Beberapa Renungan Tentang Puisi | Agus R. Sarjono

The artist, and particularly the poet, is always an anarchist, and can only listen to the voices that rise up from within his own being, three imperious voices: the voice of Death, with all its presentiments; the voice of Love and the voice of Art.

Federico García Lorca (1898-1936)

Menulis puisi melibatkan banyak hal yang terkadang cukup kompleks: pengalaman, kedalaman, kejujuran, kecerdasan, dan sedikit kegilaan. Apa yang dikemukakan Lorca dalam kutipan di atas banyak benarnya, karena seorang penyair pada dasarnya selalu seorang anarkis karena ia hanya akan mendengar kuasa suara yang tumbuh dan lahir dalam keberadaannya sendiri: suara Kematian, suara Cinta, dan suara Seni.

Semua dasar kepenyairan bermuara pada ketrampilan teknis di satu sisi dan wawasan sang penyair di sisi lain. Contoh terbaik untuk ini adalah apa yang dialami seorang pemusik. Seorang pemusik yang setiap hari melatih keterampilannya bermain musik (piano atau gitar, misalnya) akan memiliki keterampilan teknis yang luar biasa. Namun, jika seumur hidupnya dia hanya mendengar lagu “Maju Tak Gentar” belaka, maka seluruh keterampilan dan kecanggihannya bermain musik tak akan pergi jauh dari wilayah nada satusatunya lagu yang dia kenal. Dalam pada itu, seorang pemusik yang menyimak bermacam jenis musik dari ribuan album akan memiliki kekayaan khasanah nada dan harmoni yang luas. Namun, bila dia tidak pernah berlatih dengan tekun maka seluruh kekayaan wawasan musikalnya tidak akan dapat dipresentasikan dengan baik. Hal yang sama terjadi pada seorang penyair. Penyair yang baik memiliki ciri yang tetap, yakni jatuh cinta pada puisi. Tanpa jatuh cinta pada puisi maka menjadi penyair adalah mustahil.

Mengingat kompleksitas urusan menjadi penyair dan menulis puisi yahud yang tak mungkin dikemukakan dalam tempo sesingkat-singkatnya seperti proklamasi, maka pada kesempatan ini justru sebaliknyalah yang akan dikemukakan di sini, yakni sebab-sebab puisi menjadi jelek alias musuh-musuh puisi.

Ada banyak musuh puisi. Tapi karena tak baik terlalu banyak memiliki musuh, maka ada baiknya kita batasi menjadi lima buah musuh saja. Kalau pancasila bagus untuk diikuti, maka panca musuh ini ada baiknya dihindari.

Tentang Tema dan Cara Pandang: Musuh-musuh Puisi atawa Cara Menulis Puisi Jelek

Musuh Pertama: Keumuman

Musuh pertama bagi puisi adalah keumuman alias serba umum. Dalam
puisi keumuman harus dihindari. Seorang penyair yang baik akan
menjauh dari unsur umum dan pandangan yang serba umum baik pandangan yang umum mengenai sosial, politik, moral, agama, atau
apapun.

Dalam menulis sajak tentang ibu, misalnya, akan bermunculan segera
sajak-sajak semacam ini:

Oh ibu, alangkah mulia hatimu
Kau lahirkan dan besarkan aku
Membelai dan memberiku susu
Menuntun anakmu jalani kehidupan
Hingga tercapai cita-citaku.

Jika sajak itu tentang guru, maka lahirlah sajak-sajak semacam ini:

Oh guruku, kau didik aku
Mengajariku berbagai ilmu
Bagi bekal hidupku
Dari matematika sampai ilmu bumi
Kau ajari kami hingga kami mengerti
Apa yang harus kami jalani.
Dalam hidup ini.

Ubahlah temanya menjadi pengemis, maka sajak yang akan muncul adalah:

Wahai pengemis, betapa malang nasibmu
Meminta sesuap nasi setiap hari
tidur beratapkan langit beralaskan bumi
tiada yang peduli.

Dengan sajak semacam ini tak ada seorang ibu, guru, maupun pengemis
yang akan terkesan dan tersentuh hatinya. Mengapa? karena sajak-sajak semacam ini berbicara mengenai ibu, guru, dan pengemis yang umum. Maka ibu, guru, maupun pengemis di sini menjadi stereotipe.

Bandingkan dengan sajak mengenai pengemis karangan Toto Sudarto Bachtiar di bawah ini:

Kalau kau mati gadis kecil berkaleng kecil
kotaku hilang tanpa jiwa
dan bulan di atas sana tiada yang punya

Musuh Kedua: Simplifikasi

Musuh kedua adalah simplifikasi alias penyerhanaan yang banyak hubungannya dengan kebiasaan gebyah uyah. Pada pengalaman seharihari saja jika kita renungi akan kita temukan banyak hal menarik dan kadang pelik, apalagi dalam masalahmasalah yang lebih besar dan kompleks.

Contoh di atas, yakni keumuman, masih ada kena-mengenanya dengan simplifikasi. Puisi mengenai ibu, guru, dan pengemis, seringkali ditulis dengan pandangan stereotipe seolah semua ibu, semua guru, semua pengemis adalah sama. Padahal setiap orang memiliki ibu masing-masing
yang berbeda-beda baik wajah, kebiasaan, kesenangan, selera akan musik
dan warna, makanan kesukaan, cara berjalan, cara marah, cara tersenyum,
apalagi watak dan tabiatnya. Begitu juga halnya dengan guru. Mereka pun
berbeda bentuk dan modelnya, berbeda pangkat dan kualif ikasinya,
berbeda pengalaman dan gaya mengajarnya. Sementara itu, pengemis pun berbeda-beda latar-belakang, alasan jadi pengemis, pengalaman
hidup dan sebagainya. Sama sekali tidak sama perasaan pengemis yang
habis mendapat uang seratus ribu dari orang yang menang lotre atau pinangannya diterima dengan pengemis yang habis ditendang oleh politisi caleg yang ngamuk dan murang-maring karena tak terpilih oleh rakyat.
Bahkan, tidak jarang pandangan orang atas pacar pun sama. Tidak percaya? Lihat saja sinetron-sinetron kita yang mulia. Padahal, tidak setiap
kerinduan sepasang kekasih sama dengan gerak slow motion di pantai dalam rangka untuk saling berpelukan. Marah pun berbeda-beda jenisnya dan tidak selalu membentakbentak dengan suara meggeledek dan mata terancam keluar dari sarangnya. Sedih pun sangat beragam jenisnya
dan tidak selalu harus menangis tersedu-sedu dengan dandanan masih
menor.

Simplifikasi lain, misalnya, memandang Barat pastilah semuanya tertib dan cerdas atau sebaliknya barat pastilah semuanya bebas, ngawur, dan membenci agama. Kata barat itu sendiri sudah simplifikasi, karena ada
beragam negara dengan beragam budaya dan setiap negara punya penduduk berjuta-juta yang masing-masing manusianya punya pengalaman dan kekhasan sendiri-sendiri. Begitu juga dengan Timur.

Musuh Ketiga: Propaganda dan Reklame

Propaganda dan reklame adalah musuh ketiga puisi. Jika ingin membuat puisi jadi sesuatu yang ngeri, maka tak ada yang lebih tepat selain menulis puisi dalam semangat propaganda atawa reklame. Propaganda dan reklame seringkali lepas dari hubungan personal dengan manusia. Ia masih berkaitan dengan pemahaman yang serba umum. Kata abstrak dikepalkan ke pembaca untuk menanamkan indoktrinasi.

Ayo pemuda ayo pemudi
Rapatkan barisan membangun negeri
Jangan biarkan jangan diberi
Neokolonialisme mengancam negeri
Dadamu dadaku bagi pertiwi

Atau

Jangan kau tebang pohon
Wahai durjana aku memohon
Biarkan pohonan subur. Ayo kita ganyang
Siapa saja yang berani menebang

Musuh Keempat: Klise atawa Janda dan Duda Kata

Wajahmu cantik bagaikan lukisan
Aku mencintaimu aku menyayangimu
dengan sepenuh hatiku
engkaulah belahan jiwa satu-satunya
hingga akhir hayatku.

Hampir semua pilihan kata dan ungkapan di atas sudah digunakan berkali-kali untuk macam-macam kesempatan. Maka semua ungkapan dan kata di sana sudah menjadi janda dan duda berkali-kali. Sejauh menyangkut hal ini, penyair seyogyanya mencari dan menemukan kata yang masih perawan. Seorang penyair berkewajiban sebagai yang pertama meminang kata atau ungkapan selagi ia masih perawan untuk dijadikan pengantin bagi pengalaman puitiknya. Jikapun ia harus juga berurusan dan menikahi janda kata, sang penyair harus memberinya pelaminan baru dalam konteks pernikahan puitik yang baru.

Untuk urusan yang sama, Pablo Neruda menulis petikan ini:

Sejak aku mengenalmu
Kau tak mirip siapa pun

Dalam pada itu, sajak mengenai pengemis atau anak nelayan miskin tidak dapat ditulis berdasar stereotipe dan diusung dengan janda-janda dan duda kata. Apalagi digabung dengan propaganda, slogan, dan reklame. Dengan mengenali baik-baik sosok dan urusan yang akan ditulis dan mengolahnya dengan cara pandang yang khas sesuai kepribadian penyairnya, bisa saja lahir sajak mengenai nelayan seperti ditulis Frederico Garcia Lorca di bawah ini:

BALADA AIR GARAM

Sang laut
senyum di jauhan.
Gigi berbusa.
bibir cakrawala.
‘Apa yang kau jajakan, anak merana,
anak yang telanjang dada?’
‘Tuan, saya berjualan
air garam samudera.’
‘Apa yang kau bawa, anak kelam,
berbaur dengan darahmu?’
‘Tuan, saya membawa
air garam samudera.’
‘Ini asin airmata
datang dari mana, ibu?
‘Tuan, saya menangis
air garam samudera.’
‘Jiwa, pahit yang dalam ini,
dari mana munculnya?’
‘Sungguh pahit,
air garam samudera!’
Sang laut
senyum di jauhan.
Gigi berbusa.
bibir-cakrawala.

Musuh Kelima: Nasehat, Diri nan Mulia, atawa Takabur

Memberi nasehat selalu beresiko tinggi bagi penyair. Di satu sisi ia dapat
dianggap memberikan nilai-nilai moral dan budi pekerti, namun sebenarnya hal ini paradoksal karena sebuah nasehat tidak bisa tidak akan
lahir dari andaian bahwa sang pemberi nasehat adalah sosok yang lebih mulia. Anggapan diri sebagai sosok mulia disadari atau tidak adalah sebuah tindakan yang takabur. Di sisi lain puisi semacam ini mengandaikan pembacanya sebagai sosok pendosa yang harus segera bertobat. Pada kenyataannya, sajak-sajak berpetuah jarang berhasil membawa pembaca pada pertobatan dan lebih sering membuat pembaca bosan dan enggan.

Tabahkan hati anda membaca sajak di bawah ini:

Wahai durjana lekaslah bertobat
Tinggalkan semua jalan yang sesat
Tidakkah kau lihat para malaikat
Kan memasukanmu ke neraka laknat.

Dalam sastra, termasuk puisi, nilainilai moral akan mencekam pembaca justru saat tidak disemburkan sebagai khotbah dan wejangan melainkan
lewat sebuah pengalaman kongkret, baik pengalaman kongkret tokoh tertentu yang dijadikan protagonis suatu puisi maupun dari pengalaman batin aku lirik yang jujur dan manusiawi.

Sampai sekarang, dalam khasanah puisi Indonesia, belum ada sajak
ketuhanan yang lebih indah dan mencekam dibanding sajak “Padamu
Jua” Amir Hamzah dan “Doa” Chairil Anwar. Kebetulan keduanya mewakili
pengalaman ketuhanan yang berbeda, yang satu pengalaman seorang mistikus yang saleh seperti Amir Hamzah dan satu lagi pengalaman
seorang ‘pendosa’ seperti Chairil Anwar. Kedua puisi tersebut sama
sekali jauh dari pretensi memberi wejangan dan nasehat kepada
siapapun. Namun, justru karena itu pembaca dicekam oleh penghayatan
moral dan pengalaman ketuhahan yang sublim dan memperkaya batin.

Di tamanku, tak ada yang lebih indah
dari duri di musim bunga,
Tuhan, Hafiz rindu padamu.

Demikian petikan sajak indah Hafiz, seorang sufi besar yang mengandaikan dirinya dan khasanah taman batin dan keimanannya tak lebih dari ranting kering dan duri. Sementara orang lain boleh jadi memposisikan taman batinnya penuh bebungaan mekar aneka warna sembari memberi nasehat orang lain bagaimana tata cara menanam bunga moral agar subur dan sukses. Itu juga sebabnya Haji Hasan Mustapa, sufi dan penyair besar dari tatar Sunda meskipun seorang ulama besar, tidak memberi nasehat dari posisi aku yang mulia kepada kaum pendosa, melainkan menulis sajak semacam ini:

Melenggang mencari itu,
ini lagi ini lagi
selama mencari sana
sini lagi sini lagi
selama mencari mana
ini lagi ini lagi.
selama mencari selatan,
utara lagi utara lagi
selama mencari barat
timur lagi timur lagi,
selama mencari ada
tiada lagi tiada lagi.

Mengapa demikian? Para penyair yang telah tinggi pencapaian ruhaninya mafhum bahwa memposisikan diri sendiri sebagai sosok mulia adalah sebuah tindakan yang tak patut dan takabur. Mereka terlalu tawadhu
untuk bertindak seperti itu. Boleh jadi mereka enggan pengalaman pelacur
dan “sang ulama” dalam kisah sufi kembali berulang. Saat itu seorang
“ulama” dengan sorban menjulang memaki-maki seorang pelacur sebagai mahluk hina, durjana, kerak neraka, dan semacamnya. Pelacur itu sambil
termangu dengan hati kecut berkata:

“Tuan, benarlah saya seperti yang tuan
katakan. Tapi adakah tuan sebagaimana yang tuan bayangkan?”

Pada Mulanya adalah Rima

Sudah cukup lama puisi modern Indonesia mengabaikan rima. Para
remaja yang berminat menulis sajak dan bercita-cita menjadi penyair, dihidupi oleh tradisi puisi bebas yang abai terhadap rima. Banyak puisi yang bermunculan di koran minggu, dan boleh jadi menjadi acuan para calon penyair dewasa ini, cenderung mengabaikan rima. Jikapun ada rima, kerapkali sekedar persamaan bunyi akhir yang tidak jarang juga terasa dipaksakan.

Di sisi lain, lagu-lagu pop Indonesia yang beredar dan boleh jadi
sedang hits dan disukai remaja, juga buruk perilakunya terhadap rima.
Ambil lagu pop Indonesia mana saja dan perhatikan rimanya, maka akan
kita dapati susunan syair lagu yang carut-maut rimanya. Belum lagi
logikanya.

Tradisi menulis karangan dengan rima ketat dan teratur (verse) hingga
hari ini masih dipertahankan di negeri-negeri di Eropa dan Amerika. Tradisi itu dibiasakan sejak kanak-kanak hingga dewasa. Dongeng untuk anakanak kerap disisipi syair dan lagu yang rimanya terpelihara. Itu sebabnya, lagu-lagu pop berbahasa Inggris, misalnya, baik berjenis jazz, rock, reagge, folk music/country, maupun bahkan hip hop, selalu terpelihara rimanya. Kita ambil contoh hits lawas dari The Beatles, “Yesterday”:

Yesterday, all my troubles seemed so far away
Now it looks as though they’re here to stay
Oh, I believe in yesterday
Suddenly, I’m not half the man I used to be
There’s a shadow hanging over me
Oh yesterday, came suddenly

Perhatikan rimanya? Semua terjaga baik dan rapi dalam susunan aaa aaa. Lihat juga lirik lagu “Baby” Justin Bieber yang hits belum lama ini:

You know you love me, I know you care
Just shout whenever, and I’ll be there
You are my love, you are my heart
And we will never, ever, ever be apart

Lirik lagu Bieber yang belia itu pun rimanya terpelihara /a/a/b/b/. Bandingkan keindahan isi maupun rimanya dengan lirik lagu pop Indonesia dewasa ini. Jika lagu pop saja sudah mempertimbangkan dengan baik rima, maka sajak yang merupakan puncak seni bahasa tentulah akan mempertimbangkannya lebih jauh dan lebih dalam lagi.

Dengan mempertimbangkan secara sungguh-sungguh rima dan irama puisi yang kita tulis, maka kita pun akan terpaksa dan dipaksa menimbang dengan sebaikbaiknya kata yang akan kita gunakan.Kita akan terlatih untuk bekerja keras memilih kata (diksi) dari puisi yang kita tulis, dan dengan begitu, sebuah puisi ditulis dengan menghargai proses mengolah kata.

Dengan mengolah rima dan irama, maka kata biasa yang mudah disusun
dalam bentuk puisi terpaksa harus dicari dan dicari lagi agar memiliki
rima yang padu. Dalam tindakan mencari irama dan rima itulah kita akan menemukan berbagai kemungkinan kata yang lebih kuat dan lebih memukau.

Keutuhan: Bergelambir atau Langsing

Ada yang bertanya, sulit mana menulis sajak panjang dengan menulis
sajak pendek? Jawabannya tidaklah mudah. Meski pada umumnya mudah
disimpulkan bahwa sajak panjang tentu lebih sulit dari sajak pendek,
namun pada dasarnya sajak pendek maupun panjang yang benar-benar
bagus sulit ditulis. Lebih dari itu, ada prinsip yang kurang lebih sama antara sajak panjang dengan sajak pendek: singset.

Sajak yang singset adalah sajak yang setiap kata dan setiap anasir dipilih dan ditimbang dengan sungguh-sungguh, sehingga larik dan bait tidak bergelambir kian-kemari tanpa fungsi. Kesingsetan dan keserasian sebuah sajak, hendaklah dijaga baik ke samping maupun ke bawah. Yang paling mudah adalah dengan menjaga nada dasar agar rancang bangunnya tidak pecah, baik secara tematik maupun secara logika. Kalau tidak ada alasan yang benar-benar kuat dan tidak akan membuka wilayah makna baru yang lebih luas dan dalam, maka kata utama yang membangun latar (sebutlah demikian), misalnya mengumpamakan cinta dengan samudera, sebaiknya tetap taat pada segala sesuatu yang kesamuderaan dan tidak sekonyong-konyong berganti latar perumpamaan menjadi metromini atau sepatu.

Di sinilah bagian paling menarik dari menulis sajak, yakni menjawab
tantangan yang disajikan oleh sajak yang kita tulis sendiri. Ketika bait
pertama sebuah sajak ditulis, maka ia mengikat dan menuntut pertanggungjawaban estetik pada bait-bait berikutnya. Pembukaan sajak yang indah berkenaan dengan mata, misalnya, membutuhkan kesabaran
dan keasyikan untuk berjoging pulang-pergi dari larik sajak yang telah ditulis dengan imajinasi dan intensitas pengalaman dan penghayatan batin penyairnya.

Setiap sajak yang ditulis punya kecenderungan untuk bergelambir. Hanya joging dari diri ke larik puisi sekali saja (apalagi tidak), tak bakal mampu mengusir gelambir yang ada. Makin banyak dan makin disiplin joging dilakukan antara diri dengan puisi, pulang pergi, makin besar peluang menghasilkan sajak yangsingset dan serasi. Ketat diksi, suasana, rima, maupun rancang bangunnya.

Pada pembicaraan sebelumnya, saya menekankan pentingnya rima dalam sajak. Sekarangpun akan tetap ditekankan pentingnya rima dan persamaan bunyi. Rima itu sendiri bisa beragam: rima akhir, rima tengah, dan sebagainya. Ini belum ditambah dengan teknik enjabemen (pemenggalan). Pentingnya rima tidak dengan sendirinya membolehkan seorang penyair untuk beroleh jalan mudah, yakni menyama-nyamakan rima akhir karena rima yang sejati adalah rima yang lahir dari puisi, dan bukan puisi yang lahir dari rima.

Enjabemen alias pemenggalan pada dasarnya dilakukan untuk memecah makna hingga membuka kemungkinan dari satu makna menjadi dua atau beberapa makna. Contohnya adalah sajak Goenawan Mohamad “Interlude”:

Kita bergantung pada mungkin
Kekal mungkin tak kekal …

Ditulis dengan cara lazim, maka ia akan menjadi:

Kita tergantung pada mungkin kekal
Mungkin tak kekal.

Namun, dengan enjabemen, maka terbuka kemungkinan makna: (1) Kita tergantung pada mungkin; (2) kita tergantung pada mungkin kekal; (3) Kita tergantung pada mungkin kekal mungkin tak kekal, dan seterusnya.

Diksi alias Pilihan Kata: Rimbun Doa dan Banjir Metafora

Sajak cinta dan sajak religius adalah dua sajak yang paling sering ditulis orang, khususnya remaja. Kedua-nya merupakan jenis sajak yang paling mudah dibuat dengan buruk dan paling sulit dibuat dengan bagus. Baik cinta maupun rasa ketuhanan adalah perasaan yang paling subjektif dan kerap kali paling sentimental. Maka, pada saat meluahkan perasaan cinta atau ketuhanan orang cenderung tidak mampu mengendalikan diri sehingga hasilnya seringkali super sentimental dan terasa lebai. Apalagi jika kedua hal itu ditulis oleh remaja yang memang energi dan perasaannya masih cenderung meledak-ledak.

Gejolak besar sentimentalitas yang memberi isyarat ke arah “hampir lebai” itu terlihat pada kerimbunan metaforis pada sajak-sajaknya. Di tangan mereka yang tidak mampu mengendalikan diri dan kurang terlatih kerimbunan itu akan menjelma menjadi semak belukar yang tak terurus. Di tangan mereka yang cukup terlatih dan mampu mengendalikan diri, kerimbunan bisa memikat. Kerimbunan meman membutuhkan kehati-hatian ekstra pada penulisnya. Gejolak jiwa kerap menghasilkan luapan emosi yang membuncah menjadi banjir metafor. Di tangan mereka yang berbakat, metafor-metafor itu akan sangat kuat dan memikat. Jika sebuah sajak dibanjiri metafor yang kuat dan memikat, maka ada dua kemungkinan bagi sajak itu, yakni: menjadi sangat menarik dan berhasil, atau justru hanyut dan tenggelam dalam banjir metafor. Metafor-metafor yang kuat dan memikat cenderung membuat penyairnya sayang untuk membuang-nya. Dalam pada itu, sebuah metafor kuat dan memikat dapat melemahka dan menghancurkan metafor kuat dan memikat lainnya yang bertentangan.

Banyaknya metafor kuat dan memikat yang saling menghancurkan karena
tidak koheren akan membuat sebuah sajak saling menghancurkan. Dalam banjir metafor, seorang penyair memang harus lebih berhatihati mengelola banjir itu. Ia harus awas dan waspada untuk tidak membiarkan metafor-metafornya saling menenggelamkan. Oleh karena itu ia harus juga memiliki ketegasan untuk membuang metafor-metafor yang nampak bagus, bahkan memikat, jika metafor itu tidak koheren dengan metafor lainnya. Metafor yang kua dan memikat bisa disimpan untuk kesempatan lain.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengelola banjir metafor itu. Cara pertama adalah mengelola rancang bangun sajaknya. Cara kedua adalah mengelola metrum dan irama. Susunan pembaitan dan pelarikan
dari atas ke bawah merupakan sebuah kesatuan yang utuh. Oleh sebab itu,
penyair dituntut untuk menata dengan baik mana gagasan/ perasaan/metafor utama dan mana gagasan/perasaan/metafor penjelas. Di mana ia harus meletakkan yang utama dan dimana meletakkan penjelas. Bisa juga ia menyusun gagasan/perasaan/metafor utama dengan sejumlah
varian yang sama kuatnya namun saling menjelaskan dan menjalin kesatuan. Dengan demikian, susunan sajak dari atas ke bawah menjadi
sesuatu yang padat dan utuh baik gaya maupun makna.

Salah satu contoh terbaik dalam hal ini adalah sajak Rendra “Blues untuk Bonnie”. Setiap satuan dibangun dalam permajasan yang berbeda (ikan, guci, dsb.) namun setiap bagiannya secara sejajar membangun kesatuan utuh dan kuat bagi keseluruhan sajak.

Pengelolaan metrum dan irama ibarat membangun kanal-kanal bagi
banjir metafor. Dengan begitu, setiap luapan banjir metafor dijinakkan
dengan mengelola metrum dan irama. Dengan banjir metafor seorang penyair ingin mengungkapkan gejolak hatinya melalui semburan metafor. Namun, dengan pengelolaan metrum dan irama, banjir memang menjadi teduh, namun makna dan kekuatan sajak tidak menjadi hilang karena apa yang tadinya sepenuhnya dikerjakan metafor kini secara bahu-membahu
dikerjakan pula oleh metrum dan irama. Bahkan, seringkali perasaan
yang tak terungkap lewat kata dan metafora bisa dibisikkan secara kuat
lewat metrum, rima, dan irama.

Tentang Teknik dan Pertukangan (Craftmanship) Sastra

Teknik an sich bukan masalah penting bagi seorang sastrawan atau seorang seniman. Seorang pendekar, dengan teknik ilmu pedangnya secara canggih dan meyakinkan melakukan tindakan ini: menyontek tutup wadah teh lalu dengan sabetan yang indah dan meyakinkan meluncurkan segenggam teh dengan ujung pedangnya ke sebuah poci. Tendangannya menimbulkan angin yang menerbangkan cerek air panas ke udara. Dengan gerakan indah, air panas di cerek pun tertuang tanpa tumpah ke dalam poci. Dengan tenaga dalamnya, poci teh menjadi kian panas dan mendidih, lalu dengan sebat pendekar itu melemparkan poci ke udara, dan sambil salto ia menepiskan poci itu hingga air teh dengan cantik dan anggun mengisi tiga buah cawan dengan sama banyaknya. Pendekar itu kemudian mempertontonkan gerakan silat yang hebat, menendang poci, lantas bersalto di udara dan mendarat dengan cantik dan gagah di kursi. Beberapa detik kemudian, pedang sudah masuk ke dalam sarungnya dan
poci teh mendarat dengan anggun di meja.

Tiga cawan teh buat para tamu tersaji dengan mewah di atas meja. Para tamu, mau tidak mau dibuat keder dan kagum pada teknik silat sang pendekar. Bersama semua itu, mereka dapat mengukur pencapaian teknik dan ilmu silat sang pendekar. Pertanyaannya adalah: bagaimana rasa
teh itu dibandingkan hasil karya seorang pelayan yang dengan tanpa banyak gaya memilih teh dengan mutu terbaik, menyeduhnya baik-baik, dan menyajikannya begitu saja?

Masih seorang pendekar silat. Dia muncul saat 7 orang penjahat beringas
merampok sebuah rumah sambil akan memperkosa sang ibu dengan tiga
anak gadisnya. Barang-barang sudah ludes mereka jarah. Pendekar itu bertarung dengan 7 orang penjahat dan berhasil mengalahkan mereka serta menyelamatkan sang ibu dengan ketiga anak gadisnya dari tindakan 7 lelaki durjana.

Pendekar manakah yang mengesankan kita?

Di Indonesia, kerap terjadi hal semacam ini: pada kasus pertama orang-orang akan bertepuk tangan dan para pengamat akan membicarakan dan membahas teknik ilmu silatnya; sedang pada kasus kedua orang-orang akan memuji dan mengelu-elukan sang pendekar, sementara para pengamat ilmu silat (dengan tulus maupun keki) akan mengacungkan jempol atas tindakan sang pendekar sambil membicarakan tindakan heroiknya, tanpa pernah membahas tekniknya.

Mengapa demikian? Karena pada kasus pertama, di hadapan si
pengamat ilmu silat disajikan teknik dan mereka akan mengunyah apa yang tersaji di depan hidung mereka. Pada kasus kedua, sang pengamat terpukau oleh tindakan heroik sang pendekar dan mereka akan mengunyah heroisme itu. Padahal, seorang pendekar yang bertarung dengan 7 orang penjahat tidak bisa tidak akan menggunakan teknik silat. Kalau dia tidak menguasai ilmu silat yang tinggi, dia sudah keburu mati sebelum menyelamatkan ibu dan tiga anak gadisnya itu. Tapi karena dia
menyajikan heroisme —dan bukan teknik— maka pengamat sering
kebingungan untuk keluar dari heroisme dan membahas tekniknya.

Maka, biasanya para pengamat yang kebingungan ini lebih suka untuk
duduk-duduk di kedai minuman dan membahas panjang lebar teknik para
pesilat yang mengagumkan mereka saat si pesilat itu menyajikan minuman.

Dalam dunia sastra masalahnya lebih pelik. Para pendekar heroik yang menghunus pena untuk menyelamatkan orang tertindas dan teraniaya, masih pada hidup di sekitar kita meski tekniknya tidak seberapa. Sementara para pendekar pesolek terus-menerus dipuji dan dielu-elukan
tekniknya meski tak ada hal baru yang dibuatnya. Ini berbeda dengan para
pendekar di dunia persilatan. Para pendekar yang menghunus pedang
untuk membela kaum yang teraniaya, sudah pada mati terbantai oleh para
durjana kalau ilmu dan teknik silatnya tidak luar biasa. Dalam lima tahun saja akan sudah berderet nama para pendekar yang almarhum dalam upaya mereka memerangi kejahatan. Hanya pendekar yang benar-benar sakti yang masih berjaya dan membuat ciut nyali para durjana. Sementara dalam lima tahun itu pula sang pendekar pesolek sudah menjadi pelayan tetap sebuah kedai minuman karena teknik silatnya berhasil menyedot rasa ingin tahu para tamu. Sudah barang tentu jika kita menjadi langganan kedai minuman itu dan sudah menonton atraksi lebih dari tiga kali, bisa dipastikan kita sudah tidak akan sabar lagi menunggu segala atraksi elok sang pendekar dan ingin segera disajikan minuman dengan cepat dan dengan cara biasa saja.

Teknik silat canggih dalam penyajian teh yang dulu memukau kita, sekarang sudah jadi membosankan, bahkan sudah terasa menjengkelkan karena bagaimanapun kita ingin minum teh yang enak.

Sekali lagi, di dunia sastra masalahnya jadi berbeda. Sang pendekar heroik yang teknik dan ilmu silatnya dangkal (dan harusnya sudah mati dalam pertempuran pertama melawan para begal) masih mondar-mandir sebagai pahlawan yang dielu-elukan rakyat. Sementara pendekar pesolek yang pamer teknik masih terus merasa diri sebagai bintang tanpa menyadari bahwa para pengunjung kedai yang sudah menjadi langganan ingin segera minum tehnya dan pergi menguruz hal lain yang lebih mendesak. Para pengamat masih sibuk mengunyah apa yang tersaji di depan hidung mereka.

Baca Juga: Diksi dalam Puisi

Akhirul Kalam

Tak lagi perlu diperdebatkan bahwa tugas penyair tidak kurang tidak lebih
adalah menulis puisi. Hanya dan hanya puisi. Tugas lain sepenuhnya sampiran, boleh dilakukan boleh tidak. Oleh sebab itu, tugas penyair
sangatlah ringan. Yang berat bukan tugas penyair, melainkan tugas puisi.

Tugas puisi adalah menyuling pengalaman sehari-hari menjadi minyak wangi yang aromanya kuat melekat dalam ingatan. Tugas puisi adalah memfosilkan pengalaman sehari-hari menjadi tambang minyak kenangan. Tugas puisi adalah menjadikan pengalaman sehari-hari menjadi ladang-ladang tanaman pangan bagi kalbu dan kesadaran. Tugas puisi meracik pengalaman sehari-hari menjadi bom yang mencuri rasa tentram dari rutinitas kehidupan. Tugas puisi adalah menjadikan pengalaman sehari-hari sebagai pusat gempa yang meretakkan tanah keyakinan dan merobohkan bangunan-bangunan jumud dari pikiran. Tugas puisi adalah
menyalakan setangkai lilin saat dunia disergap kelam gulita.

Maka, pada dasarnya, hanya penyair yang sanggup memikul beratnya tugas puisi itu di bahunya lah yang akan bertahan sebagai penyair.

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *