[Perihal Ia dan Kelaminnya]
Lalu apa hubungannya, antara lelaki yang memamerkan kelaminnya dengan Mainok?
Warga dusun Sukawaras yang berjarak delapan belas kilometer dari kota Palembang memang masih akrab dengan dunia penormaan. Bahwa kelamin harus ditutupi dari lutut sampai leher adalah wajib bagi perempuan dan laki-laki tetap masih tidak boleh bertelanjang dada apalagi memamerkan kelaminnya yang sebatang pendek lalu menegang dan bergoyang-goyang seperti mencari sasaran.
Jalan kakilah ke Pasar Senggol, di mana dunia penormaan sepertinya diabaikan oleh nama yang diabadikan di hari Selasa, di pasar yang becek, di jalan sempit yang dipaksakan dua arah memaksakan laki-laki dan perempuan harus berjalan saling senggol untuk bisa nyelempit sambil berhati-hati kalau-kalau ada copet yang siap memangsa dompet. Nah, kalau kau sudah sampai ujung pasar yang biasanya dipenuhi bekas sayur busuk dan sampah-sampah plastik, di sanalah ada lelaki tua yang begitu dekil dengan rambut seperti sapu ijuk telanjang bulat tengah memamerkan kelaminnya sambil tersenyum menantang. Lelaki tua yang teranomali akibat ketidakwarasannya itu sudah rela saja kalau kau mengambil gambarnya, merekam tiap tingkah lakunya bahkan ketika berak pun, ia tak akan masalah.
Akan tetapi, untuk perihal kelamin, jangan sekali-kali kau pamerkan kelaminmu di depannya, kalau kau tak mau ia marah. Ia begitu sensitif untuk urusan yang satu ini, sebab menurut ‘konon’, ia laki-laki yang dulu begitu bangga dengan kelaminnya sampai-sampai mengatakan tak ada perempuan yang tak puas apabila telah merasakan tidur barang satu malam saja dengan dirinya. Tentu, siapa yang percaya dengan orang gila macam dia? Begitu kemari, dia sudah merasa dirinya seorang sarjana pendidikan. Keesokan harinya dia mengaku dokter. Dan lusa dia sudah meninggalkan pakaian dan mengaku sebagai bintang film bokep internasional yang kelaminnya sudah disiarkan ke penjuru dunia!
[Perihal Ia dan Masa Lalunya]
Satu dari sedikit yang pernah mengenal Mainok kecil adalah Kak Harnok, pelatih kampung yang kepalanya plontos dan berumah di samping lapangan sepakbola pinggir jalan raya. Ia sudah puluhan tahun melatih dan sudah banyak prestasi yang diraih untuk timnya apabila itu seukuran kebupaten Banyuasin semata. Tetapi kalau sudah harus main ke luar kabupaten, AMS (Tim Anak Muda Sukawaras) itu tak ada bunyinya. Bukan karena kalahnya kualitas, tetapi tidak ada dana. Dana buat menyogok perangkat pertandingan alias wasit yang selalu memihak kepada tuan rumah. Belum lagi ancaman para supporter lawan yang mulai seperti kerasukan apabila AMS mampu memasukkan bola duluan. Pantaslah kalau kepala Kak Harnok ini plontos seperti bohlam. Pusing memikirkan persepakbolaan Indonesia.
“Dia itu pintar.” Kak Harnok memulai cerita. “Meski sekarang banyak yang tidak mengingat Mainok, aku ingat betul kalau dia pernah mengerjakan soal kelas enam SD waktu dia masih kelas tiga!” lanjut Kak Harnok sambil menerawang seperti mencoba mengumpulkan puing-puing ingatan.
“Jadi kapan ia mulai jadi gila seperti itu?” tanyaku penasaran.
“Dia dapat beasiswa ke Palembang. Aku dengar sampai SMA dia masih juara. Tapi setelah itu…” Kak Harnok diam, menghela nafasnya. Lalu dia berjalan mengitari dagangan mainan dan perlengkapan sepakbola yang sangat ramai dibeli ketika Sriwijaya FC juara liga Indonesia 2008 lalu.
“Setelah itu bagaimana, Kak?” tanyaku lagi dengan tak sabar.
“Perempuan…”
“Perempuan?”
“Perempuan memang racun!” Aku menangkap ekspresi kemarahan dari matanya. Ya, Kak Harnok pun ditinggal pergi oleh istrinya karena dianggap mandul, tak bisa memberikan keturunan. “Yang aku tahu para perempuan mengejarnya. Kau pasti tak percaya yang satu ini…, mereka menyekap Mainok lalu memerkosanya bergantian!” lanjut Kak Harnok dengan mata yang berkaca-kaca.
“Perempuan memerkosa laki-laki?” tanyaku heran.
“Ya, bagaimana mungkin ada perempuan yang bisa memerkosa laki-laki? Siapa yang percaya pada hal gila macam itu? Orang-orang di sini merasa waras dan balik menuduh Mainok yang telah melecehkan seorang anak gadis. Aku ingat, dia diusir dengan dilempari batu sampai berdarah-darah, dan kau tahu… sepuluh tahun kemudian dia kembali dengan keadaan gila seperti itu. Tapi aku tak menganggapnya gila. Aku pikir dia lebih jujur terhadap perasaannya sendiri ketimbang penduduk dusun ini yang bersembunyi di balik topeng kewarasan yang mereka bangga-banggakan itu!”
Aku rasa sudah cukup untuk meminta keterangan Kak Harnok yang kini tengah larut dalam emosinya. Kau mungkin saja telah menganggap bertambah satu lagi orang gila di dusun ini tersebab perempuan. Tapi aku tak menyangkal ucapannya barusan, kalaulah perempuan itu racun. Hanya saja para lelakilah terlanjur hobi meminum racun dalam hidupnya.
[Perihal Ia dan Pikiran]
Bicara tentang perasaan, tak pernah ada kepastian jawaban. Orang gila dibilang kehilangan pikiran itu sudah lumrah. Lalu bagaimana dengan perasaan?
“Nok, 234 dikali 57 berapa?”
Ternyata benar kalau Mainok suka diganggu oleh anak-anak sekolah yang sedikit berani meski terkadang Mainok mengejar mereka sambil memamerkan giginya yang kuning (dan tentu kelaminnya). Aku merekam pemandangan itu baik-baik. Dasar anak-anak sinting, mana mungkin menanyakan perkalian berhasil lima digit pada orang gila!
Mainok tampak mengangkat kedua tangannya, menggerakkan jari-jarinya. Tak sampai sepuluh detik ia berteriak, “13338!”
Anak-anak mengeluarkan kalkulator. Aku mengeceknya di handphoneku. Dan tepat sekali! Sepertinya aku harus meralat ucapanku tadi. Sepertinya Mainok tidak kehilangan pikirannya. Sepertinya dia memang pintar seperti yang kak Harnok katakan. Sepertinya tiba-tiba dia melotok ke arahku yang tengah merekamnya. Sepertinya dia akan mengejarku!
[Perihal Aku dan Alasan]
Siapapun akan marah kalau dikatakan anak Mainok. Ucapan itu sama saja dengan kata kampang atau pilat yang bisa bikin orang-orang mengambil golok atau samurai dari rumah kemudian mengacungkannya ke mukamu.
Dan ucapan itu pula pernah diucapkan kepadaku, oleh ibuku sendiri.
Mainok, orang gila satu-satunya di dusun Sukawaras yang suka memamerkan kelaminnya itu mana mungkin ayahku. Ayahku tentulah Suhaemi, kepala dusun yang sudah susah payah menyekolahkan aku sampai ke luar kota. Kuliah. Tidak seperti Mainok yang cuma lulusan SMA. Jadi kalau kau sedang menebak aku anak kandung Mainok, kau sudah keliru, kecuali kalau cerita omong kosong Kak Harnok sialan itu benar adanya. Toh, dalam perkosaan yang bergilir, bayangkan saja bagaimana caranya bisa meninggalkan benih pasti?
Tetapi, apakah aku mengacungkan golok atau samurai ke ibuku?
Haha, aku tak mau jadi malin kundang baru. Apalagi berniat jadi batu, tentu itu tak masuk dalam cita-citaku. Untuk urusan cita-cita pun, aku merasa ditipu. Kata pepatah, boleh kita menggantungkan cita-cita setinggi langit, bebas ingin jadi apa. Tetapi, yang terjadi, orangtua selalu saja ikut campur dalam menentukan hidup anaknya.
Ah, begini saja, kita mulai semuanya dari pertanyaan awal cerita ini, lalu apa hubungannya antara lelaki yang memamerkan kelaminnya dengan Mainok?
Bagi kami, Mainok adalah suatu inspirasi. Dia tidak gila. Dia makhluk berseni tinggi. Seperti mutiara hitam di dalam lumpur. Seperti patung-patung malaikat di Vatikan yang kemudian ‘dihilangkan’ kemaluannya oleh orang-orang bodoh yang tak menganggap kelamin adalah bentuk keirian Tuhan kepada manusia!
Maka aku (kami) merekam Mainok itu sebagai suatu pendahuluan dari sebuah cita-cita yang dianggap gila oleh warga dusun Sukawaras ini, termasuk ibuku yang kemudian menuduhku anak Mainok tatkala aku mengungkapkan keinginanku untuk jadi gigolo.
(2010)