Puisi Agam Wispi

Puisi Agam Wispi “Jakarta oi Jakarta” pernah memenuhi satu halaman surat kabar. Agam Wispi atau Adam Willy (nama samaran) adalah seorang penyair Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang lahir di Pangkalan Susu, Medan, Sumatra Utara pada tanggal 31 Desember 1930. Sebagai seorang penyair Lekra, ia paling berpengaruh pada tahun 1950-an sampai tahun 1960-an. Sajaknya mengandung pembaruan dari bentuk-bentuk yang pernah ada sebelumnya, seperti bahasa, ungkapannya khas, dan sarat emosi.

SAJAK-SAJAK LEPAS

daun yang mau gugur, gugurlah
cinta yang berkubur, pergilah

bila setitikpun tiada nyala
pembakar sampah sekitar
jangan tinggalkan biola
dan teruskan langkah
kemana kau suka

Semua yang terkenang
lupakan dari ingatan
tak usah lihat potret kawan
yang hancur di malam terakhir
tapi telanlah kepahitan
dan jalan tidak sempoyongan

Apakah yang indah
selain kenangan
tapi mengapa berduka
jika mimpi tak siap
terbangun tengah malam?

Yang merindu tak tahu pada siapa
tapi kenangan bergetar dan cinta mekar
pada hati yang terbuka
bagi derita kawan-kawan
jangan kembali pejuang muda.

Yang merindu tak tahu pada siapa
memang tidak padanya.

Baca Juga: Puisi-puisi Kriapur

Kabaret

baru terasa sudah di Jakarta waktu cecak merayap di dinding
menerkam nyamuk gemuk oleh darahku yang kemarin
salut cecak salam untukmu dari Eropa
baru kutahu yang tak berubah di Medan
berak cewok jongkok berdiri lagi sudah kepayahan
karena lutut sudah berkarat di makan kemanjaan
meski begitu kemanapun berjalan tercium harum durian
baru sadar berdiri di pinggir
ketika berdiri di jembatan bendungan hilir
melihat sungai membusuk airnya tak mengalir
manusiaku di sini apakah mereka memang punya tanah air
baru berkenalan dengan pemerasan yang diresmikan
ketika melayang-layang di jalan layang sang kuasa
jaman kuno sudah dimodernisasi kerakusan
tiap roda pedati harus bayar kalau mau lewat gapura
baru terbangkit semangat proklamasi
ketika di mega indonesia ada megawati
perempuan kaulah bunda kemerdekaan yang menderita
melahirkan pejuang dan bandit sama saja
baru terasa ada yang hilang di Jakarta yang kucinta
baru tahu patah tumbuh hilang berganti
melihat generasi baru menempuh jalannya sendiri

Surabaya

tiap kita jumpa
surabaya
aku selalu remaja
gembira kepada kerja
pasti kepada harapan
surabaya
laut dan kota
rata

surabaya bau keringat
bau kerja
ketegarannya harum semerbak
dan malamnja malam bercinta
deritanya
terisak-isak
dalam dengus napas
darah bergelora
cemara bersiut
meliut semampai
wilo merunduk
merenung sungai
besok ke laut
dia akan sampai

tapi ini!
malam pelaut
buih hidup
yang menggapai!
surabaya
lebih remaja
dalam bantingan usia

kucinta surabaya
sebab dia kota kelasi
kurindukan surabaya
sebab trem berlari-lari
(hakarta? trem diganti impala!)
kusukai surabaya
sebab beca dan taman
ditepi kali
kubanggakan surabaya
sebab dia kota berani
kusenangi surabaya
sebab kejantanan bernyanyi
kepahlawanan bergolak
dari kancah-kancah yang menggelegak
dan tahun-tahun kenangan
yang diwariskan
mogok pertama
buruh kereta api
zeven provincien
buruh pelabuhan dan pelaut
bersatu hari
disiram hujan peluru
dan dencing belenggu
rantai besi, bendera pertama
internasionalisme proletar
dipancangkan
proklamasi? sitiga-warna diturunkan
dan dalam pelukan sang saka
dipanjatkan kepuncak perlawanan
kemudian
diantara serpihan bom
yang mengojak
dan kota yang terbakar
terbakarlah semangat pertempuran
nyalanja
tak terpadamkan
hingga kini
nanti
dan kapanpun
nyalanya panas menempa
baja kemerdekaan
baja kehidupan
ketika kita tidak lagi bertanya
pilih njala atau pilih badjanya?
dan kita merebut
kedua-duanya!
jauh mengatasi segala
pekik pilu dan jerit sendu
ratapan kehilangan dan erang kesakitan
adalah bagai ibu yang melahirkan bayi
jang kemudian memeluk dan menyusui
serta mengusap-usapnya dengan kesayangan kebahagiaan
disitu Hari Pahlawan
dilahirkan
kko pesiar
menunggu trotoar
kelasi-kelasi
melambaikan dasi
jang bernama “kesenangan” memperpanjang umurnya
maka itu jadi terlambat
tapi bus dan truk tidak menunggu
ajo, pulang jalan kaki!
jinta sudah ketinggalan
ditembok-tembok kota
o, ketika kapal merapat lego jangkar
pelabuhan mengulurkan tangannya
dan lampu kota mengerdipkan matanya
dan bus-bus kadet menderu
megah
dan di tunjungan sikadet melangkah
gagah
putih-putih
dan gadisnya dua
jang satu pedang yang satu wanita
dan si gadis punya mata kejut pelita
dan si pedang punya mata gelegak darah mudah
si kadet jua permata dari lautan
bukan main!
namun adakah permata berkilau
tanpa sebersit cahya mencekau?
dan tiadalah angkatan perang
tak bertulang-punggung
kukuh
merekalah
kelasi dan prajurit
darat laut udara
polisi
milisia dari rakyat pekerja
tangan-tangan baja jang keras menghentam
tidak perduli bom nuklir
tapi tangan!
tangan yang menentukan
yang menghayunkan pedang kemenangan
selama di jantungnya
debur-mendebur
gelora repolusi
mengabdi rakyat pekerja
sokoguru
buruh
tani
matahari tenggelam
di jembatan wonokromo
surabaya berdandan
bagi malam berdesau
cemara
cadar kota
jang disingkapkan
surabaya
napas merdeka
yang dipertaruhkan
pahlawan-pahlawan lahir
pada zamannja dan diukur
oleh pengabdiannya
kepada rakyat
dan hari depannya
zaman lampaupun berlalu
zaman baru datang
melahirkan pahlawan baru
namun pahlawan sebenarnya
hanya tumbuh dalam lumpur dan debu
pembesar-pembesar boleh bermatian
orang-orang besar boleh berlahiran
tenaga segar dari kepahlawanan
juga sekarang
djka muda-mudi berperasaan
merasakan hidup sampai ke tulang-sumsumnya
dan yang tua-tua teguh
membatu karang oleh hempasan gelora
merekalah orangnya
dan kebanjakannya
tak bernama
merekalah petani jang dirampas tanahnya
kembali merebutnya dari setan-setan desa
mereka jang berjuang membebaskan dirinya
dari belenggu perbudakan tanah
dan buruh-buruh pelabuhan buruh pabrik
yang beruntun-runtun pagi hari
berkilat-kilat oleh keringat
dan hitam oleh matahari
pengangkut pasir yang menunggu
perahu menghayut ke gunung sari
beca jang berkerumun di lubuk jalanraya
kko – kelasi – prajurit
yang ingat kepada asalnya
pegawai-pegawai yang sadar kepada klasnja
(bukan pemabok “karyawan yang mengingkari “makan-gaji”)
si miskin-kota yang kehilangan desanya
dan mengisi sudut-sudut gelap kota
dengan kerdap-kerdip pelita
petani-petani yang dirampok panennya
dan tepat menghijaukan bumi, memerahkan tanah
pemuda pelajar mahasiswa yang membakar buku USIS*
dan mengusir setan-setan ilmu dari amerika imperialis
untuk mematahkan belenggu kebodohan
racun kemerdekaan yang berbungkus kenikmatan hampa
dan surabaya
berderap dalam tempik-sorak
meski bau tengik dan sarang malaria
sama banyak nyamuk dan lalat dimana saja
tunggu! suatu hari pernyataan perang
juga kepadamu!
disini ketegaran berkata sederhana
keras dan langsung kehulu-hatimu
yang sudah mati, ya sudah!
yang hidup sekarang, menyiapkan repolusi
dimana masing-masing beri janji
merdeka atau mati!
bagi keringat kaum buruh
bagi tanah-tanah petani
bagi kepercayaan kepada harapan
MANUSIA
ya, sekarang kita bertanya
sudahkan tanah bagi petani?
sudahkan keringat bagi kaum buruh?
yang sudah – sedikit!
yang belum – banyak!
menteri-menteri tetaplah turun naik
yang belum, kepingin jadi menterei
yang jelek, tak mau turun
yang baik, masih di podium
dan rakyat tetap menuntut: kabinet nasakom!
dan kabir-kabir main sunglap dengan peluru, uang, dan senjum
dengan tuantanah dan imperialis?
seketurunan! satu meja-makan dan sama-sama minum
dan pemimpin-pemimpin munafik menghamburkan budi ikut berteriak
“ganyang malaysia! Berdiri di atas kaki sendiri!”
kemak-kemik pancasila, manipol, jarek, sukarnoisme
tapi main mata dengan modal monopoli
gudang racun komunisto-phobi
buruh phobi
tani phobi
partai phobi
imperialisme amerika? Tunggu dulu!
dan sarjana-sardana membalik-balik bukunya
tapi tak mengenal aspirasi tanahairnya sendiri
dan seniman memabokkan diri dengan kepuasan murah
tak tahu kemelaratan dan kebangkitan rakyatnja sendiri
dan politikus mencatut teori dengan “ala indonesia”
munafik-munafik ini mau melupakan sumbangan dunia
kepada sejarah dan perjuangan klas
sungguh, kekerdilan yang memalukan dan hina
adalah mereka yang mau menutup laut dengan telapak tangannya
laut daripada kebenaran perjuangan klas
o, sudahkah keringat bagi kaum buruh?
sudahkah tanah bagi kaum tani?
yang menggarap!
yang menggarap!
yang menggarap!
betapa berbelit-belit
plintat-plintut
tapi adakah yang lebih tegas dari kebenaran?
sebab dia tak dapat digeser dari relnya repolusi?
abad-abad telah menyumbangkan lokomotip-lokomotip raksasa
yang menderu kencang menembus belantara kegelapan
dengan perjuangan klas dan repolusi
dengan marx, engels, dan lenin
dengan mau tje-tung, bung karno, dan aidit
dengan diri sendiri; rakyat tertindas
antara sabang dan sukarna-pura
di seluruh dunia dimana saja

o, janganlah hanja membaca hurup-hurup
tapi tak menangkap hakekat dan arti
o, janganlah sungai lupa kepada laut
dan kemerdekaan tinggal abu tanpa api
sebab kami
surabay
sudah banjak mati

sebab kepahlawanan sehari-hari
tidak pada yang sudah mati
berkata pemimpin besar repolusi
jaman ini jaman konfrontasi
pemimpin tengahan bicara lain lagi
katanya: perdamaian universil dan konsepsi

dan perdamaian jadilah dewi kecantikan
dan pedang kemerdekaan ditumpulkan

maka konsepsipun berlahiran diatas kertas
dan kertas-kertas berhamburan setjepat inflasi
mereka yang bekerja dilaparkan oleh janji
mereka yang malas berpikir tanpa batas

jang tak tahu ekonomi politik
mau bikin ekonomi politik
maka begitu naik jadi menteri
harga beras melambung tinggi
maka berkatalah rakyat suatu hari
bisa sekarang bisa nanti
stop!
mau konsepsi apa lagi?
kami sudah banting kemudi ke u.u.d empatlima
kami sudah bikin manipol dan nasakom
land reform dan dekon
ayo, konfrontasi
melawan tujuh setan-desa
imperialis amerika
atau
sebelum roda ini melindas
minggir!

kami mau repolusi
kami mau buku dan pedang ditangan
kami mau tanah dan bedil dibidikkan
kami mau palu dan meriam didentumkan
kami mau pukat dan kapal-selam berkeliaran
kami mau indonesia dan rakjatnya jang gesit berlawan
bagi repolusinya dan bagi dunianya
bagi dunia dan bagi repolusinya

dan surabaya
senatiasa remaja
dalam bantingan usia
berjuang
belajar
kerja

kucinta surabaya
dia kota kelasi
kurindukan surabaya
sebab trem berlari-lari
kusukai surabaya
beca dan taman ditepi kali
kubanggakan surabaya
kota berani mati
kusenangi surabaya
kejantanan yang bernyanyi

surabaya
menghadang pukulan
menghantam
bertubi-tubi
disini cemara bersiut
meliuk semampai
dan wilo merunduk
merenung sungai

kelasi, jika besok kelaut
jangan lupa kepada pantai

Pulang

-catatan seorang penyair Indonesia di pengasingan

dimana kau pohonku hijau
disini aku sudah jadi batu
hai perantau darimana kau
dari mana saja aku mau melekat jadi debu
di karet, di karet katamu
wahai chairil apa kau masih disitu
atau lenyap dipasok batu
atau senyap sebelum tahun 2000
ya Banda mengena juga yang kau bilang
tak seorang berniat pulang
pulang? kemana harus pulang
si burung samudera tanpa sarang
bangga aku teringat Sujoyono berani menuding
dan bilang untung aku bukan anjing
ini juga modernisasi globalisasi
kata-kata jadi kering kebudayaan baru
dari bawah sampai atas
tukang peras atau maling
puisi hanya kaulah lagi tempatku pulang
puisi hanya kaulah pacarku terbang
puisi generasi baru yang bijak bestari menerjang
keras bagai granit cintanya bagai laut menggelombang
dimana kau pohonku hijau dalam puisimu wahai perantau
dalam cintamu jauh di pulau

Penyair Mencari Sarang

penyair mencari sarang ditepi kanal amsterdam
camar melayang meningglkan sarang digelisahkan air tenang
penyair dan camar sama-sama dikejar gelisah senja usia
penyair sarangmu adalah kata
camar gelisahmu matahari senja
terpaut perahu puisiku di kanal Belanda
mari reguk habis segelas bir
sebelum kata terakhir untuk berpisah
pulang ke rumah kubasuh muka
dan bersibak lalu menulis sajak

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *