Catatan Pembacaan atas Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk
Dapatkah karya sastra mengubah zaman? Pertanyaan itulah yang tercetus di benakku ketika selesai membaca Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Barangkali, jika tak ada novel ini, akan sangat sulit bagi seseorang di luar Minangkabau untuk menikahi perempuan Minangkabau.
Perempuan memang memegang peranan penting dalam adat Minangkabau. Minangkabau menganut sistem matrilineal. Artinya, garis keturunan didasarkan pada ibu. Hal ini juga mengandung konsekuensi warisan adat diturunkan ke anak perempuan tertua terlebih dahulu. Atau yang lebih dikenal dengan istilah bundo kanduang. Dapat dianggap sebagai kemalangan, jika tidak memiliki anak perempuan. Garis sukunya akan terputus.
Yang dialami oleh Zainuddin lebih pelik lagi. Ayahnya tercampak dari tanah adat, lalu menikahi perempuan Makassar. Meski memiliki darah Minang, Zainuddin tak dianggap Minang. Ia tidak memiliki suku. Hal itu diungkapkan Zainuddin dengan berkata, “Di Makassar aku dianggap orang Minangkabau, di Minangkabau aku dianggap orang Makassar.”
Tradisi pernikahan dalam adat Minangkabau juga tidak sederhana. Peran ninik-mamak begitu penting. Hubungan antara mamak (saudara laki-laki ibu) dengan kemenakannya begitu erat. Mamak berkewajiban mendidik sang kemenakan. Mamak juga yang berperan penting dalam musyawarah untuk memutuskan calon suami bagi kemenakannya. Keputusan orang tua dan mamaklah yang menentukan apakah seorang lelaki diterima atau tidak jadi menantu di keluarga itu. Hal ini diperlihatkan tatkala Zainuddin melamar Hayati. Para ninik-mamak bermusyawarah untuk menghasilkan keputusan menolak Zainuddin.
Latar peristiwa Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk adalah pada tahun 1930. Kini, 86 tahun sudah berlalu. Pembaca di luar Minangkabau pasti bertanya-tanya, apakah adat Minangkabau masih seperti itu?
Ninik Mamak merupakan salah satu unsur pemerintahan nagari. Ketika Orde Baru berkuasa, fungsi Ninik Mamak digantikan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Selama masa 30 tahun lebih di Orde Baru itu, tentu ada pergeseran-pergeseran yang terjadi. Ada yang positif semisal peran absolut ninik-mamak menjadi lebih fleksibel, ada juga pengaruh negatif karena fungsi pengawasan keluarga yang hilang mengakibatkan perubahan tingkah laku generasi muda. Karena itu, baru ketika reformasi, pada UU Otonomi Daerah, peran Ninik Mamak dikembalikan lagi dalam unsur pemerintahan.
Ketika saya menikahi perempuan Minang, beberapa hal yang tergambar di Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk pun saya alami. Ketika Zainuddin hendak melamar Hayati, haruslah via induk bako, atau saudara perempuan dari ayahnya. Saya yang non-Minangkabau sebelumnya harus memiliki keluarga, memiliki suku terlebih dahulu. Jadilah saya diangkat anak dan mendapat suku Chaniago. Tinggal beberapa hari di rumah Chaniago sebelum melangkah ke prosesi selanjutnya. Keluarga baru sayalah yang kemudian melamar ke Ninik Mamak.
Sebenarnya, di tiap nagari, detail adat itu berbeda-beda. Hayati berada di Batipuh. Batipuh dikenal dengan semboyan Batipuah Nagari Gadang Sapuluah Anak Kotonya Campo Koto Piliang yang berarti bahwa Batipuh merupakan negeri yang sangat luas dan sangat tegas nan kuat dalam adat istiadat Koto Piliang. Ketegasan itu tergambar jelas di novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wejk. Dalam relasi Zainuddin-Hayati pun tidak pernah terjadi hal-hal yang melanggar aturan agama. Di Minangkabau juga dikenal semboyan adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Adat bersendikan syarat, syarat bersendikan kitab suci. Kita dapat melihat, meski dimabuk cinta, Zainuddin tidak pernah menyentuh Hayati. Mereka berbalas-balasan surat dan surat itu diantarkan oleh orang ketiga. Ketika mereka tampak berkhalwat (berdua-duaan), hal itu serta merta menjadi hal tak disedap dipandang mata. Dengan cepat, hal itu menjadi isu yang negatif dan mengundang kemarahan dari keluarga Hayati.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk juga menunjukkan tradisi sastra yang kuat di Minangkabau. Dalam prosesi adat seperti Balatak Tando, dua pihak keluarga akan bersahut-sahutan pantun. Dalam surat-surat Zainuddin dan Hayati, kita juga menemukan bahasa yang indah. Pun di dalam novel ini, ada banyak kalimat yang indah dan membius.
“Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sedu sedan. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri penghidupan.”
“Anak lelaki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah buat berjuang, kalau perahunya telah dikayuhnya ke tengah, dia tak boleh surut palang, meskipun bagaimana besar gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang.”
“Kadang-kadang cinta bersifat tamak dan loba, kadang-kadang was-was dan kadang-kadang putus asa.”
“Kalau pikiran tertutup bagaimana mungkin bisa mengarang?”
“Sejauh-jauhnya kita tersesat, pada kebenaran kita akan kembali.”
Ada banyak kalimat lain yang dapat membuat pembaca terpiuh-piuh di novel tersebut. Saya menduga kecenderungan keindahan bahasa di suatu wilayah juga dipengaruhi kondisi geografi wilayah tersebut. Misal, di Makassar pesisir, orang dikenal keras bahasanya karena geografinya berupa pesisir pantai. Orang harus berteriak-teriak mengalahkan deru ombak untuk bisa didengar. Di Palembang, panas, dan antarrumah berjauhan sehingga harus berteriak untuk memanggil satu sama lain. Minangkabau dianugerahi keindahan alam yang luar biasa. Sepanjang mata memandang, tampak hijau persawahan. Tanah yang subur, udara yang sejuk. Tak heran, bahasanya pun menjadi indah.
~
Apakah karya sastra itu?
Sering saya mendapatkan pertanyaan seperti itu. Banyak orang mengatakan teenlit bukan sastra, chicklit bukan sastra, pop bukan sastra. Bagi saya hal itu keliru. Karya sastra adalah karya yang merekam zaman, atau karya yang hadir sebagai reaksi dari zaman. Senada dengan hal itu, di dalam kitab Sutasoma dikatakan, kurang-lebih, susastra adalah sebuah kolam yang bening, yang memantulkan bulan dengan sempurna. Kalimat itu bisa berarti karya sastra mampu menampilkan wujud zaman apa adanya, secerah dan seburuk mungkin. Segala sesuatu yang ditulis memiliki dasar. Dan kolam yang bening, bisa digunakan untuk bercermin.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk tak dinafikkan adalah karya sastra yang baik. Meski dalam sejarahnya, novel ini sempat dituduh hasil plagiasi—yang kemudian dibela oleh HB Jassin, dkk. hal itu tak menutupi kecemerlangannya.
Novel ini bukan kritik atas adat Minangkabau, melainkan kritik atas pergeseran penerapan adat di Minangkabau terutama pada hal yang berbau materi. Ninik mamak, dalam hal menerima calon menantu, seharusnya hanya melihat syarat utama yakni apakah sang lelaki sudah memiliki pekerjaan, apakah sang lelaki tampak bertanggung jawab dan apakah perempuan menerima sang lelaki. Dalam kasus Zainuddin yang tidak memiliki suku, adat memungkinkan pemberian suku kepada Zainuddin (seperti yang saya alami). Novel ini membabarkan bahwa kepentingan materialisme itu ada dalam kedok adat. Azis dipilih karena keterpandangannya, hartanya.
Kritik Hamka yang kedua terlihat pada kelakuan anak muda di perkotaan yang mulai meninggalkan agama. Relasi itu terlihat pada Khadijah, sahabat Hayati, yang tidak mengenakan baju kurung dan mengatakahn pakaian adat sudah tidak modern. Modernitas harus muncul juga dalam penampilan. Pemberian nama Khadijah sendiri punya arti penting. Hamka seolah ingin menampilkan ironi di antara nama dan perbuatan. Hamka ingin menampilkan wanita modern seharusnya seperti Khadijah (istri Rasulullah) yang merupakan pengusaha sukses, namun tetap menjadi wanita yang mulia.
Kritik ketiga, Hamka juga ingin berkata, tak pernah ada ujung yang baik dari hedonisme, dari judi dan utang. Azis yang terjebak dalam kehidupan hura-hura, bermain judi dan terlilit utang pada akhirnya harus kehilangan segalanya.
Kritik-kritik itu berhasil ditempatkan dengan baik oleh Hamka, sebagai sari dari cerita. Ia tidak menggurui. Ia berhasil membawa pembaca dalam ketegangan yang intens di sepanjang cerita. Maka, tak salah jika dikatakan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk adalah karya sastra terbaik Buya Hamka.
Lalu apakah karya sastra dapat mengubah zaman?
Pertanyaan ini hanya akan bisa dijawab oleh waktu. Dalam hal, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, sepertinya iya.
(2016)