dimuat di Hari Puisi, 16 September 2018
Sup Kimlo dan Beberapa Hal
Janggal Mengenai Ibu
I.
aku benci ibu ketika ia mulai berceramah,
laki-laki harusnya tak pernah punya dada
sambil menunjukkan dadanya yang gosong,
ia mengajakku ke dapur, lalu mengajarkan
caranya memeras kencur, menghaluskan
andaliman, membedakan kunyit dan jahe,
menciptakan air mata dari bawang bombai.
biasanya ibu menanak batu, malam-malam
kami dipenuhi biji pala dan kembang gedang.
“apa kita akan memasak sup kimlo, Bu?”
sebab kami merindukan ayah dan panglima
bermata basah; sebuah ketukan di pintu
rumah, bunyi denting sendok dan piring,
juga jam dinding yang menyerukan larut,
pertanda kami harus segera berselimut.
hanya malam itu, kami kembali menanak
batu. aku tak tahu kapan batu itu matang
juga kenapa dada ibu menjadi gosong.
II.
tak ada yang lebih menyenangkan dari kabar
surga berada di bawah telapak kaki ibu
di hari ulang tahunnya, aku mengado sepatu
agar surga tidak kotor, menginjak tahi lencung
tetapi ibu lebih suka bertelanjang kaki
sama halnya ia lebih sering bertelanjang dada
“…kita tidak perlu menjadi tertutup, Nak.
Biarlah onak—paku merunjam, barangkali
surga juga butuh luka, butuh darah!”
III.
“…tumis bumbu halus, lalu tuangi air,
biarkan mendidih. masukkan daun melinjo
biarkan matang, lalu masukkan ikan pari
panggang. biarkan mendidih sekali lagi…
…di dadanya.”
buku harian ayah memuat banyak resep:
kangkung balacan, rendang, ayam betutu,
yang tak aku tahu—sambal goreng dada
ayah dikabarkan pergi ke surga dan belum
pulang juga. ah, kasihan ayah, setiap hari
harus diinjak-injak oleh ibu. barangkali
ibu sudah mengunci pintunya agar ayah
tak lagi menguji segala macam bumbu
di dada ibu.