Dandelion I
Jika ibu kita tak lagi tidur malam ini,
Akankah cemas menggrogoti jemala
was-was anak-anaknya
seorang musafir dzikir seperti air
mengalir dan hanyut ke tepi estuari
kau, mudah patah dan rapuh
diterpa angin dingin
serpihan bungamu akan tumbuh
melahirkan rahim-rahim ibu
kita melupakan yang semestinya kita lupa:
telaga malahayu
membuka telinga, menutup mata
sejenak rindu terjepit diantara kau dan aku
menyalang tanpa jeda
menyulam segala aksara
(2020)
Dandelion II
Siapa kirannya yang pantas disebut sebagai batu berlumut?
Saat jalanan terjal lalu terpelanting jauh kedalam ngarai
Kubenamkan jemalaku didasar dadamu
Hujan berlalu-lalang didepan lamunanku
Memesan ilalang ditengah-tengah perjalanan
Bukan hanya memiuhkan pedih di relung hati
Apa batu berlumut itu merasa bungah?
Petang belum seranum rona bibirmu. Dibawah atap
Kita menciptakan air mata. Kau bertanya,
Apa ibu kita akan segera pergi?
Sepasang burung berpelukan dibawah pendar purnama
Katamu, ibu kita menanak rindu anak-anaknya.
(2020)
Dandelion III
Kita tanggalkan bunga-bunga mimpi di telaga tandus
Bersumber air mata dari pulupuk mata ibu
Bukankah impian kita adalah mati
Dalam dekap orang yang dicinta
Ibu kita sedang menanak rindu, katamu.
Sepasang burung membawa pergi jemawa
tembok labirin tak pernah menyeka keringatnya
seekor capung hinggap di ranting-ranting pohon akasia
rindu kita telah ranum. Tapi tak bisaku merasakannya.
Ayahku, bisakah kau rasakan ketiadaannya?
Cahaya menjelma cinta yang tak pernah selesai
Telah datang dan merasuk kedalam sukmaku
Meninggalkan rumah kecil dalam jemalamu
(2020)
Kasih
Kasih, perpisahan
Hanya pertikaian yang terjadi menutup
Pintu-pintu kesedihan
Melipat wajah lusuh
Aku ingin merayakan hening
Sebelum fajar tersungkur
Di atas ranjang aku bermimpi Panjang
Menggurat batu-batu tanpa nama
Garis tanganmu
Serupa arah langkah
Kaki-kaki berjinjit ketika dalam dekapmu
Anak-anak anjing
Melolong di selasar
rumah ibumu
(2020)
Hidup berawal dari mati
Hidup berawal dari mati.
Meneroka ruas jalan penuh debu
menyusuri jalan memuncak beserta batuan terjal
sampan-sampan menepi pada muara kehidupan
Apa benar hidup berawal dari mati?
Mungkin, tak ada salahnya.
Jika mendung murung dan hujan tuk lagi turun
angin sibuk dengan dirinya,
sampai lupa bahwa dirinya adalah angin
apa benar hidup berawal dari mati?
(2020)
Tangisan puan
Pusara itu tertimbun rerumpunan tebal
diselimuti luruhan daun yang kekal
Gemersik angin di bawah pejalan kaki
Bertabur bunga-bunga kamboja
Kudekap erat sebongkah nisan penuh lumut
Seakan mengucapkan selamat datang untuk selamat tinggal
Betapa moleknya pusaramu
Pohon kamboja membungkuk memayunginya
Berguguran bunga-bunga masa lalu
Mengalir air kedalam telaga mimpi
Menetes embun-embun jatuh dari sepasang mata rapuh !
Untuk kau teguk
Meminum air mata
Anak-anaknya
(2020)
Isra’ Mi’raj; Ra Ja Ba
Ra/
Sang pembawa lentera akhir zaman
Melanglang-buana di pesisir maupun di kota
Ja/
Lebih setia dari kirik-kirik
Tak pernah menjilat kepada tuannya.
Ba/
Tanpa sepatu kuda
Ia berlari menghampiri sang pembawa lentera
Menghantarkannya bertemu sang pendahulu
Sekaligus Raja dari segala Raja
(2020)
Tentang penulis
Syamsul Bahri berdomisili di Subang, Jawa Barat. Instagramnya @dandelion_1922. Ia adalah alumni Universitas Muhammadiyyah Yogyakarta, S1 Pendidikan Bahasa Inggris.