Review Buku Matikan Aku Saja, Tuhan! Karya Fiyan Arjun

De Soto, Interferensi Teks, dan Pertanyaan Puitik

Ketika Hernando de Soto menjadi bahan pembicaraan dunia akibat The Mystery of Capital: Why Capitalism triumphs in the west and fails everywhere else yang ditulisnya, saya masih asik mengumpulkan uang recehan ke dalam celengan berbentuk ayam dan tak tahu bahwa koin-koin itu adalah aset yang bisa diubah menjadi kapital. Pun ketika Fiyan Arjun meminta saya untuk menuliskan epilog buku kumpulan puisinya, saya jadi berpikir tidak menutup kemungkinan bahwa apa yang saya tulis ini akan jadi kata penutup untuk buku yang juga bisa jadi bahan pembicaraan orang-orang.

Puisi adalah sistematika kompleks dari manusia, Tuhan, dan alam. Saya meyakini bahwa Tuhan adalah penyair yang amat handal dengan menciptakan puisi-puisi ‘berbentuk’ manusia dan alam semesta. Dan makhluk (creature) adalah citraan dari Khaliq (creator). Artinya, jika merujuk ke ilmu turunan, makhluk, dalam hal ini manusia, memang sebuah diferensiasi atas kemampuan Tuhan. Dalam hal ini berpuisi.

Maka, tidak heran, manakala sebagian sajak Fiyan adalah upaya rasa syukur dan pemanjatan dia terhadap Tuhan.


berapa banyak kau
menghirup aroma mewangi
cinta-Nya
semakin kau rasa
semakin kau tahu
kau tak akan bisa berkata lagi:
Tuhan inilah hidupku?


Dunia kerap dimulai dengan pertanyaan. Begitu ruh diciptakan, pertanyaan yang muncul ialah Alastu birabbikum. Tetapi, ibarat reaksi-formasi Freud, pertanyaan bisa jadi sebuah pernyataan. Pun sebaliknya. Puisi terkait keduanya adalah upaya katarsis/pelepasan dari diri sang penyair terhadap pembacanya. Hal-hal yang dilihat, didengar, dan disaksikannya itulah yang kemudian membentuk puisi—menjadikan puisi miliknya.


nuun,
kucoba memaknai setiap hempasan
yang keluar dari ronggarongga
rangkaian selaput hidupku hingga
menyatu
jarijariku merangkaikan
kalimahkalimah makna


Tetapi, puisi tidak sekadar aset (atau semata hal yang dimiliki). Menilik kembali pendapat De Soto, puisi juga harus menjadi kapital/modal besar dalam arus perubahan di dunia ini. Dan beberapa penyair di masa lalu telah berhasil mengambil peran itu.

Hal yang berlangsung adalah tak semudah itu menjadikan aset sebagai modal. Dalam sudut pandang puisi, aset adalah unsur itu sendiri. Ketika penyair menangkap peristiwa di dunia lalu ingin memindahkannya ke dalam peristiwa-puisi tentu ada hal-hal yang harus disesuaikan. Sublimasi hanya terjadi ketika aksi-reaksi berjalan pada kesetimbangan. Di sinilah penyair juga butuh katalis.

Dalam puisi Dalam Doaku yang Terselip di Dompet, Fiyan tampak ciamik memainkan metafora.


Doaku yang Terselip di Dompet
: Mr Nice Guy

di malam kidung kau persilakan aku
di istana bambu
lalu kau jamu aku dengan segelas Yassin
agar dosadosaku raib
begitu kata kau
sayang doa itu tak mempan
oleh kertas hijau di dalam dompetku


Indonesia memang telah mengalami penurunan moral. Segalanya mampu dinilai dengan uang. Hal ini mengingatkan saya pada sejarah indulgersia, ketika gereja menjual surat penghapusan tersebut dengan harga yang mahal. Dalam konteks kekinian, ketika kematian menjemput, di mana-mana dibacakan surat yassin, seolah yassin yang kecil itu (bukunya) mampu menghapus dosa sang mayit. Tidak sampai di situ, jika kita buka lebih dalam lagi sajak ini, dan mengacukannya kepada pemerintahan, sosial politik, akan terbuka layer-layer interpretasi baru yang begitu menarik.

Katalis yang dimaksud, adalah kondisi yang menjembatani bagaimana sebuah benda dapat menjadi metafora sebuah peristiwa. Keberhasilan metafora ini ditentukan sekali oleh visualisasi penyair dan logika kebahasaannya dalam menentukan verba yang cocok sebagai pasangan dari nomina. Sebagai contoh: Lidahku menghisap api. Kalimat ini secara logika tentu keliru. Seharusnya adalah Lidahku mencecap api. Nomina-fungsi tetap mampu dilihat oleh pembaca sehingga sajak tidak menjadi gelap.


Matikan Aku Saja, Tuhan!

dalam doa aku berminta:
matikan saja aku, Tuhan
matikan aku dalam sujud panjangku
atau, tidak sama sekali


Fiyan, sebenarnya pandai betul menulis sajak-sajak pendek yang memainkan pernyataan sebagai pertanyaan (dan sebaliknya). Di sinilah kekuatan Fiyan.

Agaknya hal yang perlu diperhatikan Fiyan adalah jangan sampai terseret ide. Dan tidak terburu dalam membungkus puisi-puisinya tersebut.

Sebab puisi adalah jalan kenabian dan juga butuh kesabaran dalam menuliskannya, bila perlu sampai berpeluh dan berdarah-darah.

Ah, kalau tak cukup sebagai penutup atau memberikan penjelasan seadanya ala saya, semoga Hernandus De Soto itu beralih jadi penyair atau kritikus sastra dan kita undang dia untuk menulis kata penutup untuk kumpulan puisi lain yang akan terbit di Indonesia.


Catatan:

Catatan pembacaan atas puisi Fiyan Arjun ini urung masuk sebagai pengantar puisi miliknya. Katanya, di catatan ini aku terlalu banyak menjelek-jelekkan demikian. Benarkah demikian? Secara niat sih, aku berusaha menulis seadil-adilnya. Entahlah.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *