Dari Ruang Belakang Peracik Kopi | Buku Puisi Mahwi Air Tawar

Jika puisi-puisi Mahwi sebelumnya kental dengan Madura, kumpulan puisi kali ini agaknya berbeda, meski di beberapa puisinya masih tak bisa lepas asal-tuju Madura. Ia mendokumentasikan pengembaraannya, baik yang lahir maupun batin saling berpilin menjadikan objek atau peristiwa bernilai dan bermakna. Dalam perjalanan, ia berjumpa dengan berbagai hal, fenomena, dan sosok. Yang menjadi menarik dan berbeda adalah perjumpaannya dengan kopi. Bukan kopi sungguh yang ia seduh, melainkan denting pecahan beling gelas, hasrat tengkulak sampai lidah pemesan dan barista. Ia tak bisa berpaling dari putih cinta atas tanah kebun tempat menanam pohon harapan. Dari ruang belakang, si peracik kopi ini mencatat pengembaraannya dengan saksama pun puitis.

Begitulah bunyi blurb buku Dari Ruang Belakang Peracik Kopi ini. Buku puisi dengan 58 halaman ini diterbitkan oleh Penerbit Jejak Pustaka pada Juli 2022. Menyenangkan rasanya bisa berjumpa dengan buku puisi Mahwi Air Tawar di aplikasi Gramedia Digital.

Baca Dulu: Download Kumpulan Puisi Seperti Belanda

Apa yang diterakan di blurb memang begitulah adanya. Di dalam buku ini kita akan bisa menyaksikan sebuah perjalanan. Puisi-puisi pembukanya memuat keberangkatan dan pemberhentian dengan latar stasiun dan kereta. Salah satu puisinya berjudul Di Stasiun Fajar.

Di Stasiun Fajar

Kurasakan derap rinduku
menjelma kereta fajar
seberangi buku harian
bersampul hangat pelukan,
juga kenangan.

Kumasuki gerbong hidupmu
meski jam keberangkatan terjebak
dalam stasiun pemberhentian
gamang masa depan.

Kupeluk gema keberangkatan
angin desaukan batin sendu
merajuk mabuk keheningan.

Halaman 5

Pada fragmen kedua, Mahwi menuliskan puisi-puisi tentang pembeli. Yang paling kusukai adalah puisi berjudul Pembeli Nasib.

Pembeli Nasib

Di sini tak tersedia paket angan-angan
hanya dunia fana dengan kode pembelian
lunas tanpa kedalaman, juga air mata
dari mata air renungan.

Pembeli bermata gerhana
kemari dekap aku dalam gelap
harga pertamax yang mencair dari sela pengap
gedung diputuskannya undang-undang:
agar pembeli tak bersaku tak menukar suara
bila tak ingin susu kental manis derita
berwarna merah di camping nasib.

Halaman 18

Pada bagian selanjutnya, imajinasi Mahwi mengental pada cangkir-cangkir kopi. Di dalamnya, kopi menjadi simbol sempurna bagi kepahitan hidup. Dengan manis-manisnya juga. Karena itu di bagian ini kita bisa merasakan kritik yang lebih endap. Saya suka sekali puisi yang berjudul Excelsa.

Excelsa

Ada masa,
dari ketinggian penderitaan Afrika
kuseduh namamu hanya dalam seduhan rindu
meski di Les Deux Magots, ranum senyummu
terlipat dalam kertas kusut sajak Arthur Rimbaud
dan lidah keluh Simone de Beauvoir

Bersama biji-biji kebahagiaan
kujulurkan lidahku, rambut usia rawan
kuikat dengan tali-tali hitam VOC pilu
dan kurepihkan arabika, kuseduh robusta
di atas tungku sejarah kutaburkan
di awan angan belaian negeri kincir angin
hingga namamu tak lagi utuh
di pagi kasturi, di gelas cintaku
kupeluk dan kudekap tubuh molekmu
di antara biji-biji hitam negeriku.

Bersama biji-biji kenangan
kurayakan perjumpaan denganmu
di atas ketinggian pancang tiang negeri tropis
yang melulu sembab oleh tetesan lidah barista
di balik bar dan lipatan rupiah

Halaman 29

Pada bagian terakhir, tidak terlihat secara eksplisit apa yang menjadi benang merah sehingga puisi-puisi ini dijadikan satu bagian. Bisa jadi berhubungan dengan bunyi, dengan suara hati. Sebab, beberapa puisi pada bagian ini ketat rima, berperilaku seperti dendang, dengan pola puisi modern berpola baris. Ada yang per dua baris laiknya distikon. Ada yang berpola 4-2-3-2-4-2. Tetapi puisi-puisi lain juga tidak mengikuti pola tersebut sih.

Baca Juga: Puisi Devin Elysia Dhywinanda

Barangkali bunyi di sini lebih menonjolkan sisi personal penyairnya. Coba kita lihat puisi Resonansi berikut ini:

Resonansi

1
Kukekalkan namamu di serat-serat kefanaanku
janji perlahan-lahan meleleh dari sulbi
mengurai detak nanar nadi terbakar.

Kurajut sukmamu di sela kusut bajuku
dengan jarum dari tulang rusuk
pendakian ke harakat hakikat tak koyak
getar kesetiaan di sembilan puluh sembilan
helai titian akar nazir zikir.

Kurajut sukmamu di sela kusut bajuku
dengan jarum dari tulang rusuk
pendakian ke harakat hakikat tak koyak
getar kesetiaan di sembilan puluh sembilan
helai titian akar nazir zikir.

2
Kusertakan pelukanmu ke dalam dekapannya
juga hambar getir bibirku dalam lumatan bibirnya
di tiga puluh tiga titian denting ketukan lebih nyaring
dari suara khotbah, juga seru biru politisi.

Azazilkah aku di tapak-tapak kapak firaun
mempelantingkan batu-batu gelombang
tapi berkeping di tangkai belulang khuldi
di lengkung-lengkung siratmu
di taman seremang pandangan
kujalin dan kurajut akar gelora merah usia
ke rambatan kelopak fajar binar ar-raāhmanmu
hingga jantung lumbung arraāhimmu.

3
Pijar kalender oktoberku perlahan-lahan meredup
seperti pengakuan dan kesetiaan
tak pernah utuh kurengkuh,
juga cintaku.

Halaman 43-44

Demikianlah buku puisi Mahwi Air Tawar yang berjudul Dari Ruang Belakang Peracik Kopi. Bagi yang memiliki aplikasi Gramedia Digital silakan diunduh dan dibaca, atau miliki bukunya langsung juga boleh.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

One Comment

  1. Keren bang tulisannya. Artikel yang menarik dan penuh dengan imajinasi! Saya sangat tertarik dengan cara penulis menyampaikan pesan tentang pengalaman unik tokoh utama dalam berinteraksi dengan kopi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *