Cerpen Subagio Sastrowardoyo | Perawan Tua

Tarminah telah menjadi perawan tua. Dua bulan lagi ia sudah 35 dan 5 tahun lagi 40 umurnya. Perasaan ngeri telah menindung dirinya. Tak ada yang lebih ditakutinya daripada umur. Sedangkan waktu setahun amat deras jalannya.

Ia merasa ketuaannya pada pahanya, pada susunya, kalau ia sedang berbaring melingkar di kamarnya, merabai dirinya. Urat-urat dagingnya telah hilang kelembutannya.

Sering ia menganggap hidupnya sebagai kerugian yang harus ditanggungnya berlarat-larat. Tubuhnya yang pernah meriap subur merupakan kemewahan yang sia-sia gunanya. Ia tidak akan mengenali kebasahan yang nikmat melalui darah-darah tubuhnya. Seperti pohon yang kehabisan sat-satnya yang lembab.

Lama ia membiarkan dirinya menyerah demikian semenjak ditinggalkan tunangannya.

“Aku akan pulang, Mien, percayalah!” Adalah sinar keteguhan di mata kekasihnya ketika itu. Dan Tarminah menaruh percaya kepadanya dan kepada Tuhannya yang bermurah hati. Setiap malam sebelum ia menutupi jendcla yang mengarah ke gunung tempat Mas Prapto bersembunyi, ia membayangkan kedatangannya nanti kalau sudah aman dan merdeka. Mas Prapto akan tampak dengan tiba-tiba di mukanya, pulang seperti yang dijanjikannya.

Ia akan berdiri di pintu pagar dan tersenyum kepadanya, senyum yang penuh keyakinan. Sebelum ia melangkah masuk, Tarminah akan sudah bangkit seraya memekik kegirangan. Berlari-lari ia menyambutnya. Rambut janggut dan kumis Mas Prapto tentu belum bercukur (seperti biasanya, ia lalai mengerjakan hal itu) sebagai jarum-jarum kecil yang menembusi kulit. Tetapi ia akan merangkulnya dengan gairah dan menciumi pipinya, bibirnya. Bau keringat yang ke luar dari baju tentara tunangannya akan memabukkan ingatannya.

Kemudian Mas Prapto akan bercerita tentang perjoangannya di gunung, tentang kampung yang dibakari musuh, tentang kecurangan dan kebengisan, tentang kesepian dan rindunya kepadanya. Persis seperti dikatakannya dalam surat-suratnya.

“Engkau, Tarminah, harus juga percaya kepada Tuhan,” tulisnya dalam sebuah surat yang dibawa serta oleh kurir yang menyelundup ke kota.

“Bahwa hayat kita tetap selamat selama kita percaya akan keadilan-Nya. Bahwa nasib kita terserah segenapnya pada tangan Tuhan. Bahwa kita tidak diberi hidup kaiau tidak dengan suatu tujuan. Dan aku yakin tujuanku masih jauh, lebih jauh dari berhenti di celah-celah gunung ini. Aku akan pulang, Mien. Demi Allah! Aku akan pulang dan kita pasti akan bertemu kembali. Sekali aku akan menyebutmu isteriku.”

Tarminah masih dapat merasakan betapa mengharukan kata yang terakhir itu merabai jantungnya. Aku istrinya! Dan sekaligus ia menikmati bayangan dirinya mengandungi kasih Mas Prapto di dalam perutnya.

Mas Prapto begitu bersungguh kalau bercerita. Ia senang membayangkan nada suaranya yang mengeluh suram, seperti ada selalu yang memberat di dadanya. Mas Prapto begitu tua jiwanya, dia tunangannya yang serempak menjadi bapa baginya.

Sering Tarminah merasa kewalahan akan mengimbangi pikiran kekasihnya. Ingin ia memasuki hidup Mas Prapto sampai ke halushalus persoalan batinnya. Ia ingin satu dengan kekasihnya, seperjuangan, sederita. Tetapi ia menginsafi apa yang dicari Mas Prapto pada dirinya. Mas Prapto hanya tertarik kepada tubuhnya, kepada kesuburan yang dilimpahkan alam kepada lengannya, kepada pundaknya, kepada susunya.

“Cinta ini tidak akan kekal,” keluhnya dengan kesal terhadap bayangannya sendiri dalam cermin.

Pernah ia takut kalau-kalau kepergian Mas Prapto ke daerah perjoangan hanya menjadi alasan belaka untuk menghindarinya. Tunangannya teiah kenyang memuasi pelukannya. Dalam surat balasannya Tarminah telah menerangkan bahwa ia kini telah belajar bahasa Inggris pada temannya dan ia pun telah membaca pula roman-roman bacaannya yang ditinggalkan di lemari. Nanti kalau Mas Prapto sudah pulang, mereka akan asyik membicarakan buku-buku yang sudah mereka baca berdua.

Jawaban dan gunung baru datang sebulan kemudian. Tetapi tak ada Mas Prapto menyinggung-nyinggung tentang kegiatannya belajar itu. Suratnya berisi kegelisahan dalam dirinya: “Seminggu yang lalu pasukanku dikejar-kejar, Mien. Kami serasa pencuri yang salah, diburu-buru dari setiap sudut. Tetapi kami bukan bangsat yang konyol, Mien, kami adalah manusia yang mempunyai hati serta keyakinan. Kami ingin merdeka dan demi kemerdekaan kami meninggalkan kebahagiaan yang palsu di kota. Dan aku meninggaikan kau, kekasihku.

Di tengah peregangan nyawa ini, aku sudah lama tidak berani lagi berpikir tentang maut, Mien. Berpikir tentang maut terasa sebagai mendekatkan maut selangkah lebih maju ke arahku. Karena itu aku tak berani memastikan bahwa hatiku tetap menghadapi kenanaran ini. Aku tak tahu kapan akan berakhir kebimbangan ini.”

Pada lagu yang suram itu Tarminah mengenali kembali jiwa kekasihnya. Di dalam kedewasaannya ia membutuhkan bimbingan yang menuntunnya ke luar dari kesulitan yang dicarinya sendiri. Dalam saat demikian Tarminah merasai kepentingannya, ia mengambil peranan dalam kehidupan Mas Prapto dan ia lebih cinta.

Maut bagi Tarminah tak pernah merupakan persoalan. Dia tinggal menyerah, seperti dia juga menyerah kepada kelahiran dan kedatangan cinta. Kesuburan akan menyusul sendiri. Juga di seberang kematian.

Tarminah teiah menjawabnya. Jiwanya tetap di sampingnya dan setiap malam ia berdoa. Setiap penderitaan yang menyakitkan kekasihnya dirasainya pula. Ditambahkannya bahwa ia sudah sebulan itu berpuasa, mungkin dengan jalan keheningan itu penanggungan Mas Prapto dapat menjadi ringan. Dan di bawahnya diberanikannya menulis: Isterimu Tarminah.

Surat yang terakhir datang seminggu kemudian: “Apa pun yang akan terjadi, Mien, aku akan tetap mengasihimu. Kalau aku tak dapat melanjutkan perasaan ini di sini, aku akan melangsungkannya di sana, sekalipun hanya dalam kenangan, dalam mimpi yang kelam.”

Jawaban Tarminah yang berisi kata-kata penghiburan tidak mungkin diterimanya lagi. Sehari sesudah surat yang terakhir itu, ia tersergap oleh patroli Belanda dan bersama dengan kawan-kawannya seregu ditembaki bagai anjing. Mayatnya ditemui orang menungging di dalam .semak.

Mula-mula Tarminah tidak bisa mempercayai berita kematian itu. Ia terlalu yakin kepada kemurahan Tuhan, kepada kehangatan doanya. Surat kekasihnya bunyinya sebagai kegelisahan yang mencari kepastian belaka, bukan surat-surat perpisahan akan mati. Di dalam keputusan nasib sebesar itu tentu kekasihnya akan berkata-kata kepadanya melalui bisik perasaannya, melaiui mimpi. Berita itu sebulan terlambat sampainya dan selama itu ia tidak berasa apa-apa.

Dalam kesepian mengenangkan tunangannya, sering pula datang penyesalannya bahwa kekasihnya terlaiu kejam kepadanya. Ia meninggalkan dirinya tanpa berpamit. Penyesalan ini meninggalkan dendam dalam hatinya. Tetapi segera membanjir perasaan kasih membenamkan segala kegusaran. “Tidak, Mas Prapto,” bisiknya waktu itu sendirian di kamarnya, “Aku tidak akan meninggalkanmu dengan ke jam. Aku tetap tunanganmu, sekalipun harus menerima kasihmu
dalam kenangan. Kasihmu kepadaku tidak akan sia-sia.”

Sering diuiang-ulangnya surat-surat Mas Prapto. Surat-surat itu memberi dia kekuatan selama ini. Seakan-akan Mas Prapto berkatakata sendiri di depannya, lalu dicium-ciumnya surat itu sehingga basah oleh air mata.

Ketika itu tubuh Tarminah masih segar. Susunya lembut oleh idaman keibuan. Sedang ia masih kuat meyakini pendiriannya. Ia telah bersumpah di muka potret Mas Prapto untuk tidak kawin seumur hidupnya. “Engkau akan menungguku di sana, Mas!” Suaranya hampir berbunyi sebagai perintah. Dan ketika dilekatkan gambar kekasih itu di dadanya, menyembur-nyembur air darahnya di ujung-ujung anggotanya, serasa tunangannya sendiri yang menciumnya di sana.

Tarminah tidak menyesali perbuatannya. Sumpahnya adalah perbuatan yang wajar yang timbul dari keinsafan kemanusiaan. Hanya dalam pengekangan diri ia dapat mempertahankan kemanusiaan sendiri. Ia tetap pada pendirian itu, sekalipun ada yang mencemoohkannya.

Sarjono ialah satu dari sekian jumlah laki-laki yang ingin memiliki dia. Bagi Tarminah mereka tidak ubahnya dari harimau yang julik yang berkitar-kitar dan menqnggu kesempatan untuk menyerang serta memakani tubuhnya sepotong demi sepotong. Tetapi Sarjono lebih jujur. Sekalipun ditolak permintaannya ia masih setia mengunjungi dia. Ia seorang pelukis dan pernah membuat lukisan Tarminah yang bergantung di dinding.

“Engkau hidup dalam angan-angan yang palsu, Tar,” katanya sekali.

“Kausangka tunanganmu dulu akan menantimu di alam baka. Aku yakin ia sudah melupakanmu dan kawin dengan perempuan jalang yang berkeliaran di padang jahat.”

Tarminah tidak menjadi marah. Ia sudah terbiasa mendengar keluhan orang yang sakit hati. Ia malahan kasihan kepadanya. “Bagaimana engkau tahu tentang kehidupan sesudah mati, Mas Jono!” tantangnya dengan ringan.

“Bagaimana engkau tahu tentang kehidupan sesudah mati!” bantah Sarjono hampir mengulang. “Bagiku, sesudah mati orang lahir sebagai bayi, sekalipun mungkin dalam bentuk yang lain daripada bentuk tubuh ini. Dan sebagai bayi orang tidak punya ingatan lagi kepada kehidupan yang lama, boleh jadi hanya berupa sekelumit kenangan yang kabur, tetapi seterusnya akan terbenam dalam ingatan-ingatan yang baru dalam pengalaman-pengalaman yang baru.”

“Mas Jono pandai betul berkhayal,” ejek Tarminah sambil mencoba memperlihatkan perhatian yang berlebih-lebihan. “Tetapi apa yang mendorong Mas Jono berkeyakinan begitu itu?”

“Kalau tidak begitu keadaan di alam sana, tidak akan ada perkembangan. Tidak akan ada kemajuan. Sedangkan segala yang ada ini mengalami pembaruan dan kemajuan.”

“Atau juga kemunduran dan kerusakan,” selanya.

“Itu tergantung kepada kemauanmu!”

“Kalau tidak begitu keadaan di alam sana, tidak akan ada perkembangan. Tidak akan ada kemajuan. Sedangkan segala yang ada ini mengalami pembaruan dan kemajuan.”

“Atau juga kemunduran dan kerusakan”, selanya.

“Itu tergantung kepada kemauanmu!” tangkis Sarjono cepat.

Tarminah banyak membaca dalam kesendiriannya. la telah tahu menikmati keasyikan berpikir, seperti Mas Prapto, seperti setiap laki-laki yang dijumpainya. Tetapi yang belum dimengertinya ialah jiwa laki-laki sendiri, yang begitu membelah.

Di dalam pengembaraannya yang jauh di daerah-daerah kerokhanian ia masih juga suka melekatkan diri pada kedagingan.

“Mengapa kita harus kawin untuk melangsungkan cinta, Mas Jono?” penolakannya kepada Sarjono, ketika ia hendak mendesakkan kemauannya.

“Kita bisa tetap begini. Engkau sahabatku, tempatku mempercayakan hatiku dan aku yang mengilhami kamu dalam kerja senimu.”

“Aku bukan malaikat, yang hidup dari api belaka!” gerutunya dengan suram.

Akhirnya Sarjono meninggalkan dia pula, seperti laki-laki lainnya. Mereka semua tidak bisa hidup dari api belaka. Dengan kepergian Sarjono telah menyingsing suatu kesadaran.

Dan kesadaran itu mengerikan.

Di dalam kelenaannya yang sepi, Tarminah harus mengakui bahwa ia adalah api yang makin besar nyalanya, yang membakar dan menghanguskan hidupnya sendiri. Surat Mas Prapto tidak sanggup lagi memadamkannya.

Makin sering ia bermimpi tentang kehausan dan padang jahat yang tandus, makin sering ia dibangunkan oleh teriaknya sendiri, teriak yang tidak bergema di malam hari.

Keperempuanannya hanya tinggal lima tahun lagi. Sesudah itu ia akan hidup sebagai tanaman yang menggaitkan diri pada sisa-sisa kenangannya. Sesudah itu ia bukan perempuan atau laki-laki lagi. Ia menjadi sekerat jiwa yang tiada berjenis dan tiada bernafsu.

Ia tak tahu apakah kesadaran ini akan memberikan pengakhiran atau permulaan. Itu tergantung kepada kemauannya.

Seni
No. 8, Th. I, Agustus 1955

Pring

Pringadi Abdi Surya. Dilahirkan di Palembang, 18 Agustus 1988. Pernah terpilih menjadi Duta Bahasa Sumatra Selatan 2009. Sekarang tengah bertugas di Subdit Pembinaan Proses Bisnis dan Hukum, Direktorat Sistem Perbendaharaan. Lulusan Akuntansi Pemerintahan STAN 2010 ini suka jalan-jalan.

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *