konstitusi, dapat terawasi dengan baik.

Namun, bagaimanapun, mekanisme kontrol ini sangat tergantung kepada moralitas politik orang yang menduduki posisi dan menjalankan kedikatatoran yang bersifat monokratis (penguasa tunggal) itu dalam praktik kekuasaan. Bahkan, meskipun sudah ada teks konstitusi yang mengatur dan membatasi kekuasaan, selama moralitas nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak dihayati secara seksama dengan spirit dan moralitas para penguasa, pengendalian dimaksud menjadi tidak efektif. Karena itu, diperlukan pemantapan mengenai pengendalian “ex ante” yang lebih efektif untuk mencegah penyalahgunaan dalam pelaksanaan keadaan darurat.

Sejarah menunjukkan bahwa, seperti yang dikemukakan leh Lord Acton, kekuasaan itu cenderung disalahgunakan untuk kepentingannya sendiri, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Semakin absolut suatu kekuasaan, makin absolut pula penyalahgunaan yang dapat terjadi. Itu juga sebabnya, maka Plato menulis buku “Nomoi” sebagai karya ‘magnum opus’ yang paling tebal dibandingkan dengan buku-bukunya yang lain. Di buku ini ia mengubah pandangannya yang ia tulis dalam “Res Publica” tentang pentingnya Raja yang baik dan cerdas yang disebutnya dengan konsep “the philosopher’s King” untuk memimpin negara ideal. Dalam “Nomoi” yang diidealkan oleh Plato adalah “nomoi” atau norma aturan yang harus menentukan kualitas dan integritas kekuasaan. Dari sinilah muncul konsepsi “nomokratie” atau di kemudian hari menjadi cikal bakal konsep negara hukum modern, “the Rule of Law”, dan “Rechtsstaat”.

Di samping itu, juga diperlukan mekanisme “ex post control” yang lebih efektif dan terukur. Pada tahun 217 SM, menurut Livy, orang Romawi menolak kebijakan Fabius untuk mencari dan melecehkan Hannibal daripada memaksanya turun dan memilih ‘consul’ baru yang akan memimpin pemerintahan, yang bersedia berjanji untuk bekerja lebih agresif. [36]44 Sayangnya, keputusan popular itu justru menimbulkan terjadinya malapetaka di Cannae, dan, selanjutnya, menyebabkan Fabius terus terpilih menjadi ‘consul’ untuk dua kali lagi. Dari peristiwa ini, bagaimanapun, dapat dikatakan bahwa sistem dictator di zaman Romawi kuno ini telah memperlihatkan efektifitasnya, karena terbukti bahwa dictator dan sistem kediktatoran tidak selalu mengecewakan ekspektasi normatif para pemilihnya.[37]

Pendek kata, memang diperlukan adanya mekanisme pengawasan konstitusional terhadap kediktatoran dimana pihak yang menyatakan keadaan darurat (Senat) dan pihak yang mengangkat penguasa darurat yang disebut diktator (Konsul), bukanlah mereka yang menjalankan kekuasaan darurat itu sendiri dalam praktik. Jika dilihat dari sudut pandang konstitusional, hal ini merupakan “ex ante control” atas pemberlakuan keadaan darurat. Dapat digambarkan bahwa sebelum masa Hannibal menjadi diktator, situasi Roma telah berubah secara material. Hannibal tinggal dalam waktu yang sangat lama di Italia dan pola pemerintahan enam bulanan tidak cocok untuk menghadapi ancaman yang dialami oleh warga kota Roma. Lebih dari itu, solusi yang diperlu dilakukan untuk menghadapi masalah ini haruslah dengan mengizinkan tentara Romawi berperang ke luar wilayah Italia dan, harus pula siap untuk semakin lama semakin jauh dari kota selama bertahun-tahun. Padahal ketentuan yang berlaku dalam kediktatoran Romawi tidak memungkinkan untuk itu dan akhirnya aturan kediktatoran pun tidak lagi digunakan sampai pengangkatan Sulla dan akhirnya Julius Caesar yang terjadi dengan cara yang tidak biasa (reguler).

Keadaan Darurat Zaman Modern

Pemberlakuan keadaan darurat di zaman modern tentu sangat berbeda dari zaman Romawi kuno. Dewasa ini, sumber bencana yang membahayakan keselamatan warganegara dapat berbentuk dan diakibatkan oleh bermacam-macam sebab, baik sebab-sebab yang bersifat alami seperti bencana alam, maupun yang disebabkan oleh ulah manusia, seperti kerusuhan, pemberontakan, atau perang. Cara-cara yang mesti dilakukan oleh pemerintahan modern untuk dan dalam rangka menangani pelbagai krisis yang menimbulkan keadaan darurat itu juga beraneka ragam variasinya. Tidak semua keadaan darurat selalu harus dikaitkan dengan persoalan perang miiter bersenjata.

Ada dua ciri problematika pemerintahan darurat di zaman modern, yaitu bahwa (i) pemerintahan darurat kontemporer, tidak mudah dibatasi menurut ruang dan waktu; dan (ii) juga tidak jelas untuk sampai pada keadaan darurat, kekuasaan apa saja yang dibutuhkan untuk menghadapi dan mengatasinya. Dari segi yang pertama, tidak mudahnya menentukan pembatasan ruang dan waktu, menimbulkan momok yang mengkhawatirkan bahwa keadaan darurat yang bersifat sementara dapat berubah atau disalahgunakan menjadi permanen. Karena itu, dapat diterima akal sehat mengenai kemungkinan megembangkan pendekatan dualistic mengenai beroperasinya rezim keadaan darurat, di samping adanya rezim keadaan normal. Untuk itu diperlukan Batasan-batasan hukum (legal boundaries) mengenai keadaan darurat dan perubahannya menjadi keadaan normal, baik dalam ruang, waktu, atau pun dalam hal-hal yang tertentu. Kedua, di zaman kontemporer, terdapat semacam kesepakatan umum bahwa kekuasaan harus tersebar di banyak institusi yang terikat pada prinsip “checks and balances” di antara satu dengan yang lain. Prinsip pengelolaan kekuasaan berubah dari sifat “monokratis” (penguasa tunggal)  menjadi “nomokratis” tersebar berdasarkan norma aturan yang disepakati dengan actor yang terdistribusi di banyak tangan kekuasaan.

Karena itu, kita dapat menekankan bahwa sistem hukum keadaan darurat sama-sama harus diatur dengan baik bersamaan dengan sistem hukum keadaan normal. Di dalamnya terdapat aturan-aturan, hak-hak, dan prosedur-prosedur, betapapun terbatas sifatnya dalam pelaksanaannya, tetap harus ada, untuk mengantisipasi setiap keadaan yang timbul dalam perjalanan kehidupan bernegara. Dalam keadaan normal harus berlaku sistem hukum yang normal, dan dalam keadaan tidak normal mesti diberlakukan sistem hukum keadaan yang tidak normal pula. Dengan demikian, praktik penyeenggaraan kekuasaan negara di zaman sekarang, harus siap dengan dua kemungkinan keadaan, yaitu keadaan normal atau keadaan tidak normal. Dalam sistem konstitusi negara modern, rezim hukum yang beroperasi dalam keadaan darurat sama-sama harus tersedia di samping rezim hukum keadaan normal.

Namun, biasanya, kebanyakan rezim demokrasi modern dewasa ini, lebih menyukai dan lebih memutuhkan pengendalian yang bersifat “interim” dan “ex post control” dalam pelaksanaan pemerintahan darurat. Dalam sejarah Amerika Serikat, kecenderungan ini terlihat dalam dua hal.[38] Pertama, pengadilan telah mengambil peran penting dalam menilai dan mengawasi pelaksanaan pemerintahan dalam keadaan darurat serta dalam menguji kebijakan penangguhan hak-hak warga selama keadaan darurat berlangsung.[39]47 Meskipun banyak kaum “civil libertarians”, para aktifis kebebasan mengeluhkan bahwa pengadilan pada umumnya masih terlalu pasif menjalankan perannya dalam mengawal kebebasan sipil, banyak pengadilan yang sudah membukan diri, paling tidak untuk mendengarkan keluhan, tuntutan, permohonan serta argumen-argumen yang didalilkan oleh para pencari keadilan yang telah mencerminkan meningkatnya peran pengadilan di bidang ini. Bahkan pun jika pengadilan menolak suatu perkara atau menolak untuk ikut campur atau mengintervensi suatu tindakan-tindakan pemerintahan yang dianggap melanggar hak konstitusional warga, biasanya selalu ada pendapat yang berbeda atau “dissenting opinions” di antara para hakim yang memutus perkara yang bersangkutan, yang dapat dijadikan bahan untuk usaha pencarian keadilan lebih lanjut di masa mendatang.

Kedua, dapat dikatakan bahwa pada hakikatnya pemerintahan darurat di zaman moden sekarang ini, menyediakan pelbagai variasi yang lebih fleksibel dan menarik, yang di dalamnya dapat diramu atau dijahit untuk menghadapi hal-hal yang nyata. Ini dapat dijadikan alasan untuk penggunaan model legislatif secara lebih luas. Karena itu, Ferejohn dan Pasquino makin yakin dengan gagasan mereka tentang penguatan peran legislatif dari pemerintahan darurat. Bahkan dalam banyak hal, eksekutif mempunyai pilihan-pilihan konstitusional yang tepat dalam menjalankan fungsinya selama keadaan darurat.  Di natara banyak pemikir modern yang mendukung gagasan pemerintahan darurat konstitusional (constitutional emergency powers), dapat kita bedakan dalam dua posisi.

Pertama, mereka yang mengakui berlakunya prinsip “necessitas non habet legem” (necessity has no laws)[40] yang menentukan keabsahan keadaan darurat dan pemerintahan darurat, seperti misalnya Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat Rehnquist.[41] Kedua, sebaliknya, mereka yang mempersyaratkan adanya atau harus adanya norma hukum dan bahkan konstitusi yang mengatur adanya pemerintahan darurat (emergency government) itu. Yang terakhir ini dapat dibedakan antara (a) aliran neo-Roman model yang berpendapat bahwa pemerintahan pengcualian (exceptional government) harus diatur lebih dahulu (ex ante) dalam konstitusi yang menentukan pemerintahan yang bersifat adhoc (constitutional ad-hoc provisions), dan (b) aliran yang percaya bahwa undang-undang, undang-undang khusus, atau tindakan pemerintahan keadaan darurat yang bersifat khusus dinilai sudah lebih dari cukup untuk menghadapi segala macam krisis yang terjadi.

            Masing-masing pandangan tersebut, tentu mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri-sendiri. Tetapi, yang paling berbahaya karena paling mudah disalahgunakan, terutama di lingkungan negara-negara yang tingkat peradaban demokrasi dan hukumnya yang masih berkualitas rendah, ialah prinsip “necessitas non habet legem” (necessity has no laws) yang mengakui bahwa kebutuhan yang utama (necessitas) adalah hukum itu sendiri. Artinya, jika ada kebutuhan yang tidak dapat ditawar, maka kebutuhan itu adalah hukum itu sendiri yang dapat mengabaikan berlakunya hukum-hukum yang lain. Semua tujuan yang baik, dapat dicapai dengan cara apapun juga. Pendek kata, tujuan dapat menghalalkan segala cara, asalkan nyata bahwa tujuan itu merupakan suatu kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi. Namun dalam praktik, seringali sulit menentukan objektifitas tujuan dan kebutuhan objektif yang disebut sebagai “necessitas” itu. Akhirnya semua tergantung kepada penilaian subjektif pemegang kekuasaan yang akan diberi pembenaran oleh semua bawahan atau pendukung rezim politik dengan cara mengangkangi kekuasaan untuk dirinya sendiri.

            Pilihan kedua (b) juga mengandaikan peran legislatif yang sangat sentral dan dapat mengendalikan segalanya baik “interim control” maupun “ex post control”. Tetapi dalam sistem pemerintahan presidential, dengan pemegang kekuasaan yang cenderung monokratis, pilihan yang paling realistis untuk Indonesia adalah pilihan kedua (a) yaitu pengaturan tentang keadaan darurat ditentukanlebih dulu dalam UUD. Nyata, UUD 1945 juga sudah mengatur jelas mengenai hal itu, yaitu pada Pasal 12. Sayangnya pasal ini kurang mendaat perhatian untuk dipelajari secara mendalam oleh para sarjana hukum, sehingga tidak banyak yang memahami hakikat keberadaannya yang susungguhnya. Di samping itu, dalam semua pilihan di atas, satu hal yang diidealkan oleh semua model pemerintahan darurat yang ada, ialah pentingnya peran pengadilan. Sekarang pun Indonesia telah memiliki Mahkamah Konstitusi yang berperan aktif dalam menguji konstitusionalitas kebijakan yang dituangkan dalam bentuk undang-undang, di samping pengujian legalitas kebijakan yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung. Demikian pula gugatan terhadap legalitas keputusan-keputusan tata usaha negara juga dapat diajukan oleh pencari keadilan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan demikian, pemerintahan keadaan darurat terus dapat dikendalikan, baik oleh cabang kekuasaan legislatif di DPR dan DPR maupun oleh cabang kekuasaan kehakiman di lingkungnan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Mekanisme Pengendalian Konstitusional

Ada dua mekanisme yang dapat dilakukan untuk mengawasi dan mengendalikan pemerintahan darurat (emergency powers). Pertama, pengendalian dilakukan dengan model Romawi atau neo-Romawi yang memisahkan antara pejabat yang mendeklarasikan keadaan darurat dengan pejabat yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan darurat. Kedua, dapat pula diterima bahwa kedua fungsi deklarasi dan pelaksana pemerintahan darurat ada di tangan yang sama, tetapi keputusannya dapat terus menerus diawasi oleh lembaga parlemen, dan dapat pula diperkarakan atau diuji di pengadilan atau lembaga lain yang sejenis. Alternatif pertama merupakan pengendalian “ex ante” yang didesain untuk memastikan lembaga yang mendeklarasikantidak mendapatkan keuntungan apa-apa baik secara kelembagaan atau pribadi dengan deklarasi tersebut. Sedangkan alternatif kedua merupakan pengendalian ‘ex post control’ seperti dipraktikkan dalam putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Milligan dan Korematsu.[42] Kedua mekanisme pengendalian terhadap pemerintahan darurat itu dapat dirumuskan dalam konstitusi atau tidak, tetapi yang terpenting adalah diterapkan dalam praktik.

Meskipun demikian, seperti yang sudah saya jelaskan di atas, Indonesia berdasarkan UUD 1945, sudah menentukan pilihannya, yaitu pilihan kedua dengan tidak memisahkan fungsi deklarasi dengan fungsi pemerintahan pelaksana, tetapi dengan mengatur keadaan bahaya atau keadaan darurat itu dalam Pasal 12 UUD 1945. Ketentuan mengenai syarat-syarat dan akibat-akibat dari keadaan darurat itu diamanatkan oleh UUD 1945 agar diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Pasal 12 UUD 1945 jelas menentukan: “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang”. Artinya, Presiden yang menyatakan atau mendeklarasikan keadaan bahaya atau keadaan darurat, dan tentu Presiden pula yang memimpin pemerintahan dalam keadaan darurat itu. Namun, syarat-syarat sebagai “ex-ante control” dan akibatnya keadaan bahaya itu diatur lebih lanjut dalam dan dengan undang-undang yang tersendiri, yang di dalamnya dapat saja diatur dengan ketat sesuai dengan kewenangan DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang, yaitu agar pelaksanaan pemerintahan darurat it uterus menerus diawasi oleh parlemen, dan keputusan-keputusan serta kebijakan-kebijakannya yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dapat dijadikan objek pengujian, baik oleh Mahkamah Konstitusi maupun oleh lembaga peradilan dalam lingkungan Mahkamah Agung.

Dengan demikian, mekanisme pengendalian terhadap pemerintahan darurat dalam sistem hukum dan konstitusi Indonesia dapat mencakup “ex ante”, “interim”, dan bahkan “ex post controls”. John Ferejohn dan Pasquale Pasquino sendiri membedakan 4 hal dalam membuat klasifikasi mengenai pengaturan pemerintahan darurat ini dalam studinya, yaitu[43]: (1) siapa yang mendeklarasikan keadaan darurat; (2) siapa yang menjalankan kekuasaan pemerintahan darurat; (3) siapa yang menyatakan berakhirnya keadaan darurat; dan (4) siapa yang dapat ikut campur menilai atau mengadili pertanyaan-pertanyaan hukum yang berhubungan dengan keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh pemerintahan darurat.

Misalnya, menurut tradisi Romawi, (1) yang mendeklarasikan keadaan darurat adalah Senate berdasarkan konstitusi kebiasaan kerajaan Romawi kuno; (2) yang menjalankan pemerintahan darurat itu adalah Consul yang dipilih oleh Senate; dan (3) Konstitusi kebiasaan juga sudah menentukan pembatasan waktu berlakunya keadaan darurat, yaitu hanya untuk 6 bulan saja. Namun, menurut tradisi kuno itu, Consul sebagai pemegang kekuasaan tunggal (monocrat) memang tidak bersifat akuntabel, baik secara politik maupun hukum. Karena itu, dalam scenario modern, ada dua institusi penting yang mengambil peran penting dalam menilai dan mengendalikan pemerintahan darurat, yaitu lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, dan lembaga peradilan.

Dalam model legislatif yang diusulkan oleh Ferejohn dan Pasquino: (1) lembaga yang mendeklarasikan keadaan darurat adalah parlemen; (2) yang menjalankan pemerintahan darurat adalah kepala pemerintahan atas dasar wewenang delegasian dari parlemen (legislative delegation of executive power); (3) yang menyatakan berakhirnya keadaan darurat kembali lagi adalah parlemen; dan (4) yang dapat ikut campur dalam mengendalikan pelaksanaan pemerintahan adalah lembaga peradilan. Dalam hal ketentuan mengenai keadaan darurat ini hendak dimuat dalam UUD, maka diidealkan agar ketentuan konstitusi juga memuat mengenai keempat hal itu, yaitu: (i) qua deklarasi (qua-declaration); (ii) qua-pelaksana kekuasaan (qua-exercise); (iii) qua-penentu pengembalian kepada keadaan normal (qua reestablishment of normality), dan (iv) qua pengkendali terhadap pelaksanaan pemerintahan darurat.

Namun, model yang dianjurkan tersebut, tidak cocok dengan pemerintahan republik dengan sistem presidential seperti Indonesia. Pertama, kedaulatan rakyat Indonesia tidak terkumpul dan tercermin di lembaga DPR ataupun DPD. Dalam rangka pembentukan kebijakan bernegara, kedaulatan rakyat memang dapat tercermin di MPR ssebagai penjelmaan seluruh rakyat, tetapi bukan DPR ataupun DPD. MPR terdiri atas para anggota DPR dan anggota DPD sebagai keseluruhan dan bersama-sama sebagai penjelmaan seluruh rakyat yang bermusyawarah untuk menentukan kebijakan negara dan memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden jika terdapat kekosongan dalam jabatan di tengah jalan. Namun, kedaulatan rakyat juga secara langsung dapat memilih sendiri Presiden dan Wakil Presiden melalui pemiihan umum. Karena itu, kedaulatan menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, tetap berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kedaulatan rakyat itu tidak berpindah ke DPR, ke DPD, ataupun ke MPR. Kedaulatan tetap berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Artinya, kekuasaan negara dalam keadaan darurat tidak mungkin dikonstruksikan berada di tangan DPR, DPD, ataupun MPR. Dalam sistem pemerintahan presidential, Presiden lah yang merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan, yang memegang kekuasaan asli dan sekaligus kekuasaan sisa. Dalam sistem presidential itu, pusat kekuasaan yang berasal dari rakyat itu ada di tangan Presiden, kecuali yang menurut UUD dan UU sudah dengan tegas diberikan kepada lembaga-lembaga negara lainnya, yang tidak dapat lagi dicampuri oleh Presiden. Di luar semua kekuasaan yang sudah diatur dan dibatasi itu, tetap adalah kekuasaan rakyat yang dimandatkan kepada Presiden untuk menjalankannya dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat yang berdaulat. Oleh sebab itu, model legislatif yang diidealkan oleh John Ferejohn dan Pasquale Pasquino tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Kedua, keempat aspek yang dibahas oleh Ferejonhn dan Pasquino tersebut di atas, dapat dikatakan kurang lengkap. Karena dalam praktik di Indonesia, kita dapat membedakan antara pengawasan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, dengan pengawasan dan pengendalian yang dilakukan oleh lembaga peradilan yang dapat berlangsung simultan. Selama pelaksanaan pemerintahan darurat dan akibat hukum keputusan, kebijakan, dan tindakan  pemerintahan darurat terus menerus dapat diawasi oleh DPR dan DPD sesuai kewenangan konstitusionalnya masing-masing, serta dapat terus menerus terbuka untuk diperkarakan di pengadilan oleh siapa saja yang berkepentingan untuk mendapatkan keadilan. Objek pengawasan dan pengujian yang dilakukan dapat terdiri atas (a) keputusan-keputusan administrasi negara atau keputusan tata usaha negara, (b) produk peraturan perundang-undangan yang memuat kebijakan-kebijakan pemerintahan dan pembangunan selama keadaan darurat, ataupun (c) tindakan-tindakan pemerintahan yang dinilai merugikan hak-hak konstitusional dan hak-hak perdata warganegara. Semua itu dapat diawasi dan dinilai secara politik oleh lembaga politik di parlemen, atau dinilai, diuji, dan diadili di forum peradilan sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pengadilan Tata Usaha Negara mengadili produk-produk keputusan administrasi negara atau tata usaha negara. Pengadilan Negeri memeriksa, memutus, dan mengadili gugatan perdata ataupun tuntutan pidana. Mahkamah Agung menguji legalitas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, dan Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang ataupun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Dengan demikian sistem konstitusi Indonesia sudah jauh lebih maju dari apa yang dikaji dan ditawarkan oleh John Ferejohn dan Pasquale Pasquino. Sayangnya, ketentuan Pasal 12 UUD 1945 sebagai satu-satunya pasal yang mengatur mengenai soal ini sama sekali belum dipahami dengan benar, dan kebanyakan orang menghindar untuk mengatur penjabarannya lebih lanjut dengan undang-undang. Akibatnya sampai sekarang, ketentuan penjabaran Pasal 12 UUD 1945 yang masih berlaku “de-jure” hanya UU No 23 Tahun 1959 yang sudah sangat ketinggalan zaman. Semua UU yang mengatur keadaan krisis, bencana, atau kondisi darurat, tidak satupun yang mencantumkan Pasal 12 UUD 1945 sebagai rujukan yang “menakutkan” ini. UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, UU No. 6 Tahun 2008 tentang Karantina Kesehatan, dan bahkan PERPU No. 1 Tahun 2020, tidak satupun menyebut Pasal 12 UUD 1945 sebagai rujukan. Akibatnya, semua menjadi serba salah. Keadaan sudah terlanjur sebagai keadaan darurat “de-facto” (emergency de-facto) tetapi tidak diakui sebagai keadaan darurat secara “de-jure” (emergency de-jure).

Dengan demikian, mekanisme pengendalian konstitusional terhadap pemerintah daruat menurut sistem konstitusi Indonesia dapat digambarkan secara komprehensif, mulai dari tahap penentuan atau pemberlakuan (ex-ante control), pada tahap penyelenggaraan pemerintahan darurat (interim control), dan pada tahap pengakhiran keadaan darurat (ex-post control). Menurut sistem yang berlaku berdasarkan Pasal 12 UUD 1945, dapat dirumuskan pprinsi-prinsip ketentuan sebagai berikut:

Karena itu, selama berada dalam keadaan darurat, lembaga-lembaga perwakilan rakyat, baik DPR maupun DPD, dan lembaga-lembaga peradilan, baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi terus harus bekerja intensif dalam menjalankan tugas konstitusionalnya masing-masing untuk mengawasi, menguji, memeriksa, mengadili, dan memutus segala perkara diajukan oleh para pencari keadilan. Para pencari keadilan dapat dapat mengajukan tuntutan aspirasi politiknya kepada DPR dan/atau DPD, atau dapat pula mengajukan gugatan, permohonan, dan upaya hukumnya kepada pengadilan sesuai dengan kewenangannya masing-masing, yaitu untuk mepersoalkan legalitas dan/atau konstitusioal:

Pendek kata, pemerintahan darurat menurut hukum Indonesia harus dibangun dengan pengawalan konstitusional yang ketat. Tanpa pengawalan atau pengendalian, kekuasaan keadaan darurat mudah terperosok ke dalam kediktatoran yang tidak terkendali. Dapat terjadi zaman sudah berubah tetapi rezim politiknya terus berkuasa dengan menunggangi atau menyalahgunakan rezim hukum keadaan darurat. Sebaliknya, dapat pula terjadi, rezim politik sudah berganti, tetapi rezim hukumnya terus dipelihara untuk keuntungan dan kemudahan kekuasaan oleh rezim baru yang ingin menikmati kekuasaan tanpa kendali. Atau, dapat pula terjadi bahwa hukum keadaan darurat it uterus dipertahankan ntuk dipakai sebagai sarana melembagakan proses pergantian rezim politik dari waktu ke waktu dengan mengabaikan pelembagaan sistem pergantian kekuasaan secara konstitusional menurut UUD.

Seperti dikatakan oleh Carl Schmiit, musuh kita dengan demikian berubah, bukan lagi sang diktatornya sendiri yang disebutnya “Souverane Diktatur[44] yang biasa dianggap menjadi ancaman terhadap sistem politik atau tatanan politik bernegara (political order), tetapi tatanan politik itu sendiri itu sendirilah yang justru mengancam pemerintahan baru yang hendak dibentuk untuk menyesuaikan diri dengan tatanan politik yang semula dimaksudkan hanya untuk sementara waktu. Namun, doktrin mengenai kesementaraan ini juga sudah terbuka dalam sejarah, dengan begitu lamanya tahta kekuasaan dikangkangi oleh paham marxisme-komunisme di banyak negara yang mengklaim kekuasaan rezim diktator Leninis ataupun Maois yang juga dimaksudkan bersifat sementara untuk mencapai tujuan akhir masyarakat komunis proletariat sebagai masa transisi menuju dunia baru.

Anatomi Ancaman, Kualifikasi Kedaruratan dan Ragam Metode

Sebenarnya, ancaman eksternal dalam kehidupan umat manusia merupakan sesuatu yang lumrah, selalu ada. Hanya saja tingkat bahaya yang ditimbulkan oleh ancaman itu berbeda-beda gradasinya. Di samping itu, sumber ancaman itu juga dapat datang dari mana saja yang pada pokoknya bersifat perbenturan atau konflik kepentingan antar subjek yang bagi satu pihak dipandang sebagai ancaman yang datang dari pihak yang lain. Dalam peri-kehidupan Bersama umat manusia, ancaman itu dapat datang dari sesama manusia atau kearena ulah manusia sendiri, tetapi dapat pula datang sebab-sebab alam di luar kehendak dan kuasa manusia. Memang benar, kadang-kadang, kerusakan alam sehingga menyebabkan bencana, juga disebabkan oleh perbuatan manusia juga, tetapi sifatnya tidak langsung. Misalnya, kerusakan hutang berlangsung puluhan atau bahkan ratusan tahun sehingga menyebabkan banjir bandang yang menyengsarakan penduduk dari generasi baru yang tidak terlibat melakukan perusakan hutan dari generasi sebelumnya. Karena itu, bencana alam dapat disebut sebagai bencana di luar kehendak dan disebabkan secara langsung oleh perilaku manusia.

Ancaman bencana yang disebabkan oleh perilaku manusia juga dapat dibedakan lagi, antara perilaku politik yang terkait dengan kekuasaan, atau perilaku sosial dan ekonomi yang langsung berhubungan dengan kekuasaan, apalagi dengan menggunakan tindakan kekerasan dan bersenjata. Karena itu, ada ancaman (i) perang berupa konflik antar negara atau invasi bersenjata dari negara lain, ataupun (ii) kegiatan operasi militer untuk menghadapi kelompok separatis bersenjata, atau pemberontak yang tidak mengakui atau melawan penguasa resmi. Keduanya kadang-kadang dibedakan antara pengertian tentang darurat perang dan darurat militer biasa atau darurat militer non-perang. Tetapi, menurut pendapat saya, sebaiknya keduanya sama-sama dinamakan keadaan darurat militer yang dapat dibedakan antara keadaan darurat perang dan darurat militer biasa atau non-perang.

Di luar kedua kategori di atas, atau di luar kategori darurat militer dalam arti luas, sudah seharusnya dilihat sebagai jenis ancaman yang sangat berbeda, karena itu biasa dinamakan sebagai (iii) keadaan darurat sipil. Pembedaan di antara kedua kategori darurat militer dan darurat sipil ini sangat penting untuk memastikan agar semua orang tidak salah memahami pengertian keadaan darurat yang biasanya selalu dilihat dengan perspektif politik sipil-militer. Keadaan darurat sipil harus dibatasi pengertiannya hanya dalam konteks ancaman keadaan darurat yang harus ditangani dan dihadapi oleh pemerintahan sipil dalam keadaan darurat. Ancaman bahaya dalam keadaan darurat sipil dapat datang dari:

  1. Konflik sosial yang bersifat horizontal yang menimbulkan kerusuhan massal disebabkan oleh (a) konflik pribadi warga dengan pribadi warga, atau (b) konflik kelompok warga dengan kelompok warga yang lain.
  2. Kerusuhan sosial yang bersifat vertikal (a) antara kelompok warga dengan aktor kekuasaan negara dan politik, ataupun (b) antar kelompok warga dengan korporasi yang dilindungi oleh pelaku politik kekuasaan negara.
  3. Bencana alam yang terjadi di darat, laut, dan/atau di udara, seperti angin topan dan badai, banjir bandang, gelombang tsunami, kebakaran hutan, gunung berapi metetus, liquipaksi, dan sebagainya yang mengancam keselamatan (a) warganegara, penduduk, dan kehidupan manusia; (b) mengancam kehidupan hewan dan tumbuh-tumbuhan; dan/atau (c) merusak keseluruhan eko-sistem kehidupan.
  4. Ancaman bencana non-alam atau yang bersifat campuran antara bencana yang disebabkan oleh gejala alam dan sekaligus oleh ulah atau periaku manusia, seperti krisis moneter yang bersifat sistemik, wabah pandemic penyakit menular, dan sebagainya. Bencana seperti ini dapat disebut sebagai bencana non-alam, tetapi sekaligus juga merupakan bencana alam yang di dalamnya terkait juga dengan akibat perilaku manusia. Sama halnya dengan bencana kebakaran hutan, gempa bumi, dan sebagainya, juga ada kaitan dengan ulah manusia yang merusak lingkungan hidup, dan sebagainya.

Gradasi dan kualifikasi berat-ringannya ancaman juga terkait dengan luasan wilayah terdampak. Karena itu lokasi ancaman dapat dibedakan antara:

  1. Ancaman berskala global;
  2. Ancaman berskala regional antar negara;
  3. Ancaman berskala nasional;
  4. Ancaman berskala antar beberapa provinsi tertentu, tetapi tidak bersifat massif dalam skala nasional;
  5. Ancaman berskala antar-kabupaten atau kota lintas dalam 1 provinsi, atau
  6. Ancaman berskala 1 wilayah kabupaten atau 1 wilayah kota tertentu.

Dalam kaitannya dengan tanggungjawab negara, ancaman terbesar tentu terkait dengan ancaman berskala nasional. Semakib luas lingkup bahaya nasional yang mengancam, semakin tinggi pula derajat bahaya yang harus dihadapi sistem kekuasaan nasional. Sedangkan terhadap bahaya yang hanya berskala daerah 1 kabupaten atau 1 kota, penanganannya dapat dilimpahkan untuk diselesaikan sebagaimana mestinya oleh pemerintahan daerah setempat. Namun, satu hal yang tidak dapat ditawar-tawar adalah status hukumnya yang resmi, yaitu untuk diberlakukan sebagai keadaan darurat menurut ketentuan Pasal 12 UUD 1945, maka keadaan darurat yang bersifat nasional, provincial, ataupun terbatas dalam 1 lingkup kabupaten dan ataupun hanya pada lingkup suatu kecamatan atau desa tertentu saja, atau pulau kecil tertentu saja, tetap harus ditentukan dan bahkan dideklarasikan oleh Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang berwenang mengubah status hukum suatu kawasan atau wailayah sebagai daerah yang menjadi daerah diikat oleh hukum dalam keadaan darurat. Deklarasi dimaksud, bukan sekedar tindakan atau pengumuman dengan mengadakan “konperensi pers” biasa, melainkan deklarasi yang mengubah karakter hukum tata negara dari keadaan normal kepada keadaan darurat. Deklarasi atau proklamasi tentang keadaan darurat itu berisi pemberlakuan hukum keadaan darurat yang dijalankan oleh pemerintahan darurat nasional ataupun darurat setempat yang hasil pelaksanaan tugasnya harus dipertanggungjawabkan langsung kepada Presiden Republik Indonesia sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan maupun sebagai Panglima Tertinggi, baik dalam keadaan darurat militer (termasuk perang) ataupun keadaan darurat sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 UUD 1945.

Sasaran ancaman bahaya dalam keadaan darurat sipil, yaitu (i) konflik sosial yang bersifat horizontal, (ii) kerusuhan sosial yang bersifat vertical, dan (iii) bencana alam sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dibedakan sebagai berikut:

  1. Ancaman terhadap keselamatan warga, penduduk, atau umat manusia; dan/atau
  2. Ancaman terhadap eko-sistem kehidupan yang pada akhirnya juga membahayakan hidup manusia; dan/atau
  3. Ancaman terhadap efektifitas sistem norma hukum yang berlaku dalam keadaan normal, sehingga organisasi pemerintahan tidak dapat bekerja efektif menurut hukum yang biasa.

Ancaman pertama merupakan derajat ancaman dengan kualifiasi yang dapat dikatakan tertinggi. Terkait dengan wadah pandemic Covid-19, misalnya, dapat disebut sebagai contoh mengenai keselamatan warga yang mesti diutamakan, sesuai dengan adagium “solus populi, suprema lex esto”. Keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi. Demikian pula ancaman kedua, bagaimanapun juga pada akhirnya akan membahayakan dan mengancam keselamatan umat manusia yang tidak harus dihadapi dengan melibatkan kekuatan bersenjata yang terkait dengan pengertian darurat militer. Secara teoritis, jika terjadi bencana yang bersifat massif, maka sistem pemerintahan menurut aturan hukum yang biasa tidak akan dapat bekerja dengan efektif, kecuali dengan menggunakan ukuran-ukuran lain atau aturan-aturan berbeda yang lebih efektif untuk diterapkan dalam keadaan tidak darurat.  Dalam keadaan darurat itu, hukum yang normal tidak akan efektif dan juga jika diterapkan tidak akan menghasilkan keadilan.

            Dalam memetakan lingkungan dan derajat kedaruratan tersebut, dapat saja dibuatkan urutan prioritas, misalnya: (i) keselamatan rakyat didahulukan sebagai prioritas ke-1, (ii) keselamatan eko-sistem kehidupan sebagai prioritas ke-2, dan (iii) efektifitas pemerintahan sebagai prioritas ke-3 untuk menentukan (a) lamanya keadaan darurat diberlakukan, (b) keterlibatan pihak-pihak atau pelaku kekuasaan negara yang mengendalikan dan menentukan keberlakuan keadaan darurat.

Ancaman bahaya yang diakibatkan oleh (i) konflik sosial yang bersifat horizontal, (ii) kerusuhan sosial yang bersifat vertical, dan/atau (iii) bencana alam dan/atau non-alam sebagaimana dikemukakan di atas, dapat menimbulkan konflik di antara warga atau kelompok warga dengan para pelaku kekuasaan atau antar pelaku kekuasaan, yang dibedakan dalam 4 subjek, yaitu:

  1. Pembuat kebijakan;
  2. Pelaksana kebijakan;
  3. Penengah atau pengadilan; dan
  4. Pelaku campuran yang dapat dibedakan lagi antara:
  5. Pelaku campuran 1: pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan;
  6. Pelaku campuran 2: pembuat kebijakan dan pengadilan;
  7. Pelaku campuran 3: pelaksana kebijakan dan pengadilan; dan
  8. Pelaku campuran 4: pembuat kebijakan, pelaksana, dan sekaligus pengadilan.

Semakin tinggi tingkat bahaya kedaruratan, sebaiknya semakin luas pula keterlibatan lembaga-lembaga kekuasaan negara dalam penentuan dan pengendalian terhadap kebijakan dan tindakan pemerintahan darurat selama menjalankan tugasnya semata-mata untuk tujuan: (i) menyelamatkan warga, mengatasi dan menaggulangi masalah-masalah beserta segala akibat yang timbul dari keadaan bahaya; dan (ii) mengembalikan keadaan kepada keadaan semula dengan pemerintahan biasa yang bekerja menurut ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dalam keadaan normal. Dalam hal bencana yang terjadi mengancam dan membahayakan kehidupan nasional, maka sistem pengendalian selama keadaan darurat dapat melibatan peran lembaga perwakilan dan lembaga peradilan secara simultan dengan lingkungan kewenangan yang dapat diatur dalam undang-undang tentang keadaan darurat atau setidaknya dalam PERPPU yang secara khusus diberlakukan untuk dan dalam keadaan darurat yang bersangkutan.

            Tingkatan bahaya kedaruratan dan karakteristik keadaan bahaya yang timbul juga menentukan lamanya keadaan darurat dapat diberlakukan. Dalam Undang-Undang harus diatur dan ditentukan bahwa tujuan pemberlakuan suatu keadaan darurat sebagaimana sudah disebutkan dia atas adalah: (i) untuk menyelamatkan warga, mengatasi dan menaggulangi masalah beserta segala akibat yang timbul dari keadaan bahaya; dan (ii) untuk mengembalikan keadaan kepada keadaan semula dengan pemerintahan biasa yang bekerja menurut ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dalam keadaan normal. Karena itu, prediksi mengenai lamanya ancaman sangat penting untuk menentukan: (1) lamanya keadaan darurat yang secara eksplisit harus dibatasi, yaitu paling lama misalnya 3 bulan saja, dan (2) tenggat waktu 3 bulan itu bersifat mutlak atau dengan hak perpanjangan paling lama 3 bulan lagi atau ditentukan menurut kebutuhan, atau (3) penilaian mengenai lamanya waktu tersebut diserahkan sepenuhnya kepada lembaga parlemen untuk menentukan sesuai dengan perkembangan dinamika keadaan bahaya. Misalnya bahaya Covid-19 belum dapat diprediksi secara pasti kapan akan berakhir, sehingga ketentuan mutlak pembatasan waktu 3 bulan, 6 bulan atau lainnya bersifat relatif dan sangat dinamis. Karena, pada akhirnya, yang terpenting adalah keselamatan rakyat. “Solus populi suprema lex esto”, keselamatan rakyat adalah hukum yang tertinggi; dan “Necessitas non habet legem”, Kebutuhan atau nesessitas tidak lain adalah hukum itu sendiri.

            Prinsip pembatasan ini harus dipahami bersifat konstitusional, karena selama keadaan darurat, pelbagai ketentuan undang-undang dasar sebagai norma hukum tertinggi dan bahkan norma etika tertinggi dapat dikesampingkan atau ditangguhkan berlakunya oleh Pemerintahan Darurat. Karena itu, pembatasan waktu ini idealnya diatur tegas dalam UUD 1945. Dalam Konstitusi India, misalnya, hal ini eksplisit ditentukan pembatasan selama 3 bulan. Tetapi dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang mengatur mengenai PERPU, hanya ditentukan secara implisit, yaitu peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang yang dibentuk untuk dan dalam keadaan darurat harus diajukan untuk mendapatkan persetujuan DPR daam persidangan yang berikut. Artinya, jika keadaan darurat dilakukan dengan PERPU atau dideklarasikan dengan diiringi dengan penetapan PERPU yang akan menjadi landasan operasional bekerjanya pemerintahan darurat, harus sudah diajukan epada DPR dalam masa sidang yang berikut. Jika PERPU ditetapkan di masa awal sidang sebelumnya, maka berarti PERPU itu sudah harus diajukan dan paling lambat sudah mendapat persetujuan atau keputusan penolakan pada akhir masa sidang berikutnya, yaitu 4-5 bulan kemudian.

Mengapa demikian? Karena menurut peraturan tata tertib, dalam satu tahun sidang, waktu kerja DPR dibagi menjadi empat atau lima masa persidangan. Dimana setiap masa persidangan terdiri dari masa sidang dan masa reses. Karena itu, rata-rata masa sidang dan reses itu hanya sekitar 2-3 bulanan. Artinya, waktunya cukup pendek. Tentu yang dimaksud disini bukanlah mengenai lamanya keadaan darurat, melainkan mengenai masa berlakunya PERPU untuk sementara waktu. Namun, setiap keadaan darurat pasti diiringi dengan penerbitan PERPU, sehingga ada kaitan antara lamanya waktu pemberlakuan keadaan darurat yang diatur oleh Pasal 12 UUD 1945 yang dijabarkan lebih lanjut oleh UU No 23 Tahun 1959, dengan lamanya waktu pembahasan PERPU berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945.

Memang ada masalah jika hal ini dikaitkan dengan contoh PERPU No. 1 Tahun 2020 yang ditetapkan dalam rangka menghadapi krisis akibat ancaman wabah Vovid-19. Karena, PERPU No. 1 Tahun 2020 ini sama sekali tidak terkait dan dikaitkan dengan ketentuan Pasal 12 UUD 1945, sehingga tidak termasuk kategori PERPU untuk dan dalam keadaan darurat sipil sebagaimana ditentukan oleh UU No. 23 Tahun 1959. Namun, terlepas dari hal itu, yang jelas keadaan krisis yang ditimbulkan oleh bahaya Covid-19 yang dijadikan pertimbangan dalam PERPU No. 1 Tahun 2020 ini belum dapat ditentukan dengan pasti sampai berapa lama akan berakhir. Selama keadaan krisis Covid-19 ini masih berlangsung, PERPU No. 1 Tahun 2020 ini dibutuhkan oleh pemerintahan untuk bertindak dan menjalankan tugas konstitusionalnya sesuai dengan untuk pemberlakuan PERPU tersebut. Hal itu juga tercermin dalam judul PERPU) No. 1 Tahun 2020 ini, yaitu tentang “Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan”[45].

Ketiga tujuan itu, yaitu untuk: (i) penanganan pandemic covid-19, dan/atau (ii) menghadapi ancaman yang membayakan perekonomian nasional, dan/atau (iii) menjaga stabilitas sistem keuangan juga tercermin dalam rumusan pertimbangan (Konsideran Menimbang) PERPU ini, yaitu:

  1. bahwa penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang dinyatakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) sebagai pandemi pada sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu dan telah menimbulkan korban jiwa, dan kerugian material yang semakin besar, sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat;
  2. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak antara lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional, penurunan penerimaan negara, dan peningkatan belanja negara dan pembiayaan, sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan focus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety netl, serta pemulihan perekonomian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang terdampak;
  3. bahwa implikasi pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) telah berdampak pula terhadap memburuknya sistem keuangan yang ditunjukkan dengan penurunan berbagai aktivitas ekonomi domestic sehingga perlu dimitigasi bersama oleh Pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan tindakan antisipasi (forward lookingl dalam rangka menjaga stabilitas sektor keuangan;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, Pemerintah dan lembaga terkait perlu segera mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan melalui berbagai kebijakan relaksasi yang berkaitan dengan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) khususnya dengan melakukan peningkatan belanja untuk kesehatan, pengeluaran untuk jaring pengaman sosial (social safety netl, dan pemulihan perekonomian, serta memperkuat kewenangan berbagai lembaga dalam sector keuangan;
  5. bahwa kondisi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, telah memenuhi parameter sebagai kegentingan memaksa yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Namun, jika dikaitkan dengan keharusan masa berlakunya pemerintahan darurat yang dapat bertindak berdasarkan ketentuan dan doktrin mengenai hukum keadaan darurat, pada saatnya PRPU No. 1 Tahun 2020 itu akan menghadapi problem mengenai jangka waktu berlakunya yang tidak pasti. Sudah tentu, jika pada waktunya nanti alasan ditetapkannya PERPU ini sudah berakhir, maka dengan sendirinya PERPU ini sebaiknya dicabut tetapi oleh karena waktunya belum dapat dipastikan, maka PEPPU tersebut jangan dulu diputuskan oleh DPR untuk diterima atau dikabulkan sebagaimana lazimnya PERPU yang diajukan oleh Presiden kepada DPR. Sebaliknya, jika PERPU diterima dan kemmudian menjadi UU yang bersifat permanen, timbul pula masalah lain, karena Sebagian isinya jelas melanggar UUD 1945, seperti memberiperlakuan istimewa kepada petugas, sebaliknya mengenakan ancaman sanksi yang sangat berat kepada pelanggar hukum yang melebih ketentuan undang-undang dalam keadaan biasa. Bahkan PERPU No. 1 Tahun 2020 juga mengesampingkan atau menagguhkan berlakunya begitu banyak ketentuan UU lain yang secara hukum hanya mungkin dilakuan oelh suatu PERPU untuk dan dalam keadaan darurat sebagai pelaksanaan Pasal 12 UUD 1945. Padahal PERPU No. 1 Tahun 2020 ini sama sekali tidak menjadikan Pasal 12 UUD 1945 sebagai rujukan atau acuan.

Oleh karena itu, pengaturan tentang pembatasan waktu, untuk pemberlakuan suatu keadaan darurat yang memungkinkan pemerintahan darurat mengesampingkan keberlakuan pasal-pasal UU atau bahkan pasal-pasal UUD untuk sementara waktu, mutlak harus dilakukan dalam UUD atau dengan UU mengenai hal itu. Hal itu, sebagai pilihan dapat diatur dengan UU yang tersendri sebagai penjabaran Pasal 12 UUD 1945, atau PERPU yang diberlakukan untuk menetapkan dan sekaligus mengatur hal-hal di luar kebiasaan untuk mengatasi keadaan darurat. UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya sampai sekarang masih berlaku, dan karenanya tetap masih harus dijadikan landasan hukum untuk memberlakukan keadaan darurat. Namun, karena UU ini sudah sangat ketinggalan zaman, perlu segera diadakan perubahan mendasar atau bahkan penggantian dengan undang-undang baru berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesudah era reformasi. Sementara itu, semua undang-undang yang mengatur hal-hal yang berkenaan dengan keadaan yang dimaksud dengan keadaan bahaya menurut Pasal 12 UUD 1945, sebaiknya diperbaiki dan secara sadar dikaitkan dengan penjabaran ketentuan Pasal 12 UUD 1945 sebagai satu-satunya pasal yang mengatur mengenai keadaan bahaya atau keadaan darurat sebagaimana dikenal di seluruh dunia, dan juga dimuat dalam sebabian besar konstitusi-konstitusi negara modern di dunia, sepanjang berkaitan dengan persoalan hukum keadaan darurat ini.

            Dari pekbagai uraian di atas, dapat disimpulkan adanya dua an pembenar untuk menyatakan pentingnya memuat ketentuan mengenai keadaan darurat dalam undang-undang dasar. Pertama, di dalam sistem pemerintahan negara yang berbentuk republik, standar yang diperlukan untuk melindungi kebabasan dan hak asasi manusia dalam keadaan darurat terlalu rumit untuk menjaga dan melestarikan prinsip-prinsip republic itu sendiri, sehingga ketentuan mengenai hal ini harus dituangkan dalam hukum tertinggi, yaitu konstitusi. Dalam sistem dikator, pengambilan keputusan cukup ditentukan oleh satu orang, tetapi dalam sistem republic, suara rakyat tercermin dalam banyak orang yang mewakili rakyat yang berdaulat, dan tercermin di banyak institusi bernegara yang cenderung lamban dalam proses pengambilan keputusan. Seperti dicontohkan oleh Machiavelli dengan pengalaman Republik Venesia (Venetian Republic, 697- 1797 AD) sesudah runtuhnya Romawi kuno, karena banyaknya pihak yang mestinya terlibat daam proses pengambilan keputusan, diperlukan pengaturan khusus yang memungkinkan pengambilan keputusan berlangsung cepat tanpa harus melakukan konsultasi yang luas[46]. Karena itu, di negara republik yang demokratis diperlukan pengaturan khusus mengenai keadaan berbahaya yang bersifat darurat dan mendesak itu dalam konstitusi.

Namun, bagi Machiavelli, ada tidak pengaturan dalam konstitusi ini juga tidak bersifat mutlak. Baginya, dalam suatu republik memang tidak seharusnya ada pemerintahan yang bertindak sebagai dictator yang memerintah dengan cara di luar kebiasaan (exktraordinary). Kalaupun terpaksa ada, maka hal itu, haruslah sudah diatur lebih dulu untuk membatasi waktunya dengan pasti dengan metode yang di luar kebiasaan (extraordinary). Namun, meskipun metode ini dapat dilakukan dengan baik di saat keadaan darurat, tetapi tidak kurang contoh yang dapat dijadikan pelajaran, meskipun tujuannya baik, tetapi jika terus dipakai, akan menghasilkan keburukan (evil). Karena itu, yang terpenting bagi Machiavelli adalah kepastian bahwa negara republic harus siap untuk menghadapi keadaan normal maupun keadaan tidak normal, meskipun hal itu tidak diatur langsung dalam konstitusi. Jika suatu metode yang serupa tidak ada di republic, pilihannya adalah menerima kenyataan bahwa insitusi-institusi negara akan merusak negara republik, atau agar tidak rusak, republik lah yang mesti memecah institusi-institusi negara itu sehingga tidak membentuk diri menjadi dictator sebagai penguasa tunggal. Karena itu, menurut Machiavelli, tidak akan ada republik yang sempurna kecuali melengkapi diri dengan perangkat hukum konstitusi yang menyediakan upaya perbaikan untuk setiap peristiwa dan keadaan, serta memperbaiki cara menanganinya berdasarkan konstitusi.[47] Dengan demikian, dalam republik dalam keadaan se-darurat atau se-bahaya apapun, tetap tidak boleh ada tempat bagi penguasa diktator atau yang semacamnya.

Kedua, pentingnya ketentuan mengenai pemerintahan darurat itu dimuat dalam konstitusi untuk melindungi sistem hukum yang beroperasi rutin dalam keadaan normal dari apa yang terjadi dalam keadaan darurat. Bagi kelompok dualis, dalam konstitusi memang harus ada ketentuan yang dimuat mengenai dua sistem hukum sekaligus, yaitu sistem hukum keadaan normal, dan sistem hukum keadaan abnormal. Yang pertama beroperasi dalam keadaan normal utnuk melindungi kebebasan dan hak-hak asasi manusia, sedangkan yang kedua yang cocok untuk berurusan dengan keadaan darurat. Karena itu, tidak ada tempat lain yang lebih tepat untuk mewadahi pengaturan mengenai sistem hukum yang kedua ini, kecuali seharusnya dalam UUD sebagai sumber hukum tertinggi dalam kegiatan bernegara.

Bahkan dalam pengalaman di zaman modern, seperti di republik Amerika Serikat, sangat ditekankan bahwa fungsi pengendalian terhadap kekuasaan pemerintahan darurat itu juga dikebangkan dalam praktik dengan dengan dilibatkannya lembaga legislatif dan lembaga peradilan untuk semakin berperan dalam praktik, bahkan dalam keadaan darurat perang sekalipun seperti terlihat dalam kasus Korematsu (1944) dan Richard Quirin (1942)[48], dapat berkembang sendiri konvensi ketatanegaraan atau menjadi semacam ekperimen mengenai regulasi konstitusional mengenai keadaan darurat atau pemerintahan darurat ini berdasarkan Konstitusi Amerika Serikat. Karena itu, sangat lah wajar dan alamiah jika di Amerika Serikat praktik pemberlakuan keadaan darurat ini, apalagi hanya keadaan darurat sipil, sudah sangat biasa dilakukan sebagai sesuatu yang rutin dan biasa-biasa saja, tanpa diiringi ketakutan akan muncul tirani atau dikator konstitusional yang melampaui batas. Selama 44 tahun terakhir, sejak berlakunya National Emergencies Act tahun 1976 sampai dengan sekarang tahun 2020, di Amerika Serikat sudah ada 61 kali pemberlakuan keadaan daruat. Artinya, setiap Presiden atau setiap tahun, tercatat ada 1,3 peristiwa pemberlakuan keadaan darurat di Amerika Serikat.

Lalu kenapa negara demokrasi konstitusional terbesar ketiga Republik Indonesia sangat gamang dan takut dengan pemanfaatan ketentuan Pasal 12 UUD 1945 sebagai satu-satunya pasal yang mengatur keadaan bahaya dalam sistem hukum Indonesia? Kemungkinan jawaban atas pertanyaan ini, ada dua. Pertama, Sebagian terbesar sarjana hukum Indonesia, termasuk para professorya terjebak ke dalam ketidakmengertian yang akut sehingga tidak dapat membedakan antara rezim Hukum Tata Negara Normal dan rezim Hukum Tata Negara Darurat. Hal itu tercermin dalam kenyataan bahwa di Indonesia, buku yang membahas tentang Hukum Tata Negara Darurat, baru ada 2, yaitu (i) buku karya Prof. Herman Sihombing, “Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia” yang Sebagian terbesar isinya membahas mengenai UU No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya (Djambatan 1996), dan (ii) buku saya, “Hukum Tata Negara Darurat” yang membahas pelbagai teori dan praktik di Indonesia dan di negara lain, terbit pada tahun 2007. Hal ini menggambarkan bahwa perhatian para sarjana hukum Indonesia terhadap masalah ini sangat rendah, sehingga wajar jikalau pengetahuan mereka sangat terbatas untuk menjangkau pengertian-pengertian yang seharusnya dikembangkan dalam kaitannya dengan keadaan bahaya atau keadaan darurat menurut Pasal 12 UUD 1945.

Kedua, keadaan darurat sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 1959 yang berasal dari PERPU itu pada mulanya memang dibentuk dalam suasana perang dan konflik bersenjata setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Karena itu, isi kebijakan yang terdapat di dalamnya sangat berbau perang dan bernuansa serba militer. Selama masa Orde Lama, dan juga masa Orde Baru, keadaan darurat ini juga sering disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan menurut tafsir penguasa sendiri. Karena itu, timbul trauma sejarah untuk menerapkan UU No. 23 Tahun 1959 yang sudah sangat ketinggalan zaman itu. Apalagi sesudah reformasi, UUD 1945 yang dijadikan referensi UU tentang Keadaan Bahaya itupun sudah sangat jauh berubah. Trauma sejarah ini juga yang menyebabkan sehingga semua undang-undang yang dibentuk sesudah masa reformasi, meskipun materi yang diaturnya terkait dengan kekadaan darurat, tidak satupun yang menjadikan Pasal 12 UUD 1945 sebagai rujukan. Dapat disebutkan mulai dari UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU No. 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantika Kesehatan, dan sampai yang terkahir PERPU No. 1 Tahun 2020, tidak satupun menjadikan Pasal 12 UUD 1945 sebagai rujukan. Padahal Pasal 12 adalah satu-satunya pasal yang mengatur keadaan bahaya dalam UUD 1945, tetapi justru dihindari karena trauma, dan/atau sekaligus karena ketidakmengertian yang akut mengenai rezim hukum keadaan darurat.

Ketentuan mengenai keadaan darurat dan pemerintahan darurat ini memang sudah seharusnya dimuat dalam konstitusi dan dijadikan acuan dalam praktik. Dalam konstitusi, sudah seharusnya keberadaan, keberlakuan dan beberjanya pemerintahan, sebelum, selama, dan sesudah berakhirnya keadaan daruat itu dapat lebih dulu diatur dengan baik berdasarkan hukum yang tertinggi. Apalagi, dalam praktik, pemerintahan darurat bukan saja dapat mengesampingkan atau menangguhkan berlakunya suatu undang-undang melainkan juga dapat mengesampingkan dan menangguhkan keberlakukan undang-undang dasar, termasuk jaminan-jaminan hak asasi manusia, kecuali hak asasi manusia yang termasuk ke dalam kategori “non-derogable rights” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28i ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena itu, tidak ada jalan lain yang lebih baik kecuali memuat ketentuan mengenai hal ini langsung dalam Undang-Undang Dasar dan dijadikan acuan dalam praktik setiap kali menghadapi keadaan yang memenuhi syarat untuk dinyatakan atau dideklarasikan sebagai keadaan darurat atau keadaan bahaya. Dengan demikian keadaan darurat dapat dihadapi dengan instrumen hukum keadaan darurat, dan pelaksanaannya dapat dikendalikan dengan baik sehingga tidak disalahgunakan oleh penguasa untuk kepentingan dan keuntungannya sendiri.


[1] John Ferejohn dan Paquale Pasquino, The Law of the Exception: A Typology of Emergency Powers (2004), hal. 210-212. John Ferejohn adalah Carolyn S. G. Munro Professor of Political Science and Senior Fellow, The Hoover Institution, at Stanford, University and Visiting Professor at New York University School of Law. Sedangkan Paquale Pasquino adalah Research Director, CNRS, France, and Visiting Professor of Politics and Law and New York University.

[2] Niccolo Machiavelli, Discources on Livy, ch. 34; James Harrington, The Commonwealth of Oceana 88 (1656), Lihat http://www.constitution.org /jh/oceana.htm (“But whereas it is incident to commonwealths, upon emergencies requiring extraordinary speed or secrecy, either through their natural delays or unnatural haste, to incur equal danger, while holding to the slow pace of their orders, they come not in time to defend themselves from some sudden blow; or breaking them for the greater speed, they but haste to their own destruction; if the Senate shall at any time make election of nine knights-extraordinary, to be added to the Council of War, as a juncta for the term of three months, the Council of War with the juncta so added, is for the term of the same Dictator of Oceana, having power to levy men and money, to make war and peace, as also to enact laws, which shall be good for the space of one year (if they be not sooner repealed by the Senate and the people) and for no longer time, except they be confirmed by the Senate and the people. And the whole administration of the commonwealth for the term of the said three months shall be in the Dictator, provided that the Dictator shall have no power to do anything that tends not to his proper end and institution, but all to the preservation of the commonwealth as it is established, and for the sudden restitution of the same to the natural channel and common course of government. And all acts, orders, decrees, or laws of the Council of War with the junota being thus created, shall be signed, ‘Dictator Oceanae.’”); Jean-Jacques Rousseau, The Social Contract and Discources, 293 (1762) (G. D. H. Cole trans., J. M. Dent & Sons Ltd. 1973) (“The dictatorship”).

[3] Sanford Sanford Levinson dan Jack M. Balkin, “Constitutional Dictatorship: Its Dangers and Its Design, Minnesota Law Review, Vol. 94, p. 1789, 2010, Yale Law School, Public Law Working Paper No. 200. U of Texas Law, Public Law Research Paper No. 164.

[4] Ibid. supra.

[5] Clinton Rossiter (1917-1970), Constitutional Dictatorship: Crisis Government in the Modern Democracies, pertama kali diterbitkan pada tahun 1948. Edisi revisi sudah diterbitkan berkali-kali oleh penerbit yang berbeda-beda. Dia nataranya Routldge (2002), Rossiter Press (2011), ; Clinton Lawrence Rossiter adalah lulusan Cornell, A.B. 1939, Princeton, Ph.D., 1942, held Cornell’s John L. Senior Chair in Government and was the author of numerous books, including The Supreme Court and the Commander-in-Chief (1951); Conservatism in America (1955); The American Presidency (1956); Marxism: The View from America (1960); and The American Quest 1790-1860 (1971). (Pengantar oleh William J. Quirk is professor of law at the School of Law of the University of South Carolina. His earlier work on this subject appeared in Society).

[6] Ibid.

[7] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007.

[8] Lihat misalnya, Stephen Skowronek, The Conservative Insurgency and Presidential Power: A Developmental Perspective on the Unitary Executive, 122 HARV. L. REV. 2071, (2009).

[9] Sanford Levinson dan Jack M. Balkin, Op.Cit., hal. 29.

[10] Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act 1974, c. 56 (Eng.); Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act 1976, c. 8 (Eng.); Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act 1984, c. 54 (Eng.); Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act 1989, c. 4 (Eng.); Criminal Justice and Public Order Act 1994, c. 33 (Eng.); Criminal Justice (Terrorism and Conspiracy) Act 1998, c. 40 (Eng.); Anti-terrorism, Crime and Security Act 2001, c. 24 (Eng.); Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism Act of 2001, Pub. L. No. 107-56, 115 Stat. 272 (2001).

[11] Ferejohn dan Pasquino, OpCit., hal. 216.

[12] over the past half century, at least

18 See Burt Neuborne, Supreme Court of India, 1 International Journal of Constitutional Law (I·CON) 476 (2003).

[13] https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845. The law of the exception: A typology of emergency powers, 216-217.

[14] Dalam banyak konstitusi modern, peranan lembaga legislatif selalu penting dalam mengendalikan keadaan darurat. Bahkan menurut Article 16 Konstitusi Perancis, parlemen tetap bersidang dalam keadaan darurat, dan bahkan dapat menjalankan kewenangan untuk melakukan ‘impeachment’ terhadap Presiden jika dinilai telah melampaui kewenangannya. Lihat Artikel 16 Konstitusi Perancis.

[15] Misalnya, di masa-masa awal kemerdekaan Amerika Serikat, sangat sering terjadi konflik bersenjata seperti pada tahun 1792, Kongres mengesahkan UU yang mengizinkan Presiden memegang komando perlawanan terhadap milisi yang menentang Pemerintah. Bahkan 2 tahun kemudian, Presiden George Washington, turun tangan sendiri memimpin pasukan untuk berperang. Dalam Proklamasi Washington untuk memberlakukan keadaan darurat dan memobilisasi milisi sipil secara nasional untuk menghadapi pemberontakan Whiskey, tertulis kalimat: And whereas, by a law of the United States entitled ‘An act to provide for calling forth the militia to execute the laws of the Union, suppress insurrections, and repel invasions’”.

[16] Ferejohn and Pasquino, Op.Cit., hal. 214-215.

[17] 14 Id. art. II, § 2, cl. 1.

[18] 13 U.S. CONST. art. I, § 9, cl. 2.

[19] Op.Cit., hal. 220-221. Downloaded from https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845.

[20] Ibid., hal. 106–14.

[21] Lihat Oxford English Dictionary, 504, 2nd edition, 1989. “To repeal part of a law, to enforce it only in part. The Oxford English Dictionary gives the same definition of the word derogation: “partial abrogation or repeal of a law”.

[22] Cicero, De Republica, De Legibus III 22 (Clinton Walker Keyes trans., Harvard Univ. Press 1943).

[23] Carl Schmitt, Verfassungslehre, Duncker & Humblot, 1928.

[24] John Ferejohn dan Paquale Pasquino, Op.Cit., hal.  222-223. https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845.

[25] Cicero, De Legibus (book III, part III, sub. VIII). Loeb Classics, hal. 467.

[26] Lihat pendapat Leibnitz dalam Alfred Baumler, Das Irrationalitas Problem in der Ashtetik und Logik, Des 18. Jahrhunderts (1923) (Darmstadt 1981); Tentang Condorcet, lihat Frank Alengry, Condorcet (F. Alcan 1904); and on Hobbes’s usage of Salus populi, lihat Thomas Hobbes, Leviathan, ch. 30 (Richard Tuck ed., Cambridge Univ. Press 1991) (in English). Not the doctrines of the raison d’état. On these doctrines, see F. Sait-Bonnet, L’État D’Exception, 205–24 (Presses Universitaires de France 2001).

[27] Kita kutipkan versis Latinnya, yaitu: “salus populi”. Thomas Hobbes, supra note 34, at 231 (“The office of the sovereign … consistent in the end, for which he was trusted with the sovereign power, namely the procuration of the safety of the people”). Op.Cit., John Ferejohn dan Pasquale Pasquino, hal. 224-225. Downloaded from https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845

[28] Terence Irwin, The Development of Ethics, A Historical and Critical Study. Volume 2: From Suarez to Rousseau, Oxford University Press, New York, 2008, catatan no.4, hal. 134.

[29] Polybius, The Rise of the Roman Empire, 311–17 (Penguin Books 1979).

[30] Prinisp “Provocatio ad populum” ini dikenal sebagai “the Valerian and Porcian laws” Romawi kuno yang diberlakukan antara tahun 509 BC dan 184 BC yang memberikan kepada warganegara hak untuk menuntut pejabat negara dengan pelbagai macam kemungkinan sanksi hukum yang mempermalukan dan sebagainya melalui pengadilan. Bahkan “the Valerian law” ini juga menganggap legal dan sah bagi warganegara untuk membunuh seorang warga lainnya yang terbukti membangun tirani dalam kekuasaannya. Ketentuan ini sudah beberapa kali dipraktikkan, termasuk yang paling penting adalah pembunuhan yang dilakukan terhadap Julius Caesar yang dianggap sesuai dengan “the Valerian law” tersebut.

[31] John Locke, Two Treaties of Civil Government,

[32] Locke’s prerogative has a much larger scope, actually. It goes from the Aristotelian epieikeia (the doctrine of justice) to the emergency government. Lihat Pasquale Pasquino, Locke on King’s Prerogative, 26 Political Theory, 1998, hal. 198–208, 1998. https:// academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845.

[33] Dalam Bahasa Carl Schmitt, Pemerintahan Pengecualian atau Pemerintahan Keadaan Darurat ini dapat dibandingkan dengan “Kommissarische Diktatur”, Carl Schmitt, supra note 23.

[34] Wilfried Nippel, Emergency Powers in the Roman Republic, in La Theorie Politico-Constitutionnelle du Gouvernment D=Exception, 5 (Pasquale Pasquino & Bernard Manin eds., Les Cahiers du CREA 2000).

[35] J. Ferejohn & P. Pasquino, Op.Cit., hal. 227-228. https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845.

[36] 44 22 LIVY, Roman History, 8, 5–6.

[37] 45 Livy provides an account of an attempt to prevent a dictator from condemning his second in command. The supporters of the condemned man appealed to the tribunes to veto the dictator’s command. After an appeal to the popular assembly by the dictator, none of the tribunes were willing to take this step. In the end, the dictator relented as a matter of discretion. 8 LIVY, supra note.

[38] J. Ferejohn & P. Pasquino Op.Cit., hal. 228-229. https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845 by guest on 02 April 2020.).

[39] Ex parte Vallandigham, 68 U.S. 243 (1863); Ex parte Milligan, 71 U.S. 2 (1866); Ex parte Quirin, 317 U.S. 1 (1942).

[40] Aaron X. Fellmeth and Maurice Horwitz, Guide to Latin in International Law,Oxford University Press, 2009. ISBN-13: 9780195369380

[41] William Rehnquist, All the Laws But One: Civil Liberties in Wartime, (Knopf 1998).

[42] Milligan, 71 U.S. 2 (1866); Korematsu v. United States, 323 U.S. 214 (1944).

[43] J. Ferejohn & P. Pasquino, Op.Cit., hal. 230-231. https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845.

[44] Carl Schmitt, supra note 23.

[45] LNRI Tahun 2020 Nomor 87, TLNRI Nomor 6485.

[46] Machiavelli, supra note 2.

[47] J. Ferejohn & P. Pasquino, Op.Cit., hal 233-235. https://academic.oup.com/icon/article-abstract/2/2/210/665845.

[48] Korematsu v. United States, 323 U.S. 214 (1944); Ex parte Quirin, 317 U.S. 1 (1942).

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *