Minke dan Tan Malaka

Siapa saja harus bersepakat, Bumi Manusia, novel karya Pramoedya Ananta Toer, adalah novel terbaik Indonesia. Atau kalau tidak tepat, tetap katakanlah, Bumi Manusia termasuk 10 besar novel terbaik sepanjang sejarah Indonesia.

Siapapun yang membacanya akan dibawa masuk ke alam sebelum kemerdekaan, menyelami seluk-beluk cara berpikir manusia Hindia Belanda kala itu, arus perubahan yang terjadi di dunia sehingga menyeret seorang anak muda bernama Minke ke dalam perkembangan karakter dan pergulatan yang lebih dahsyat.

Sebagian dari kita tahu bahwa Minke mengacu kepada RM Tirto Adi Suryo. Ia adalah Bapak Pers Nasional yang kali pertama dalam sejarah menerbitkan harian untuk masyarakat pribumi bernama Medan Prijaji dengan menggunakan bahasa Melayu. Beliau jugalah yang menginisiasi berdirinya Sarikat Islam. Dengan medianya, TAS berani melawan pemerintah kolonialisme. Besar sekali perannya dalam membangun kesadaran akan keberdikarian bangsa. Pemikiran itu tidak datang serta merta setelah sebelumnya ia berpikir Hindia cukup jadi provinsi atau bagian dari Kerajaan Belanda.

Minke terasa begitu hidup dan utuh sampai-sampai aku mengira segala yang ditulis Pram adalah kenyataan. Padahal, kita tidak boleh lupa, apapun yang bernama novel adalah fiksi. Sefakta apapun sebuah novel, ia menjadi fiksi. Di dalam kepentingan fiksi, kita kerap menambahkan drama atau hal-hal yang tidak tercatat dalam sejarah kemudian kita imajinasikan terjadi, tetapi bukan imajinasi tak berdasar. Plot is character. Segala yang diimajinasikan tetap harus mengacu pada pembentukan karakter/penokohan. Drama di dalam Bumi Manusia bernama Annelies. Perempuan blasteran dengan kecantikan luar biasa yang menjadi pelabuhan hati Minke kali pertama.

Hal yang serupa dilakukan Hendri Teja dalam novel terbarunya, TAN. Di tengah maraknya buku-buku Tan Malaka yang dicetak kembali, seorang pemuda Minang justru menulis sebuah novel mengenai Tan Malaka. TAN, menurut saya, adalah usaha Hendri Teja membumikan Tan Malaka atau bisa dikatakan me-minke-kan Tan Malaka. Di dalam TAN, Tan Malaka memiliki kisah cinta dengan Fenny, seorang gadis Belanda dan Tan Malaka tak sanggup memilih Fenny karena cita-cita besarnya. Di dalam TAN, kita tidak akan melihat sosok setan merah yang begitu diagungkan, melainkan sisi-sisi Tan yang rapuh dan peragu.

Apakah ini sah? Atas nama fiksi, hal ini justru menarik.

Manusia fiksi (homo fictus) adalah manusia yang berbeda dengan manusia asli. Jika pun saya menulis diri saya sendiri dengan nama saya sebagai tokoh, saya di dalam fiksi pasti tidak akan sama dengan saya yang asli. Karena ada hal-hal mendasar yang harus dimiliki manusia fiksi. Ia tidak boleh moderat. Ia harus berbeda. Tetapi seberbeda apapun dia dari karakter lain, ia tetap harus masuk akal dan dapat direngkuh oleh pembaca.

Saya pikir TAN sebagai sebuah novel tidak diragukan lagi dapat membuat citra Tan Malaka baru sebagai seorang manusia fiksi. Maka, akan wajar bila orang yang belum pernah membaca Tan Malaka lain, akan percaya bahwa Tan Malaka karakternya seperti yang di dalam TAN. Atau pencinta Tan Malaka akan marah karena merasa ehmm, kok beda ya.

Sebelum menjadi TAN, naskah ini pernah memenangkan penghargaan bersama dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2010. Lima tahun revisi untuk mematangkan TAN. Saya pikir ini sesuatu yang patut dibaca semua orang.

Minke dan Tan: Sebuah Kesamaan

Membicarakan kebenaran atau nilai moral di dalam sebuah fiksi sebenarnya hal yang tabu bagiku. Hal itu bukan buat diucapkan, tetapi menjadi privasi bagi tiap pembaca untuk memetik nilai sesuai pembacaan masing-masing. Tapi sungguh, aku tak tahan untuk mengatakan kita dapat belajar banyak dari Bumi Manusia maupun Tan. Ada satu hal penting yang menjadi catatanku. Baik Minke maupun Tan sudah menulis sejak usia muda. Mereka punya jiwa dan semangat di dalam tulisannya. Tidak terbatas hanya itu, Minke dan Tan menjadi satu dengan tulisannya. Tindakan yang mereka lakukan sesuai dengan yang mereka tulis. Sehingga di masa itu, baik Tirto Adi Suryo dan Tan Malaka memiliki pengaruh yang luas sekali. Sepak terjangnya begitu ditakuti pemerintah kolonialisme.

Kesamaan kedua, saya yakin sedikit sekali anak muda yang mengenal kedua tokoh ini. Padahal keduanya sudah diangkat menjadi Pahlawan Nasional.

Tentu, jika suatu hari kita merasa ragu dengan tulisan kita, hal pertama adalah mengingat TAS dan TAN. Kita wajib mengingat bahwa dengan tulisan mereka menggemparkan Hindia Belanda. TAS dianggap berbahaya karena terus menerus menyuarakan suara rakyat. TAN dianggap sangat berbahaya karena memunculkan dan memperjuangkan ide aliansi Islam dan komunis.

Kita, menulis apa?

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *