Puisi-puisi Rivai Apin dianggap setara dengan puisi-puisi Chairil Anwar dan Asrul Sani. Ketiga penyair tersebut disebut H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan 45. Mereka bertiga dikenal sebagai “Tiga Menguak Takdir”.
Rivai Apin sendiri lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 30 Agustus 1927 dan wafat di Jakarta pada April 1995). Karya-karyanya dimuat dalam Gema Tanah Air (1948, ed. H.B. Jassin), Tiga Menguak Takdir (1950), Puisi-puisi Rivai Apin sendiri telah dikumpulkan oleh Harry Aveling dengan judul Dari Dua Dunia yang Belum Sudah (1972). Menurut Harry Aveling, sebagai penyair Rivai Apin telah menulis sajak yang dapat dikelompokkan ke dalam aliran persajakan Indonesia ala Chairil Anwar yang ditandai dengan kemurungan, keresahan, dan kesepian dalam pengucapannya. Berikut ini adalah puisi-puisi Rivai Apin yang terkenal.
ORANG PENGHABISAN
Untuk Chairil Anwar
Aku menyerah dengan seluruh kekayaanku:
Kekinian dan keakanan. Pada kursi panjang
Di kamar terang samar pada senja
Dengan rokok berkepulan di tangan.
Hari-hari aku jadikan pura dari kelaluan
Dan sekali-kali aku akan tertawa dan tersenyum sendirian.
Tiap hari-hari mati membenamkan aku
Ke dalam benda-benda yang berlapukan dan berdebuan
Tapi, sehabis kuap yang penghabisan, aku takut
Kepala akan berteleng dan mulut yang meliang
dengan bibir yang berat bergantungan
Akan keluar penyesalan: Hari-hari baru hanya cemooh keterlaluan.
PERISTIWA
Malam membenamkan aku ke gang-gang
Dan dari aku, dia tidak akan dapat tantangan.
Aku tahu, kapal-kapal telah berangkat
Dan tidaklah akan kukejar ini kepergian.
Aku tadi juga di tangga dan di telingaku membising:
Orang bersuit-suitan dan menyoraki,
Tapi satu kilat memutuskan:
Aku kembali ke tengah mereka.
Benciku, yang melendir di mulut kuludahkan ke kapal yang tak kena
dan satu ombak kecil enak saja membawa ludahku lari
Tiga Menguak Takdir
Di atas hancuran tembok yang kuruntuhkan
Berdiri aku atas kuda putihku, gaya dan jaya
Di hadapanku menghampar padang dan bukit
Dengan lengkungan langit yang membuatku lapar ruangan.
Lalu dadaku memberikan ruang
Bagi jantung yang memukul berdentangan
Memancarkan darah yang dia degap degupkan
Darah kudaku pun ikut menjalang
dan
dia berlonjak-lonjakan oleh kekesalan
Lalu kulepas
dan kami menderu pacu ke pantai-pantai
ELEGI
Apa yang bisa kami rasakan, tapi tak usah kami ucapkan
Apa yang bisa kami pikirkan, tapi tak usah kami katakan
Janganlah kau bersedih – dan mari kami lanjutkan
Kami bawa ini kebenaran ke bintangnya dan ke buminya.
Kami pun tahu, karena ada satu kata dari kau yang kami simpan
Satu pandang dari tanah retak menggersang, lalu sedu menyesak dada,
Ah, kenangan padamu kan terus memburu,
– menakutkan seperti bayang di pondok seloyongan bila,
bila pelita telah dipasang.
Tapi penuh kasih seperti Bapak yang mengulurkan tangan
Dan kau kembalii, seperti di hari-hari dulu
Ketika kau dan ini bumi mendegupkan hidup.
Kami tak kann lupakan kau, ketika memburu dan ketika lari
– karena apa yang kami buru dan apa yang kami lari
untuk itu mau serahkan nyawamu
Pun tahu, seperti kau pun tahu, bahwa tak ada
Dewa atau Tuhan lain yang berharga untuk dihidupi selain itu
Berhembus pun topan di padang tandus ini
Tapi tapak kami yang tertanam di padang gersang,
Di mana kau dalam terkubur
Melanjutkan nyala, dan kami yang tegak berdiri di sini ialah api.
Kita tahankan hidup di ini malam, yang akan melahirkan siang.
Kita adalah anak-anak dari satu Bapak
Kita adalah anak-anak dari satu Ibu
Dan mati bagi kita hanyalah soal waktu
Tapi kita semua mempertahankan satu Tuhan.
Adik yang akan datang, Kakak yang telah pergi
Kita angkutlah ini tanah-tanah yang retak,
Ini tanah-tanah yang gersang.
Keberatan beban, kesakitan bahu memikul,
dan kepahitan hati akan kekalahan
Akan menyaratkan cinta pada kepercayaan
Yang kita peluk.
One Comment