Roller Coaster Nilai Tukar dan Kepercayaan

Tulisan ini dimuat pertama kali di Asumsi, 11 Mei 2020 dengan judul Merasa Rupiah Terlampau Murah? Bagaimana, sih, Nilai Tukar Ditetapkan? Berikut versi aslinya sebelum diedit:

Roller Coaster Nilai Tukar dan Kepercayaan

Beberapa hari lalu, di sebuah WAG, ada pertanyaan, “Pandemi terjadi di seluruh dunia. Ekonomi global hancur. Tapi kenapa nasib nilai tukar Indonesia tidak sama dengan Amerika? Apa yang membedakan Rupiah dengan USD?”

Pertanyaan tersebut terpaksa membawa saya kembali ke ruangan sidang komprehensif setelah sidang skripsi. Mulanya, sang dosen penguji bertanya mengenai asumsi-asumsi dalam APBN. Untungnya, saat itu masih rajin belajar APBN dan makroekonomi. Tidak ada kesulitan berarti, sampai salah satu dari tiga dosen penguji itu bertanya, “Apa pendapat Saudara tentang nilai tukar kita?”

Saya masih begitu polos, berapi-api, menjawab, nilai tukar kita tidak ideal. Bahkan yang diasumsikan pun tidak setimbang. Seharusnya, Rupiah bisa lebih kuat lagi. Saya dengan percaya diri menyebut angka 12 ribu sebagai angka kesetimbangan.

Tentu saja saya keliru. Otoritas dan dasar apa yang saya miliki sehingga bisa menggugat Badan Kebijakan Fiskal yang telah dengan ilmiah melakukan setidaknya 3 skenario (pesimis, moderat, dan optimis) untuk kemudian meletakkan angka asumsi nilai tukar itu. Seharusnya, jawabannya adalah sesuai dengan asumsi nilai tukar yang ditetapkan. Jangan sampai realisasi sepanjang tahun meleset terlalu jauh dari asumsi tersebut, baik terlalu menguat maupun terlalu melemah. Itulah kesetimbangan yang diyakini oleh Pemerintah.

Tentang kesetimbangan itu, ternyata ada yang lebih polos dari saya. Mereka berargumen dengan membandingkan nilai tukar pada masa Orde Baru dengan masa setelah Reformasi. Namun, ada yang tidak dipahami bahwa pada kedua masa ini terdapat perbedaan sistem nilai tukar.

Pada masa Orde Baru, kita memakai sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate), baik secara terang-terangan—dengan menyebutnya di dalam undang-undang hingga tahun 1978. Dalam nilai tukar tetap, nilai tukar dalam negeri ditetapkan pada tingkat tertentu tanpa melihat aktivitas penawaran permintaan mata uang. Devisa dikorbankan untuk mengendalikan pasar. Tentu, cadangan devisanya harus sangat besar. Dengan risiko—dan itu terjadi—begitu cadangan devisa jebol, nilai tukar akan melemah begitu parah.

Setelah tahun 1978, kita memakai sistem nilai tukar mengambang terkendali (managed floating exchange rate. Dalam sistem ini, nilai tukar tidak sepenuhnya didasarkan pada aktivitas pasar valuta. Otoritas moneter menetapkan range tertentu yang masih bisa ditoleransi.

Sedangkan setelah reformasi, kita baru menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas (free floating rate). Penerapan inilah yang kemudian memunculkan istilah kesetimbangan, pasar akan menentukan kondisi yang setimbang antara penawaran dan permintaan. Namun, karena dinyinyiri sebagai sistem neolib, kita tidak sepenuhnya mengambang bebas, karena sekali-kali bank sentral masih melakukan intervensi untuk menjaga nilai tukar supaya tidak melemah terlalu parah.

Kembali ke pertanyaan awal, perlu ditegaskan kembali bahwa nilai tukar mata uang itu relatif. Karena itulah ia perlu diperbandingkan dengan mata uang negara lain.

Hal yang menjadi pengaruh paling utama adalah kondisi politik dan ekonomi secara keseluruhan. Kita tidak bisa menyangkal, secara politik, negara-negara besar seperti Amerika Serikat sangatlah kuat. Kekuatan itu menimbulkan kepercayaan publik, sehingga USD masih dipakai sebagai alat perdagangan internasional—meski yang percaya teori konspirasi, akan mengingat kembali sejarah lahirnya emas hitam yang membuat mata uang Paman Sam itu dicintai hingga saat ini.

Baca Juga:

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Secinta apapun kita dengan negeri ini, hari-hari pandemi ini kita terpaksa menutup muka karena malu dengan kelambanan penanganan oleh berbagai media asing. Dokter dan tenaga kesehatan sedemikian banyak sehingga kita dicap sebagai salah negara yang paling tidak aman dalam menghadapi Covid-19. Para investor pun berlari menghindar.

Situasi inilah yang sempat membawa Rupiah terjun ke jurang, dari 13 ribuan di awal tahun menjadi 16 ribuan di akhir Maret. Baru April, ketika Pemerintah makin membuka mata, dengan melakukan rapid test, Pembatasan Sosial Berskala Besar, serta Perppu No. 1 Tahun 2020 yang menandakan kesigapan Pemerintah untuk serius dan fokus menghadapi pandemi, Rupiah mengalami fenomena Shooting Star, rupiah terus-menerus menguat bahkan hampir selama 4 minggu beruntun hingga ke level 15.300. Tentu saja, situasi di Amerika yang makin parah (hingga kini lebih 1 juta warga Amerika dinyatakan positif Covid-19) juga ikut memberi kontribusi terhadap penguatan Rupiah terhadap USD.

Hal-hal di atas masih berupa simplifikasi karena ada banyak faktor yang mempengaruhi nilai tukar. Tingkat inflasi antara dua negara, utang publik, dan neraca perdagangan menjadi beberapa faktor lain. Termasuk pula situasi lain di dunia seperti keberhasilan pengujian Remdesivir dari Gilead Science.

Pertanyaan berikutnya, seberapa penting nilai tukar itu di masa pandemi?

Hal paling penting bagi rakyat Indonesia saat ini adalah bertahan hidup. Bisa makan hari ini dan seterusnya. Seandainya, semua bahan makanan pokok bisa diproduksi di dalam negeri, dan dunia benar-benar menunjukkan solidaritas dengan berkomitmen menunda pembayaran utang, saya setuju dengan Chatib Basri, biarin sajalah nilai tukar itu mau melemah. Toh, pagebluk ini menghajar perekonomian tanpa ampun. Selamatkan yang paling penting diselamatkan.

Di situ, ucapan Rizal Ramli menjadi penting. Bahwa dalam krisis, kita harus selalu bisa melihat peluang. Ada satu sektor lagi yang perlu diperhatikan Pemerintah: Pertanian. Inilah peluang hebat, saatnya kita berdikari dengan menghasilkan bahan makanan untuk rakyat. Meski kita kini harus bersedih, karena beras impor, garam impor, sampai jamu pun impor.

Kalaulah boleh dicari apa yang salah, seperti uang, segalanya adalah tentang kepercayaan. Nilai tukar melemah karena berkurang kepercayaan terhadap Rupiah. Uang menjadi seonggok kertas yang tak berharga ketika kepercayaan masyarakat terhadapnya runtuh. Sementara di sisi lain, orang-orang yang diberi amanah untuk menjaga rakyat, menghianati kepercayaan itu!

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *