Berikut ini puisi Pringadi Abdi Surya yang dimuat di Cerano.id pada 20 November 2020. Empat puisi ini semoga dapat memberikan sesuatu pada kamu.
Batu Tanggamus
Tuhan melahirkan api
di dalam batu
anak-anak menemukan tahun
hilang di dua ribu lima ratus keping daun
jarak begitu jauh antarpemukiman
rumah-rumah yang diangkut dari Ilahan
berpondasikan lenguh sapi—
seseorang meniup seruling seolah
penggembala yang lupa caranya pulang
betapa pilu. tak ada perempuan-perempuan
menanak nasi dalam tungku
dan memanaskan daging busuk
di atas tulang rusuk
Tuhan menciptakan api
di atas batu
menyalalah ia seperti ritual penyembahan
dalam formasi lima segi
seekor gajah dan seekor kerbau
belajar setia
menukar belalai dengan lumpur
(2011)
Hari Minggu
Hari minggu, aku sedang memakan
buah anggur, gereja ada
di atas kepala kaum Ortodoks Rusia
berjalan ke barat
dia berkulit gelap,
dengan bau ketimuran yang khas
mata cokelat yang besar mengintip
dari halaman bibel—lalu memejam.
Bibel kecil merah dan hitam,
dan seolah-olah dia membaca
sikutnya tetap bergerak, bergerak,
o, dia sedang menari dengan ritme yang pelan
dari bacaan bibel itu…
anting emas panjang;
dua gelang emas di masing-masing lengan
dan itu busana yang mini, aku kira
pakaian itu tengah memeluk tubuhnya
dia berputar ke sana dan ke sini,
betis kuning panjang hangat di bawah matahari
tidak ada jalan keluar dari dirinya
tidak ada keinginan untuk…ah
radioku memainkan sebuah simponi
yang tentu tak dapat ia dengar
tetapi gerakannya beriring dengan pasti
dengan ritme dari
simponi
o, dia begitu gelap, begitu gelap
dia sedang membaca tentang Tuhan.
Akulah Tuhan.
Bulan untuk Ibu
dari ampera, malam seperti singkat. lampu-lampu berwarna memantul
di gelombang sungai musi. seorang nelayan masih tabah mengadu nasib.
mencari pesan yang ditinggalkan oleh ibu, dulu, ketika kanak-kanak
masih belum debu. “esok malam, aku akan datang, mendendangkan
dongeng cinderella dan putri salju.” begitu ibu berkata sebelum bulan
menjadi sabit dan daun-daun kelapa yang masih muda melengkung
di matanya.
“kapan aliran sungai ini akan berhenti sementara cinta telah memulai
muaranya?” aku ungkapkan itu pada laki-laki dengan cahaya lain, seperti
malam, yang mendatangkan mimpi-mimpi.
mimpiku juga berlayar ke cahaya bintang, menjumput kerinduan, mencari
makna kelahiran. tak usah cemas, bu, aku tak akan ke mana-mana. peraduan
bukan mengantarkan perpisahan. hanya gelombang yang sesekali datang
dan angin yang merobek layar perjalanan.
dari ampera, aku sudah berjanji. aku akan mengambilkan bulan untuk Ibu,
aku belah dua—sama rata, setengahnya kusimpan di lemari atau di laci
dekat cermin yang kian memantulkan wajah yang serupa denganmu, Bu.
Meninggalkan Palembang
Yang berat adalah melepaskan udara–
terlanjur mengikat tubuh ringkihku. Kenangan-kenangan
memang bisa menyesaki dadaku. Duduk di sampingmu
malam itu, aku mencoba mencuri yang berkilauan
di bibirmu. Seperti berlian,
begitu berharga. Cinta ini sudahlah akan kulupakan.
Hangat tubuhmu, wangi rambutmu, dan ciuman-ciuman
yang menggenapi malam di antara kita seperti cuma
angin yang diam-diam sujud
di kedua kaki, lalu pergi mencari Tuannya yang lain.
Yang berat adalah kehilangan cinta–
bukan kehilanganmu, benda, tua, lalu mati suatu saat
nanti.